Penjelasan Hadits Arbain Imam An Nawawi Ke 16 : Larangan dari Marah

Oleh: Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
 

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

 أَوْصِنِي، قَالَ :

لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
 

[رواه البخاري]

  • Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi, “Berilah aku wasiat.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah engkau marah.” Beliau mengulang sabdanya beberapa kali, beliau tetap bersabda, “Janganlah engkau marah.” (Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Al Adab/6116/Fath]).

Penjelasan:

Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada seseorang tentang perkara penting. Lelaki tersebut meminta kepada Nabi agar beliau memberikan wasiat kepadanya. Maka berliau bersabda, “Janganlah engkau marah.” Nabi tidak menyampaikan wasiat untuk bertakwa, yang dengan wasiat inilah Allah berwasiat kepada umat ini dan dengan wasiat ini pula, Dia berwasiat kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kita. Tetapi beliau bersabda, “Janganlah engkau marah.”
  • Yang dimaksud bukanlah melarang dari marah, yang itu merupakan salah satu tabiat manusia, akan tetapi yang dimaksudkan adalah kuasai dirimu ketika marah, di mana ia tidak melampiaskan apa yang dituntut oleh kemarahan ini, karena kemarahan adalah bara api yang dilemparkan oleh setan ke dalam lubuk hati anak adam.

Karena itu, engkau dapatkan orang yang sedang marah, matanya memerah, urat-uratnya keluar. Bisa jadi, perasaannya menjadi hilang dengan sebab kemarahan itu, sehingga terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi akhirnya ia menyesal dengan penyesalan yang mendalam terhadap apa yang terjadi dengan sebab kemarahan itu. Karena itu, nabi berwasiat kepadanya dengan wasiat ini, yaitu wasiat kepadanya dan orang-orang yang keadaannya serupa dengannya.

Faedah yang dapat dipetik dari hadits ini:
  • Seorang mufti dan pengajar sepatutnya memperhatikan keadaan orang yang meminta fatwa, dan keadaan anak didiknya, serta seyogyanya ia berbicara dengannya sesuai dengan keadaannya, sekalipun jika ia berbicara dengan selainnya, ia berbicara dengan materi yang lain lagi.

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http://ulamasunnah.wordpress.com)


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger