Shalat witir disyariatkan dalam shalat malam. Disyariatkan juga untuk melakukan qunut yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana ketentuannya? Simaklah paparan berikut ini.
Pengertian Qunut
Kata Qunut dalam bahasa Arab digunakan untuk beberepa pengertian, di antaranya:
1. Khusyu’, sebagaimana ada dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Serta berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Qs. al-Baqarah: 238).
2. Doa. [1].
3. Taat dan senantiasa ibadah, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
“Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami. Dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang-orang yang taat.” (Qs. at-Tahrim: 12).
Hukum Qunut dalam Witir
Secara umum, para ulama memandang bahwa qunut dalam witir disyariatkan, namun mereka berselisih pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah. Apakah disunnahkan sepanjang tahun setiap malam ataukah hanya pada bulan Ramadhan saja atau di akhir Ramadhan. [4].
Yang rajih, wallahu a’lam, qunut witir disunnahkan di sepanjang tahun. Inilah pendapat Mazhab Hambali dan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibrahim, Ishaq, dan ashhabur ra’yi. Hal ini berdasarkan amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam riwayat Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum rukuk.” (HR. Ibnu Majah; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167, hadits no. 426).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma untuk mengucapkan doa qunut, sebagaimana ada dalam pernyataan beliau radhiyallahu ‘anhuma,
عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: ” اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ؛ إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَ إِنَّهُ لاَ يُذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengarjariku doa yang aku ucapkan pada witir, ‘Wahai Allah, berilah petunjuk padaku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan kepadaku sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah berkah kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau menakdirkan dan tidak ada yang menentukan takdir bagimu, dan orang yang Engkau jadikan wali tidak akan terhinakan dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami.’” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/172).
Kapan Qunut Dilakukan dalam Shalat?
Qunut dilakukan pada rakaat terakhir setelah membaca surat dan sebelum rukuk. Inilah yang shahih dari amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Namun, kadang beliau melakukannya setelah rukuk sebelum sujud. Dalinya adalah sebagai berikut:
1. Hadits Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum rukuk.” (HR. Ibnu Majah; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167, hadits no. 426).
2. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang disampaikan ‘Alqamah, beliau berkata,
“Sungguh, Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan qunut dalam witir sebelum rukuk.” (HR. Ibnu Abi Syaibah; Syaikh al-Albani mengatakan dalam Irwa’ al-Ghalil (2/166), “Sanadnya baik dan ia sesuai syarat Muslim.” Setelah itu beliau berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa yang shahih dari para sahabat adalah qunut sebelum rukuk dalam witir.“).
Demikianlah umumnya, qunut witir dilakukan sebelum rukuk. Namun, ada riwayat yang menunjukkan bolehnya melakukan qunut witir setelah rukuk, yaitu riwayat Urwah bin az-Zubair, beliau berkata,
“Sesunggiuhnya, Abdurahman bin Abdul Qari yang dahulu di zaman Umar bin al-Khaththab bersama Abdullah bin al-Arqam memegang baitul mal berkata, “Sesungguhnya Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu keluar di malam hari di bulan Ramadan, lalu Abdurrahman bin Abdul Qari keluar dan mengelilingi mesjid, dan mendapatkan orang-orang di mesjid terbagi-bagi lagi tidak bersatu, seseorang shalat sendiri dan yang lainnya mengimami shalat sejumlah orang. Maka Umar berkata, ‘Demi Allah, saya pandang seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja tentunya akan lebih baik.’ Kemudian Umar bertekad untuk itu dan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadan. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang satu imam, sehingga Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini dan yang tidur (tidak ikut) lebih utama dari yang ikut shalat –beliau memaksudkan bahwa (yang shalat) di akhir malam (lebih utama), karena pada saat itu orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam–.
Mereka melaknati orang kafir pada separuh bulan Ramadan dengan doa, ‘Ya Alllah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (orang) dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu, dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut dihati-hati mereka, serta timpakanlah siksaan dan azab-Mu pada mereka, wahai sesembahan yang haq.’
Kemudian (mereka) bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin.’
Beliau berkata, ‘Apabila ia selesai melaknat orang-orang kafir, bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memohon ampunan untuk kaum mukminin dan mukminat, serta menyebutkan permintaan lainnya, ia mengucapkan, ‘Ya Allah, kami menyembah hanya kepada-Mu, berusaha dan beramal hanya untuk-Mu, dan memohon rahmat-Mu, wahai Rabb kami. Kami pun takut kepada azab-Mu yang pedih. Sesungguhnya azab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi.’ Kemudian ia bertakbir dan turun untuk sujud.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya: 2/155–156; dikatakan pen-tahqiq-nya, “Isnad-nya shahih.”).
Kata “Kemudian bertakbir dan turun untuk sujud” menunjukkan qunut witir-nya dilakukan setelah rukuk, sebab bila doa qunut-nya dibaca setelah mambaca surat tentulah bertakbir untuk rukuk bukan untuk sujud. Hal ini menunjukkan bolehnya hal tersebut karena dilakukan di hadapan para sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.
Bacaan Doa Qunut
Adapun untuk bacaan doa qunut, tampaknya dari nash-nash yang ada tidak ada pembatasan dengan doa tertentu. Namun di antara doa yang terbaik dalam qunut witir adalah doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana beliau radhiyallahu ‘anhuma ceritakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengarjariku doa yang aku ucapkan pada witir, ‘Wahai Allah, berilah petunjuk padaku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan kepadaku sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah berkah kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau menakdirkan dan tidak ada yang menentukan takdir bagimu, dan orang yang Engkau jadikan wali tidak akan terhinakan dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami dan tidak ada tempat keselamatan kecuali pada-Mu.’” (HR. Abu Daud; doa dibawakan oleh al-Albani dalam Sifat Shalat Nabi, hal. 180–181).
Mengangkat Tangan dalam Qunut Witir
Dalam hal ini, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Yang shahih adalah mengangkat kedua tangan, karena hal itu benar telah diamalkan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Umar bin al-Khaththab adalah salah satu dari Khulafa’ ar-Rasyidin yang memiliki sunnah diteladani dengan dasar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau mengangkat kedua tangannya.” [9].
Cara Mengangkat Tangan dalam Doa Qunut
Tentang cara mengangkat tangannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utasimin menjelaskan tentang pernyataan para ulama yang menyatakan bahwa mengangkat kedua telapak tangan ke dadanya dan tidak mengangkatnya terlalu tinggi, karena doa ini bukan doa ibtihal yang seseorang melebihkan dalam mengangkat tangannya, namun ini adalah doa permintaan. Kedua telapak tangan dan bagian dalamnya dibuka ke arah langit. Demikianlah pendapat para ulama kami. Zahirnya, keterangan para ulama adalah kedua tangan dikumpulkan seperti keadaan orang yang perlu yang meminta dari orang lain agar memberinya sesuatu. [10].
Mengangkat tangan kedada dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam doa qunut witir, sebagaimana diriwayatkan al-Aswad, beliau berkata,
“Sesungguhnya, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dahulu mengangkat kedua tangannya dalam qunut hingga dadanya.” (HR. al-Marwazi dalam Mukhtashar kitab al-Witr, hal. 139).
Demikianlah beberapa permasalahan tentang qunut witir. Mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Referensi:
1. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cetakan kedua, tahun 1417, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh.
Pengertian Qunut
Kata Qunut dalam bahasa Arab digunakan untuk beberepa pengertian, di antaranya:
1. Khusyu’, sebagaimana ada dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Serta berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Qs. al-Baqarah: 238).
2. Doa. [1].
3. Taat dan senantiasa ibadah, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
“Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami. Dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang-orang yang taat.” (Qs. at-Tahrim: 12).
- Oleh karena itu, Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Kata ‘qunut‘ digunakan untuk pengertian berdiri, diam, berkesinambungan dalam ibadah, doa, tasbih, dan khusyu‘.” [2]
- Sedangkan yang diinginkan dalam pembahasan ini adalah istilah qunut sebagai doa dalam shalat pada tempat posisi yang khusus dari berdiri. [3].
Hukum Qunut dalam Witir
Secara umum, para ulama memandang bahwa qunut dalam witir disyariatkan, namun mereka berselisih pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah. Apakah disunnahkan sepanjang tahun setiap malam ataukah hanya pada bulan Ramadhan saja atau di akhir Ramadhan. [4].
Yang rajih, wallahu a’lam, qunut witir disunnahkan di sepanjang tahun. Inilah pendapat Mazhab Hambali dan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibrahim, Ishaq, dan ashhabur ra’yi. Hal ini berdasarkan amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam riwayat Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum rukuk.” (HR. Ibnu Majah; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167, hadits no. 426).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma untuk mengucapkan doa qunut, sebagaimana ada dalam pernyataan beliau radhiyallahu ‘anhuma,
عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: ” اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ؛ إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَ إِنَّهُ لاَ يُذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengarjariku doa yang aku ucapkan pada witir, ‘Wahai Allah, berilah petunjuk padaku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan kepadaku sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah berkah kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau menakdirkan dan tidak ada yang menentukan takdir bagimu, dan orang yang Engkau jadikan wali tidak akan terhinakan dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami.’” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/172).
- Demikian juga, para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang meriwayatkan witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan bahwa beliau ber-qunut. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya terus-menerus, tentulah mereka akan menukilkannya. Memang, ada Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan qunut witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya kadang-kadang, dan bahwa qunut dalam witir tidaklah wajib. [5].
- Dalil lainnya adalah amalan sebagian sahabat dan tabi’in yang tidak melakukan qunut witir dan sebagian lainnya hanya melakukannya di bulan Ramadhan. Juga ada sebagiannya yang melakukan qunut witir sepanjang tahun. [6]
- Perbedaan ini disampaikan Imam at-Tirmidzi dalam pernyataan beliau, “Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan qunut witir. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mandang bahwa qunut witir dilakukan sepanjang tahun dan beliau memilih qunut sebelum rukuk. Ini adalah pendapat sebagian ulama dan pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Ishaq, dan Ahlu Kufah. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau tidak melakukan qunut kecuali di separuh akhir bulan Ramadan, dan beliau melakukannya setalah rukuk. Inilah pendapat sebagian ulama dan juga menjadi pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad. [7]
- Semua ini menunjukkan ketidakwajiban qunut witir. Sedangkan argumentasi yang menunjukkan bahwa qunut witir dilakukan sepanjang tahun adalah keumuman amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa slalam yang tidak dijelaskan kekhususannya dalam bulan tertentu. Hal ini menunjukkan bolehnya qunut witir dilakukan sepanjang tahun, dan lebih utama lagi dengan tidak terus-menerus, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dirajihkan oleh Syekh al-Albani dalam Sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [8] Wallahu a’lam.
Kapan Qunut Dilakukan dalam Shalat?
Qunut dilakukan pada rakaat terakhir setelah membaca surat dan sebelum rukuk. Inilah yang shahih dari amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Namun, kadang beliau melakukannya setelah rukuk sebelum sujud. Dalinya adalah sebagai berikut:
1. Hadits Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum rukuk.” (HR. Ibnu Majah; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167, hadits no. 426).
2. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang disampaikan ‘Alqamah, beliau berkata,
أَنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Sungguh, Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan qunut dalam witir sebelum rukuk.” (HR. Ibnu Abi Syaibah; Syaikh al-Albani mengatakan dalam Irwa’ al-Ghalil (2/166), “Sanadnya baik dan ia sesuai syarat Muslim.” Setelah itu beliau berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa yang shahih dari para sahabat adalah qunut sebelum rukuk dalam witir.“).
Demikianlah umumnya, qunut witir dilakukan sebelum rukuk. Namun, ada riwayat yang menunjukkan bolehnya melakukan qunut witir setelah rukuk, yaitu riwayat Urwah bin az-Zubair, beliau berkata,
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِي –وَ كَانَ فِيْ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رضي الله عنه مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الأَرْقَمِ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ
–قَالَ: أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رضي الله عنه خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَبْدٍ الْقَارِي فَطَافَ بِالْمَسْجِدِ ،
وَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ،
فَقَالَ عُمَرُ : وَاللهِ إِنِّيْ أَظُنُّ لَوْ جَمَعْنَا هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ ؛ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ عُمَرُ عَلَى ذَلِكَ وَ أَمَرَ أُبَيَّ
أَنْ يَقُوْمَ لَهُمْ فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عُمَرُ عَلَيْهِمْ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ،
فَقَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هِيَّ ، وَالَّتِيْ يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ
-يريد: آخر الليل- فَكاَنَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ وَكَانُوْا يَلْعَنُوْنَ الْكَفَرَةَ فِيْ النِّصْفِ :
اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ ، وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِوَعْدِكَ ، وَخاَلِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ ،
وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرَّعْبَ ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، إِلهُ الْحَقِّ. ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلى الله عليه وسلم ،
وِيَدْعُوْ لِلْمُسْلِمِيْنَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ .
قَالَ: وَكَانَ يَقُوْلُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنِهِ الْكَفَرَةِ وَصَلاَتِهِ عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَمَسْأَلَتِهِ :
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا ، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدِّ ،
إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحَقٌ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِي سَاجِداً)”
“Sesunggiuhnya, Abdurahman bin Abdul Qari yang dahulu di zaman Umar bin al-Khaththab bersama Abdullah bin al-Arqam memegang baitul mal berkata, “Sesungguhnya Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu keluar di malam hari di bulan Ramadan, lalu Abdurrahman bin Abdul Qari keluar dan mengelilingi mesjid, dan mendapatkan orang-orang di mesjid terbagi-bagi lagi tidak bersatu, seseorang shalat sendiri dan yang lainnya mengimami shalat sejumlah orang. Maka Umar berkata, ‘Demi Allah, saya pandang seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja tentunya akan lebih baik.’ Kemudian Umar bertekad untuk itu dan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadan. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang satu imam, sehingga Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini dan yang tidur (tidak ikut) lebih utama dari yang ikut shalat –beliau memaksudkan bahwa (yang shalat) di akhir malam (lebih utama), karena pada saat itu orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam–.
Mereka melaknati orang kafir pada separuh bulan Ramadan dengan doa, ‘Ya Alllah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (orang) dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu, dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut dihati-hati mereka, serta timpakanlah siksaan dan azab-Mu pada mereka, wahai sesembahan yang haq.’
Kemudian (mereka) bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin.’
Beliau berkata, ‘Apabila ia selesai melaknat orang-orang kafir, bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memohon ampunan untuk kaum mukminin dan mukminat, serta menyebutkan permintaan lainnya, ia mengucapkan, ‘Ya Allah, kami menyembah hanya kepada-Mu, berusaha dan beramal hanya untuk-Mu, dan memohon rahmat-Mu, wahai Rabb kami. Kami pun takut kepada azab-Mu yang pedih. Sesungguhnya azab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi.’ Kemudian ia bertakbir dan turun untuk sujud.’” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya: 2/155–156; dikatakan pen-tahqiq-nya, “Isnad-nya shahih.”).
Kata “Kemudian bertakbir dan turun untuk sujud” menunjukkan qunut witir-nya dilakukan setelah rukuk, sebab bila doa qunut-nya dibaca setelah mambaca surat tentulah bertakbir untuk rukuk bukan untuk sujud. Hal ini menunjukkan bolehnya hal tersebut karena dilakukan di hadapan para sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.
Bacaan Doa Qunut
Adapun untuk bacaan doa qunut, tampaknya dari nash-nash yang ada tidak ada pembatasan dengan doa tertentu. Namun di antara doa yang terbaik dalam qunut witir adalah doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana beliau radhiyallahu ‘anhuma ceritakan,
عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ [إذا فرغت من قراءتي] في قنوت الوتر
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْت
إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، وَلاَ مَنْجَأَ مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengarjariku doa yang aku ucapkan pada witir, ‘Wahai Allah, berilah petunjuk padaku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan kepadaku sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah berkah kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau menakdirkan dan tidak ada yang menentukan takdir bagimu, dan orang yang Engkau jadikan wali tidak akan terhinakan dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami dan tidak ada tempat keselamatan kecuali pada-Mu.’” (HR. Abu Daud; doa dibawakan oleh al-Albani dalam Sifat Shalat Nabi, hal. 180–181).
- Dibolehkan juga pada bulan Ramadhan berdoa dengan doa yang ada dalam atsar Abdurrahman bin Abdul Qari’ di atas.
Mengangkat Tangan dalam Qunut Witir
Dalam hal ini, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Yang shahih adalah mengangkat kedua tangan, karena hal itu benar telah diamalkan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Umar bin al-Khaththab adalah salah satu dari Khulafa’ ar-Rasyidin yang memiliki sunnah diteladani dengan dasar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau mengangkat kedua tangannya.” [9].
- Hal ini juga telah dilakukan beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disampaikan Muhammad bin nashr al-Marwazi dalam Mukhtashar kitab al-Witri, hal. 139–140. Di antara mereka adalah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Cara Mengangkat Tangan dalam Doa Qunut
Tentang cara mengangkat tangannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utasimin menjelaskan tentang pernyataan para ulama yang menyatakan bahwa mengangkat kedua telapak tangan ke dadanya dan tidak mengangkatnya terlalu tinggi, karena doa ini bukan doa ibtihal yang seseorang melebihkan dalam mengangkat tangannya, namun ini adalah doa permintaan. Kedua telapak tangan dan bagian dalamnya dibuka ke arah langit. Demikianlah pendapat para ulama kami. Zahirnya, keterangan para ulama adalah kedua tangan dikumpulkan seperti keadaan orang yang perlu yang meminta dari orang lain agar memberinya sesuatu. [10].
Mengangkat tangan kedada dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam doa qunut witir, sebagaimana diriwayatkan al-Aswad, beliau berkata,
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ الْقُنُوْتِ إِلَى صَدْرِهِ
“Sesungguhnya, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dahulu mengangkat kedua tangannya dalam qunut hingga dadanya.” (HR. al-Marwazi dalam Mukhtashar kitab al-Witr, hal. 139).
Demikianlah beberapa permasalahan tentang qunut witir. Mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.EkonomiSyariat.com
1. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cetakan kedua, tahun 1417, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh.
2. Mukhtashar kitab al-Witir Muhammad bin Nashr al-Marwazi, karya Ahmad bin Ali al-Maqrizi, tahqiq Muhammad Ibrahim al-’Ali dan Muhammad bin Abdillah, cetakan pertama, tahun 1413 H , Maktabah al-Manar, Yordania.
3. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, tahqiq Khalid bin Ali al-Musyaiqih, cetakan kedua, tahun 1416 H, Muassasah Asam.
4. Shahih Ibnu Khuzaimah, tahqiq Muhammad Musthafa al-A’zhami, cetakan kedua, tahun 1412 H , al-Maktab al-Islami, Beirut.
5. Lain-lain.
Catatan kaki:
[1] Syarhu al-Mumti’: 4/25.
[2] Zad al-Ma’ad: 1/276.
[3] Shahih Fikih Sunnah: 1/390.
[4] Lihat: Shahih Fikih Sunnah: 1/390.
[5] Sifat Shalat Nabi, Syaikh al-Albani, hlm. 179.
[6] Riwayat-riwayat dari mereka ini dalam kitab Mukhtashar kitab al-Witir Muhammad bin Nashir al-Marwazi karya al-Maqrizi, hlm. 118–129.
[7] Sunan at-Tirmidzi: 2/329.
[8] Sifat Shalat Nabi, hal. 179.
[9] Syarhu al-Mumti’: 4/24–25.
[10] Ibid: 4/25.
0 komentar:
Posting Komentar