Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah? [4]

SYUBHAT KEDUA

Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar bin Khaththab رضي الله عنه:

نعم البدعة هٰذه

“Inilah sebaik-baik bid’ah” [I’laamul Muwaqqi’iin, (2/282)]

BANTAHAN:

Pertama:
Jika kita menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar رضي الله عنه adalah sebagaimana yang mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah –sekalipun hal ini tidak bias diterima- maka sesungguhnya tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu perkataan Abu Bakar رضي الله عنه sebagai orang terbaik diantara ummat sesudah nabiNya, dan tidak pula perkataan Umar رضي الله عنه, sebagai orang terbaik kedua pada ummat ini setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم, juga tidak bisa dikonfrontasikan dengan ucapan siapapun.

Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما berkata:

يوشك أن تتنزّل عليكم حجارة من السّماء أقول: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم و تقولون قال أبو بكر و عمر

“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan ‘bersabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم’ kalian justru mengatakan ‘berkata Abu Bakar dan Umar’.

Berkata Umar bin Abdul Aziz رحمه الله:

لا رأى لأحد مع سنّة سنّها رسول الله صلى الله عليه و سلم

Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم.” [I’laamul Muwaqqi’iin]

Berkata Imam Asy Syafi’I رحمه الله:

اجمع المسلمون على أنّ من استبان له سنّة رسول الله صلى الله عليه و سلم لم يحلّ لها أن يدعها لقول أحد

Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rosululloh صلى الله عليه و سلم, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ada perkataan orang lain.” [Thabaqaatul Hanaabilah, (2/15) dan Al Ibaanah, (1/260)]

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله:

من ردّ حديث النبيّ صلى الله عليه و سلم فهو على شفا هلكة

Barangsiapa yang menolak hadits Nabi صلى الله عليه و سلم maka berarti dia telah berada dipinggir jurang kehancuran” [Ditakhrij oleh Al Bukhari, no. 1129].

Kedua:
Bahwasanya ‘Umar رضي الله عنه mengeluarkan perkataan tersebut ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih, dan shalat tarawih itu, bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah رضي الله عنها bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه و سلم shalat dimasjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah صلى الله عليه و سلم tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau bersabda:

قد رأيت الذي صنعتم و لم يمنعني من الخروج ج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم

Sungguh aku telah melihat apa yang kalian perbuat (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan karena aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian”. Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah). [Al I’tisham, (1/250)]
  • Rasululllah صلى الله عليه و سلم telah menjelaskan sebab-sebab beliau meninggalkan jama’ah dalam shalat tarawih waktu itu. Tatkala ‘Umar رضي الله عنه melihat bahwa sebab-sebab yang menghalangi jama’ah tarawih itu sudah tiada, maka beliaupun melakukan kembali shalat tarawih secara berjama’ah. Dengan demikian maka apa yang dilakukan oleh ‘Umar رضي الله عنه itu ada asalnya dari perbuatan Rasulullah صلى الله عليه و سلم.
Ketiga:
Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh ‘Umar رضي الله عنه itu bukanlah merupakan suatu bid’ah, lalu apa yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?
  • Sesungguhnya kata bid’ah dalam ucapan beliau tersebut maksudnya adalah bid’ah dalam pengertian bahasa bukan makna menurut syara’ (agama).
  • Bid’ah menurut bahasa adalah ما فعل على غير مثل سابق (apa saja yang dilakukan yang tidak ada contoh sebelumnya). Maka tatkala shalat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada masa Abu Bakar رضي الله عنه dan pada awal masa kekhalifahan ‘Umar رضي الله عنه, berarti bahwa ia merupakan suatu bid’ah menurut tinjauan bahasa, yakni tidak ada contoh sebelumnya. Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidaklah demikian, sebab perbuatan itu mempunyai dasar dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم.
  • Berkata Asy Syathibiy: Maka barangsiapa yang menamakannya sebagai “Bid’ah” dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam segi penamaan (Istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperbolehkan melakukan perbuatan bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan fakta dari yang sebenarnya”. [Iqtidhaa-us Shiraathil Mustaqiim hal. 276].

Berikut ini akan kami nukilkan perkataan beberapa Imam sebagai bukti atas apa yang telah kami sebutkan:

1.    Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena bid’ah dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. [Tafsiiru Ibni Katsiir, terhadap surat Al Baqarah ayat 117].

2.    Ibnu Katsiir رحمه الله berkata: “Bid’ah itu ada dua macam:
i.      Terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’, seperti sabda beliau صلى الله عليه و سلم:

فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة

Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”.
ii.     Terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut bahasa, sebagaimana Amirul Mu’minin Umar bin Al Khaththab رضي الله عنه mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih dan secara terus-menerus: “inilah sebaik-baik bid’ah” [Jamii’ul ‘Ulum wal Hikam, no. 28 dengan sedikit perubahan.

3.    Ibnu Rajab berkata: Adapun apa yang terdapat pada perkataan ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah maknawiyyah (bid’ah menurut bahasa) bukan syar’iyyah (menurut agama). Diantaranya adalah perkataan Umar رضي الله عنه: “Inilah sebaik-baik bid’ah.”
  • Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnya ia mempunyai asal dari syari’at yang dijadikan rujukan. [Tafsiirul Manaar (9/660) melalui Ilmu Ushulul Bida’ oleh Ali Hasan, hal. 95]
4.    Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna:
i.    Penggunaan secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukumi dengan lima hokum syari’at (wajib, sunnah, dsb.).
Diantaranya adalah perkataan Umar رضي الله عنه saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam shalat tarawih: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
ii.    Dalam pengertian Syar’i (Agama). Maknanya adalah: segala sesuatu dari urusan agama yang belum pernah diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم pada masa beliau, seperti dalam masalah-masalah ‘Aqidah, Ibadah, dan pengharaman sesuatu secara syar’i.

Inilah yang terdapat dalam hadits:

 فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة
    Dan bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka, sebab Alloh تعالى telah menyempurnakan agamaNya dan telah mencukupkan dengan agama tersebut nikmatNya terhadap makhlukNya. Maka tak seorangpun setelah Nabi صلى الله عليه و سلم yang berhak menambah-nambah sesuatu terhadap agama ini, baik terhadap masalah aqidah, ibadah, maupun syi’ar-syi’ar agama. Begitu pula tidak boleh mengurangi sesuatupun dari agama ini maupun merubah tatacaranya, seperti mengubah-ubah shalat jahriyyah (yang dikeraskan suara didalamnya) menjadi sirriyyah (yang tidak dikeraskan suara didalamnya) atau sebaliknya. Demikian pula tidak boleh mengubah ibadah yang bersifat mutlak (umum) menjadi sesuatu yang dibatasi dengan waktu atau tempat terentu, atau mesti dilakukan secara kolektif atau perorangan tanpa ada dasarnya dari agama. [Ditakhrij oleh Ahmad dalam Al Musnad, (1/379).

[Disalin dari buku "Mengapa Anda Menolak Bid'ah Hasanah?" penerbit Pustaka At-Tibyan].



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger