Dalam dunia ilmu hadits, nama Ibnu Atsir memang tidak setenang Imam Al-Bukhari, Imam Muslim ataupun Imam Ahmad. Namun demikian, para Ulama hadits sangat mengapresiasi karya ilmiah beliau dalam salah satu aspek ilmu hadits yang beliau dalami dan merasakan manfaatnya yang besar.
Terlahir dengan nama Mubarak, putra Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid Asy-Syaibani Al-Jazari, di kota Maushil (Mosul, Irak) pada tahun 544 H. Selanjutnya lebih populer dengan panggilan Ibnul Atsir, putra al-Atsir yang merupakan laqab (julukan) sang ayah.
Sejak dini, beliau memasuki dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab Ilmi’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul, “Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ilmi (belajar ilmu agama), duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para Ulama). Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku lantaran menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka, aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi-sisi yang tersembunyi dan mengetahui segi-segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikit pun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku taufik untuk dapat mencari ilmu dengan baik dan meraih tujuan mulia.”
Seiring dengan perjalanan waktu, kemampuan ilmiah beliau pun mencapai kematangan. Tidak hanya menguasai satu disiplin ilmi. Ilmu bahasa Arab, Tafsir, Hadits dan Fikih adalah deretan pengetahuan beliau yang menonjol. Karya-karya ilmiah di bidang-bidang yang telah disebutkan menjadi bukti nyata akan kepakaran beliau di dalamnya. Tak ketinggalan, Ulama yang juga akrab dengan panggilan Abu Sa’adat Majduddin ini juga dikenal sebagai seorang penyair ulung. Akan tetapi, dari seluruh aspek keahliannya itu, kedalamannya dalam ilmu hadits, terutama yang berkaitan dengan ilmul gharib lah yang paling menonjol. Namanya pun sering dikaitkan dengannya lantaran telah melahirkan karya yang disebut-sebut tiada tandingannya. Orang lebih mengenal beliau dari sisi itu.
Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa lagi menulis sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus ditandu. Karena itu, beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak mengahalangi beliau untuk mewariskan ilmi-ilmiu bagi umat. Bahkan ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya menghadapi penyakit yang dideritanya. Ada sejumlah murid yang membantu beliau menuliskannya.
Secara mudah, pengertian al-ghariib, dikatakan Ibnu Shalah, ialah satu ungkapan untuk menerangkan kata-kata yang (belum) tidak jelas maknanya, susah dipahami yang ada dalam matan (teks-teks) hadits lantaran sudah jarang pakai (orang)”. Jadi yang masuk kategori kata gharib (kata-kata asing) adalah kata yang sudah termarjinalkan pemakaiannya, sulit dipahami, tidak terbiasa didengar telinga.
An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar itulah nama kitab susunan Ibnul Atsir dalam masalah ini. Sebagaimana namanya, An-Nihayah (penghabisan), kitab ini kandungannya kaya, sangat mencukupi dan memadai untuk menjadi jembatan memahami kata-kata sulit yang terdapat dalam hadits-hadits, lantaran telah menggabungkan kitab-kitab sebelumnya, plus tambahan dari beliau yang banyal. Selain itu, melalui kitab ini, akan mudah dicari kata sulit yang diinginkan dan dengan cara yang mudah, tidak seperti karya-karya ulama sebelumnya dalam bidang yang sama yang masih menyisakan kesulitan dalam mencari kata perkata. Tak pelak, bila dijadikan sebagai umdah, pegangan utama dalam ilmul gharib.
Tentang kitabnya, As-Suyuthi berkata, “Kitabnya adalah kitab terbaik dalam bahasan gharibul hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai.”
Artikel www.KisahMuslim.com
http://kisahmuslim.com/ibnu-atsir/
Terlahir dengan nama Mubarak, putra Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid Asy-Syaibani Al-Jazari, di kota Maushil (Mosul, Irak) pada tahun 544 H. Selanjutnya lebih populer dengan panggilan Ibnul Atsir, putra al-Atsir yang merupakan laqab (julukan) sang ayah.
Sejak dini, beliau memasuki dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab Ilmi’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul, “Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ilmi (belajar ilmu agama), duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para Ulama). Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku lantaran menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka, aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi-sisi yang tersembunyi dan mengetahui segi-segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikit pun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku taufik untuk dapat mencari ilmu dengan baik dan meraih tujuan mulia.”
Seiring dengan perjalanan waktu, kemampuan ilmiah beliau pun mencapai kematangan. Tidak hanya menguasai satu disiplin ilmi. Ilmu bahasa Arab, Tafsir, Hadits dan Fikih adalah deretan pengetahuan beliau yang menonjol. Karya-karya ilmiah di bidang-bidang yang telah disebutkan menjadi bukti nyata akan kepakaran beliau di dalamnya. Tak ketinggalan, Ulama yang juga akrab dengan panggilan Abu Sa’adat Majduddin ini juga dikenal sebagai seorang penyair ulung. Akan tetapi, dari seluruh aspek keahliannya itu, kedalamannya dalam ilmu hadits, terutama yang berkaitan dengan ilmul gharib lah yang paling menonjol. Namanya pun sering dikaitkan dengannya lantaran telah melahirkan karya yang disebut-sebut tiada tandingannya. Orang lebih mengenal beliau dari sisi itu.
Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa lagi menulis sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus ditandu. Karena itu, beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak mengahalangi beliau untuk mewariskan ilmi-ilmiu bagi umat. Bahkan ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya menghadapi penyakit yang dideritanya. Ada sejumlah murid yang membantu beliau menuliskannya.
Urgensi An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar
Imam Ahmad pernah ditanya tentang satu kata sulit yang terdapat dalam sebuah hadits. Beliau menjawab, “Tanyakanlah itu kepada orang-orang yang menguasainya (ashhabul gharib). Aku tidak suka berbicara tentang perkataan Rasulullah dengan dasar prasangka semata yang bisa mengakibatkan aku melakukan kesalahan.” Ungkapan Imam Ahmad ini sedikit banyak menandakan pentingnya penguasaan satu disiplin ilmu dalam dunia ilmu hadits yang disebut dengan ilmul gharib, yang nantinya menjadi titik keunggulan Ibnul Atsir dan karyanya.Secara mudah, pengertian al-ghariib, dikatakan Ibnu Shalah, ialah satu ungkapan untuk menerangkan kata-kata yang (belum) tidak jelas maknanya, susah dipahami yang ada dalam matan (teks-teks) hadits lantaran sudah jarang pakai (orang)”. Jadi yang masuk kategori kata gharib (kata-kata asing) adalah kata yang sudah termarjinalkan pemakaiannya, sulit dipahami, tidak terbiasa didengar telinga.
An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar itulah nama kitab susunan Ibnul Atsir dalam masalah ini. Sebagaimana namanya, An-Nihayah (penghabisan), kitab ini kandungannya kaya, sangat mencukupi dan memadai untuk menjadi jembatan memahami kata-kata sulit yang terdapat dalam hadits-hadits, lantaran telah menggabungkan kitab-kitab sebelumnya, plus tambahan dari beliau yang banyal. Selain itu, melalui kitab ini, akan mudah dicari kata sulit yang diinginkan dan dengan cara yang mudah, tidak seperti karya-karya ulama sebelumnya dalam bidang yang sama yang masih menyisakan kesulitan dalam mencari kata perkata. Tak pelak, bila dijadikan sebagai umdah, pegangan utama dalam ilmul gharib.
Tentang kitabnya, As-Suyuthi berkata, “Kitabnya adalah kitab terbaik dalam bahasan gharibul hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai.”
Di antara pelajaran yang dapat dipetik dari biografi Ibnu Atsir:
- Manfaat besar memulai mendalami agama sejak dini. Pengaruhnya akan lebih kaut di masa dewasa.
- Pentingnya ketekunan dalam belajar untuk menggapai tujuan.
- Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan hamba-Nya untuk memberi kemanfaatan bagi sesama bila jujur dalam niatya meski menderita kekurangan secara fisik. Wallahu a’lam.
Artikel www.KisahMuslim.com
http://kisahmuslim.com/ibnu-atsir/
0 komentar:
Posting Komentar