Pembahasan Fiqhiah:
Setelah selesai shalat, maka sudah menjadi kebiasaan Rasulullah dan para sahabat beliau untuk berzikir dengan zikir-zikir yang warid dalam hadits-hadits di atas. Di dalam zikir-zikir tersebut mengandung kalimat tauhid, pujian, dan pengagungan kepada Allah, serta permohonan agar dosa-dosa diampuni.
Berzikir setelah shalat merupakan hal yang disunnahkan, karenanya tidak sepantasnya seorang muslim untuk meninggalkannya bagaimanapun keadaannya, walaupun sekedar sebentar dan membaca salah satu dari zikir-zikir di atas.
- Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan urutan zikir yang satu dibandingkan yang lain, karenanya seorang muslim dibolehkan untuk memulai zikirnya dengan yang manapun dari zikir-zikir di atas.
Apakah zikir-zikir ini dibaca dengan jahr atau sir?
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
1. Ada yang menyunnahkannya.
Ini adalah pendapat Imam Ath-Thabari -dalam sebuah nukilan darinya-, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, dan yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz.
Dalil pendapat pertama adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dimana beliau berkata:
أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم وقال ابن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
- Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (4/260), “Meninggikan suara ketika berzikir di akhir setiap shalat adalah amalan yang baik.”.
- Catatan: Bagi yang menyunnahkan berzikir dengan suara jahr, bukan berarti membolehkan zikir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang, karena amalan ini merupakan amalan yang bid’ah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah setiap orang menjahrkan sendiri-sendiri bacaan zikirnya.
- Asy-Syathibi berkata dalam Al-I’tisham (1/351), “Berdoa secara berjamaah secara terus-menerus bukanlah amalan Rasulullah, sebagaimana itu juga bukan berasal dari sabda dan persetujuan beliau.”.
2. Hukumnya makruh kecuali jika imam ingin mengajari makmum bacaan zikir.
Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thabari -dalam sebagian nukilan lainnya- dan mayoritas ulama, dan ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Baththal, An-Nawawi, Asy-Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, Asy-Syaikh Al-Albani. Dalil-dalil pendapat kedua:
a. Allah Ta’ala berfirman:
ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها
Maksudnya: Janganlah kalian meninggikan suara kalian dalam berdoa dan jangan pula merendahkan suaramu sampai-sampai kamu sendiri tidak bisa mendengarnya.
b. Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata, “Bagaimana boleh suara ditinggikan dalam zikir sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang bijaksana, “Berdoalah kalian kepada Rabb kalian dalam keadaan merendah dan suara rendah, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampau batas.” Maka mengecilkan suara lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih jauh dari riya`.” (Al-Ibda’ fii Madhaarr Al-Ibtida’ hal. 283).
c. Dari Abu Musa Al-Asy’ari beliau berkata:
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس اربَعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده
“Kami pernah bersama Rasulullah (dalam perjalanan). Jika kami mendaki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir hingga suara kami meninggi. Maka Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah (baca: jangan paksakan) diri-diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan juga tidak hadir. Sesungguhnya Dia -yang Maha berkah namanya dan Maha tinggi kemuliaannya- mendengar dan dekat dengan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704).
- Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (6/135), “At-Thabari berkata: Dalam hadits ini terdapat keterangan dibencinya meninggikan suara ketika berdoa dan berzikir. Ini adalah pendapat segenap para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.”.
d. Berzikir dengan suara jahr akan mengganggu orang lain yang juga sedang berzikir, bahkan bisa mengganggu orang yang masbuk. Apalagi di zaman ini hampir tidak ditemukan satupun masjid kecuali ada yang masbuk di dalamnya, illa ma sya`allah.
e. Imam berzikir dengan suara jahr akan membuka wasilah kepada bid’ah zikir dan doa berjamaah.
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas.
Adapun dalil pihak pertama, maka kesimpulan jawaban dari para ulama yang merajihkan pendapat kedua adalah:
a. Hadits Ibnu Abbas tidaklah menunjukkan bahwa hal itu berlangsung terus-menerus. Karena kalimat ‘كُنْتُ (aku dahulu)’ mengisyaratkan bahwa hal ini tidak berlangsung lagi setelahnya.
- Karenanya Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa Nabi mengeraskan zikirnya hanya untuk mengajari para sahabat bacaan zikir yang dibaca setelah shalat. Adapun setelah mereka mengetahuinya maka beliaupun tidak lagi mengeraskan bacaan zikirnya. Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kaset silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 439.
b. Hal ini diperkuat dengan hadits Aisyah riwayat Muslim di atas yang menunjukkan bahwa setelah beliau salam maka beliau tidak duduk di tempatnya kecuali sekedar membaca zikir yang tersebut di atas.
Sebagai penutup, dan sekedar tambahan faidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (15/15-19) menyebutkan 10 faidah merendahkan suara dalam berdoa dalam berzikir. Barangsiapa yang ingin mengetahuinya maka hendaknya dia merujuk kepadanya.
[Referensi: Kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 206, 439, dan 471, risalah mengenai hukum meninggikan suara zikir setelah shalat oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaibi, dan Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Al-Utsaimin 13/247,261]
sumber : http://al-atsariyyah.com/zikir-setelah-shalat-hukum-menjahrkannya.html
0 komentar:
Posting Komentar