Penggunaan Kata Zawj dan Imra’ah di Dalam al-Qur’an

Oleh: Muhammad Arifin, MA.

Di dalam Al-Qur’an, kita terkadang menemukan penggunaan dua kata yang berbeda untuk makna yang kurang lebih sama. Untuk makna ‘istri’, misalnya, Al-Qur’an terkadang menggunakan kata zawj (bentuk jamaknya: azwâj), dan pada kesempatan lain dia menggunakan kata imra’ah atau nisâ’.

Kata imra’ah pada dasarnya secara bahasa berarti ‘perempuan’, bukan ‘istri’. Tetapi, meski demikian, Al-Qur’an terkadang menggunakan kata itu untuk maksud atau makna ‘istri’.

Penggunaan kata zawj dapat kita temukan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 35, 102, 230; an-Nisâ’ [4]: 1, 20; al-A’raf [7]: 19, 189; Hûd [11]: 40; ar-Ra‘d [13]: 3; dan beberapa surah lain. Kata zawj di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 28 kali. Sedangkan kata azwâj (terulang 52 kali) dapat kita temukan, antara lain, pada QS. at-Tahrîm [66]: 1, 3, 5; al-Ma‘ârij [70]: 30, dan an-Naba’ [78]: 8).

Contoh penggunaan kata azwâj misalnya dalam ayat yang sering kita dengar dalam konteks pernikahan:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri (azwâjan) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS ar-Rum [30]: 21).

Sementara itu, penggunaan kata imra’ah yang berarti ‘istri’ dapat kita temukan, antara lain, di dalam QS. al-Qashash [28]: 9; dan at-Tahrîm [66]: 10. Kata nisâ’ –yang dalam bahasa Arab dimasukkan ke dalam kelompok ism jam‘ (nomina jamak, yaitu nomina yang mengandung arti jamak tetapi tidak mempunyai bentuk tunggalnya seperti qawm dan rahth)— yang digunakan untuk makna ‘istri-istri’ dapat kita temukan, misalnya, pada QS. al-Baqarah [2]: 187, 222, 223, 226, 231, 232, 236; Al Imran [3]: 61; an-Nisa’ [4]: 23, dan lain-lain.

***
Secara bahasa, kata zawj berarti ‘ganda’ atau ‘lawan dari tunggal’.
Dalam Kamus Lisân al-‘Arab, Ibnu Mandzhur menyebutkan: az-zawj khilâf al-fard.

Kata zawj atau azwâj yang digunakan di dalam Al-Qur’an lebih menunjukkan kepada pasangan yang mempunyai keterikatan begitu kuat dan sempurna. Keduanya dapat dikatakan sebaya, serasi, saling berkesesuaian, menganut agama atau akidah yang sama, mempunyai kejiwaan yang kurang lebih sama, dan seterusnya.

Kesan makna keserasian yang terkandung di dalam kata zawj ini pula yang kita rasakan dalam firman Allah: Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan (zawjayn) agar kamu sekalian ingat. (QS. adz-Dzâriyât [51]: 49).

Langit berpasangan dengan bumi, malam berpasangan dengan siang, dingin berpasangan dengan panas, terang berpasangan dengan gelap, sedih berpasangan dengan senang, dan seterusnya. Kesemua itu mengesankan adanya keserasian dan kesempurnaan.

Dari situ, maka Al-Qur’an menyebut ibu kita Hawa, istri Nabi Adam a.s., dengan menggunakan kata zawj ( زوج ), bukan imra’ah ( امرأة ):

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan Kami berfirman, “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 35).

Karena alasan itu pula, tampaknya, istri-istri Nabi Muhammad saw. disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kata azwâj (أزواج):

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istiri-istirinya adalah ibu-ibu mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 6).

Sedangkan apabila di antara pasangan itu –sedikit atau banyak— terdapat kekurangsesuaian atau kekurangserasian karena alasan tertentu, maka Al-Qur’an lebih sering menggunakan kata imra’ah daripada zawj. Untuk penyebutan istri Firaun, oleh Al-Qur’an digunakan kata imra’at Fir‘awn (فرعون امرأت). Itu antara lain karena di antara Firaun dan istrinya itu tidak terdapat kesesuaian yang sempurna. Firaun tidak beriman kepada Allah, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan, sedang istrinya memilih untuk beriman kepada Allah dan kepada ajaran yang dibawa oleh Musa a.s.

وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ

Dan istri Firaun berkata, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak,” sedang mereka tiada menyadari. (QS. al-Qashash [28]: 9).

Begitu juga dengan istri Nabi Nuh a.s. dan istri Nabi Luth a.s. yang oleh Al-Qur’an disebut dengan menggunakan kata imra’at ( امرآت نوح dan امرأت لوط ), karena ada ketidaksesuaian dan ketidakserasian di antara mereka. Nabi Nuh dan Nabi Luth adalah dua orang pilihan Allah sebagai nabi yang beriman kepada-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya, sedangkan istri-istri mereka tidak beriman kepada Allah. Kekafiran istri-istri kedua nabi Allah itu membuat mereka “tidak pantas” disebut zawj. Mereka hanya pantas disebut imra’ah:

Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (QS. …)

Yang sungguh sangat menakjubkan, di dalam Al-Qur’an kita menemukan penggunaan kata imra’at dan zawj untuk satu orang yang sama, yaitu istri Nabi Zakaria a.s. Ketika Nabi Zakaria memohon kepada Allah agar mendapat keturunan –sementara istrinya mandul, belum dapat mengandung— kisah itu digambarkan oleh Al-Qur’an dengan menggunakan kata imra’ah/imra’at untuk menyebut istri Nabi Zakaria. Tetapi ketika Zakaria kemudian mendapat keturunan, dan istrinya berhasil mengandung lalu melahirkan, Al-Qur’an tidak lagi menggunakan kata imra’at, melainkan menggunakan kata zawj.

Penggunaan dua kata yang berbeda untuk orang yang sama itu dapat kita pahami demikian, yaitu bahwa al-Qur’an menggambarkan perkawinan atau keberpasangan Nabi Zakaria a.s. dengan istrinya itu seolah-olah belum sempurna karena istrinya belum dapat mengandung dan melahirkan anaknya. “Kekurangsempurnaan” pasangan itu digambarkan oleh al-Qur’an dengan menggunakan kata imra’at untuk istri Nabi Zakaria. Kita lihat kisah itu pada ayat-ayat berikut:
كهيعص (١)ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا (٢)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا (٣)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (٤)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (٥)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (٦)يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا (٧)قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا (٨)

Kâf, Hâ, Yâ, `Ayn, Shâd. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku (imra’atî) adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya‘qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku (imra’atî) adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua". (QS. Maryam [22]: 1-8).

Tetapi setelah Allah mengabulkan permohonan Nabi Zakaria, dengan menyembuhkan penyakit kemandulan istrinya, kemudian Nabi Zakaria memperoleh keturunan, al-Qur’an tidak lagi menggunakan kata imra’at untuk menyebut istri Nabi Zakaria, tetapi lebih menggunakan kata zawj. Itu, antara lain, karena “kesempurnaan” pasangan suami istri itu seolah telah tercapai. Mari kita lihat ayat berikut:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Maka Kami memperkenankan doanya (Zakaria), dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya (zawjahu) dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami. (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 90).

Dengan kata lain, ketika belum mengandung dan belum melahirkan anak Nabi Zakaria, istri Nabi itu masih disebut imra’ah, tetapi setelah dapat melahirkan anaknya yang bernama Yahya, istri Nabi Zakaria tidak lagi sekadar imra’ah. Ia adalah zawj.

Wallahu a’lam.

sumber : http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/125-penggunaan-kata-qzawjq-dan-qimraahq-di-dalam-al-quran


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger