Oleh: Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ،
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ
وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
- Dari Abi Abdillah An Nu’man bin Basyir rhadiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas, dan perkara yang haram pun telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang meragukan, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka ia telah menjaga keselamatan agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat, berarti ia telah terjerumus dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah terlarang sehingga hewan-hewan itu nyaris merumput di dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memilliki daerah terlarang. Ketahuilah, bahwa daerah terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh terdapat mudghah (segumpal daging), jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. [1] (HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan:
Nabi telah membagi perkara ini menjadi tiga:
1. Perkara yang jelas kehalalannya, yang tidak ada keraguan padanya.
2. Perkara yang jelas keharamannya, yang tidak ada keraguan padanya.
- Kedua perkara ini jelas. Adapun perkara yang halal, hukumnya adalah halal. Seseorang tidak berdosa untuk melakukannya. Dan perkara yang haram, hukumnya pun haram, seseorang berdosa jika melakukannya. Contoh yang pertama: halalnya hewan ternak. Contoh yang kedua: haramnya khamr (minuman keras).
3. Adapun yang ketiga adalah perkara yang syubhat (meragukan) dari segi hukumnya; apakah itu hukumnya halal ataukah haram?
Hukum hal itu samar bagi kebanyakan manusia. Hanya saja hal itu telah diketahui oleh yang lainnya. Inilah yang disinyalir oleh Rasulullah, bahwa sikap yang hati-hati adalah meninggalkan perkara tersebut, dan agar orang-orang tidak terjerumus ke dalamnya.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat berarti ia telah menjaga keselamatan agama dan kehormatan dirinya” [2] dengannya Allah akan menjaga kehormatannya dalam perkara yang berkaitan antara dirinya dengan orang lain, sehingga mereka tidak mengatakan, “Si fulan telah terjatuh dalam perkara yang haram, di mana orang-orang itu mengetahuinya, sedangkan orang yang bersangkutan beranggapan bahwa hal itu adalah perkara yang samar, kemudian Nabi memberikan perumpamaan akan hal tersebut dengan seorang penggembala yang menggembala hewan ternaknya di daerah terlarang, yaitu di sekitar tanah lindung yang tidak digunakan sebagai tempat untuk menggembala hewan-hewan ternak, sehingga tempat tadi menjadi tempat yang hijau karena kawasan itu tidak digunakan sebagai tempat menggembala, maka tempat itu menarik hewan ternak untuk berjalan ke sana dan merumput di dalamnya (seperti seorang penggembala yang menggembala ternaknya di sekitar tanah lindung, sehingga hewan-hewan itu nyaris merumput di sana).”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki tanah larangan”, yakni sudah menjadi kebiasaan bahwa para raja melindungi lahan-lahannya yang di dalamnya terdapat tanaman dan pepohonan yang banyak.
“Ketahuilah bahwa tanah larangan Allah itu adalah keharaman-keharaman-Nya”, yaitu apa yang telah diharamkan-Nya untuk para hamba-Nya itulah yang menjadi larangan-Nya, karena Dia telah mencegah mereka dari keterjerumusan ke dalamnya. Kemudian beliau menerangkan bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasadnya akan menjadi baik, kemudian beliau menerangkan dengan sabdanya, “Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati / qalbu.”
Ini sebagai isyarat bahwa wajib bagi setiap orang untuk memperhatikan apa yang ada di dalam hatinya, daripada hawa nafsu senantiasa menghembuskan was-wasnya, hingga menjerumuskan ke dalam perkara yang diharamkan dan syubhat.
Faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1. Bahwa syari’at Islam perkara yang halalnya jelas dan perkara yang haramnya pun jelas, sedangkan hal-hal yang syubhat darinya hanyalah diketahui oleh sebagian orang saja.
2. Seyogyanya bagi setiap orang, jika tersamarkan baginya suatu perkara apakah itu halal atau haram, maka ia berusaha menjauhinya sampai nampak jelas kehalalannya baginya.
3. Bahwa seseorang jika terjerumus ke dalam perkara yang syubhat, maka mudah baginya untuk terjerumus ke dalam perkara-perkara yang jelas (keharamannya . pent), jika ia senantiasa melakukan perkara yang syubhat / tidak jelas / samar, sesungguhnya jiwanya akan mengajaknya untuk melakukan sesuatu yang lebih jelas (keharamannya . pent) maka pada saat itulah ia akan binasa.
4. Bolehnya memberikan permisalan dalam rangka menjelaskan perkara yang bersifat maknawi, dicontohkan dengan perumpamaan yang bersifat fisik, yakni untuk menyerupakan hal yang bisa dicerna oleh akal dengan yang bisa diraba tujuannya untuk mendekatkan pemahaman.
5. Baiknya metode pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan memberikan permisalan dan menjelaskannya.
6. Tolak ukur kebaikan dan kerusakan itu ada pada hati berdasarkan faedah ini, bahwasanya wajib bagi setiap orang untuk memberikan perhatian yang khusus terhadap hatinya hingga menjadi hati yang lurus sebagaimana mestinya. [3].
7. Bahwa rusaknya amaliyah lahiriyah sebagai bukti nyata akan rusaknya batin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika ia baik maka seluruh jasadnya akan menjadi baik, dan jika ia rusak maka seluruh jasadnya akan menjadi rusak.” Maka rusaknya amaliyah lahiriyah sebagai tanda rusaknya amaliyah bathin /hati. [4].
Catatan kaki:
[1] Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam (Al Iman/52/Fath). Dan Muslim (Al Masaqat/1599/Abdul Baqi).
[2] Yang dimaksud menjaga agamanya ialah menjaga hubungannya dengan Allah subhanahu wata’ala, sedangkan menjaga kehormatan adalah antara diri dengan manusia.
[3] Saya mengatakan (pentakhrij): bahwa perkaranya seperti yang dikatakan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Hati adalah raja dan anggota badan adalah tentaranya.” Syaikhul Islam berkata, “Hati itu berbeda dengan raja-raja di dunia. Sesungguhnya anggota badan tidak akan menyelisihi sedikitpun dari kehendak hatinya.” Dinukil dengan ringkas.
[4] Saya mengatakan (pentakhrij): perhatikan firman Allah surat Ibrahim ayat 24-26. sungguh Allah telah memulai dengan bathin sebelum lahiriyah, dan dijelaskan bahwa apabila bathinnya baik, maka lahiriyahnya akan baik. Dan jika bathinnya rusak, maka lahiriyahnya akan rusak.
(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http://ulamasunnah.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar