Oleh: Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
- Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apa-apa yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa-apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” [1] (HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan:
- Dalam sabda beliau: (مَا) dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa-apa yang aku larang”, dan di dalam sabdanya, “Apa-apa yang aku perintahkan” adalah (مَا) syarthiyah (kata syarat), yakni: apapun yang telah dilarang dari kalian, maka jauhilah hal itu seluruhnya, dan janganlah kalian melakukannya sedikit pun juga, karena menjauhi perbuatan tersebut lebih mudah daripada mengerjakannya, semua orang telah mengetahui hal tersebut.
- Adapun perkara yang diperintahkan, beliau bersabda, “Dan apa-apa yang aku perintahkan, kerjakanlah semampu kalian.” Karena perkara yang diperintahkan adalah perbuatan dan terkadang hal itu memberatkan manusia. Oleh karena itu, Nabi telah membatasi hal itu dengan sabdanya, (maka kerjakanlah semampu kalian).
Di antara faedah hadits ini adalah:
1. Wajibnya menjauhi apa-apa yang telah dilarang oleh Rasulullah, lebih-lebih lagi apa yang telah dilarang oleh Allah. Ini berlaku, jika tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa larangan itu untuk menunjukkan hukum makruh saja. [2].
2. Tidak boleh melakukan perbuatan yang dilarang, bahkan yang wajib adalah menjauhi hal itu seluruhnya, dan itu berlaku jika hal itu tidak dalam keadaan darurat (terjepit/kepepet) yang membolehkannya dilakukan perkara tersebut dalam keadaan seperti ini.
3. Wajibnya mengerjakan apa-apa yang telah diperintahkan, dan hal ini berlaku selama tidak ada dalil apapun yang menunjukkan bahwa perintah tersebut untuk istihbab (sunnah) saja. [3].
4. Tidak wajib bagi seseorang untuk melakukan lebih banyak dari apa yang ia mampu.
5. Mudahnya agama Islam, yang mana agama ini tidak melimpahkan kewajiban atas seseorang kecuali apa-apa yang ia mampu.
6. Barangsiapa tidak mampu mengerjakan sebagian hal-hal yang diperintahkan, maka cukuplah baginya untuk mengerjakan sesuai dengan kesanggupannya. Oleh karena itu, orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri, bisa shalat dengan duduk; orang yang tidak sanggup shalat dengan duduk, bisa shalat dengan berbaring. Jika bisa ruku’, maka hendaknya dia ruku’, jika ia tidak sanggup, maka ia bisa menggunakan isyarat ketika ruku’, demikian juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Seseorang mengerjakannya sesuai dengan kesanggupannya.
7. Seseorang tidak sepatutnya banyak bertanya karena banyak bertanya –terlebih lagi pada zaman turunnya wahyu- akan mendatangkan pengharaman terhadap (sesuatu) yang sebenarnya tidak diharamkan, atau diwajibkannya sesuatu yang tidak diwajibkan. Akan tetapi, seseorang bertanya sebatas apa-apa yang ia perlukan.
8. Banyak bertanya dan menyelisihi para nabi adalah di antara sebab-sebab kebinasaan, dan sebab itulah yang membinasakan orang-orang sebelum kita.
9. Peringatan agar tidak banyak bertanya dan tidak menyelisihi para nabi. Karena kedua hal tersebut telah membinasakan orang-orang sebelum kita. Jika kita melakukan hal-hal di atas, maka kita nyaris binasa sebagaimana mereka pun binasa.
Catatan kaki:
[1] Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam (Al I’tisham/7288/Fath), Muslim di dalam (Al haj/1337/Abdul Baqi)
[2] Saya mengatakan (pentakhrij): asal larangan itu untuk pengharaman, maka apabila telah ada indikasinya bahwa itu untuk sesuatu yang dimakruhkan saja, maka hukumnya makruh / dimakruhkan, seperti larangan berbicara setelah waktu Isya’ kemudian Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berbicara setelahnya.
[3] Saya mengatakan: juga asal perintah itu untuk kewajiban, maka apabila indikasinya / qarinahnya telah ada bahwasanya perkara itu hanya sekedar anjuran, maka hukum yang berlaku ialah dianjurkan atau disunnahkan, seperti perintah untuk melaksanakan witir dan dalil-dalil yang menunjukkan kewajibannya hanyalah shalat lima waktu saja.
(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar