Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr [1], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya,
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada kami. Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.”[2]
Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
’Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.”[3].
Muqothil bin Hayyan [4], Seorang Alim di Negeri Khurosan dan Sezaman dengan Al Auza’i Meyakini Keberadaan Allah di Atas,
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitab As Sunnah-nya, dari ayahnya (Imam Ahmad), dari Nuh bin Maimun, dari Bukair bin Ma’ruf, dari Muqotil bin Hayyan. Ketika Muqotil membicarakan ayat,
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya” (QS. Al Mujadilah: 7), beliau mengatakan, “Allah tetap berada di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya yang senantiasa bersama makhluk-Nya.”[5]
Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu. Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.”[6].
Sufyan Ats Tsauri [7], Ulama Besar di Masanya,
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah, pen).[8].
Seorang Alim Besar Negeri Khurosan, Abdullah bin Al Mubarok Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh.
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[9]
Diriwayatkan dari Abudllah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sandanya dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.”[10].
‘Abbad bin Al ‘Awwam [11], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Tidak atas langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.”[12].
Syaikhul Islam Yazid bin Harun [13]
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.”[14]
Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i [15], Ulama Bashroh.
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.”[16].
‘Abdurrahman bin Mahdi [17], Seorang Imam Besar
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal.[18]
Wahb bin Jarir [19], Ulama Besar Bashroh.
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata, “Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyah. Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah perkataan kekufuran.” [20]
Al Qo’nabi [21], Ulama Besar di Masanya.
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”[22] Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.”[23]
Al Humaidi [24] (Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi), Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari. Al Humaidi mengatakan,
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [25].
Semisal pula firman Allah,
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [26], dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.[27]. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan.[28].
Kritik: Tidak Tepat Menerjemahkan Istiwa’ dengan “Bersemayam”.
Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Thoha ayat 5,
Ada yang menafsirkan: “Ar Rahman (yaitu Allah) bersemayam di atas ‘Arsy”. Kata istiwa’ di sini diartikan dengan bersemayam.
Penulis (Abu Rumaysho) berkata, “Pemaknaan seperti ini tidak tepat karena orang awam malah akan memahami bahwa Allah itu bersemayam (yang berarti duduk) di singgasana sebagaimana raja. Akibatnya bisa terjadi tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dalam sifat istiwa’ ini. Yang benar makna istiwa’ sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Aliyah dan Mujahid yang dinukil oleh Imam Al Bukhari dalam kitab shahihnya:
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah irtafa’a (naik).
Mujahid mengatakan mengenai istiwa’ adalah ‘alaa (menetap tinggi) di atas ‘Arsy. Salah paham dalam menafsirkan hal ini, akhirnya membuat sebagian orang salah paham dengan istiwa’ Allah. Semoga bisa jadi kritikan berharga.“
Kesimpulan dari pembahasan ini:
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa telah menyepakati (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang menyatakan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak mungkin seorang pun yang bisa menukil dari para ulama yang ada yang menyatakan bahwa Allah tidak di atas ‘Arsy-Nya baik secara nash (dalil tegas) atau secara zhahir (dalil yang mengandung makna lebih kuat).
Pembuktian dari ulama-ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa masih berlanjut pada posting selanjutnya insya Allah. Begitu pula berbagai kerancuan yang dikemukakan oleh pengikut Jahmiyah tentang istiwa’ Allah, Allah ada tanpa tempat, dan lainnya masih berlanjut dalam posting selanjutnya.
Semoga Allah memberi kemudahan.
Diselesaikan ketika waktu Dhuha di Panggang-GK, 26 Rabi’ul Akhir 1431 H (10/04/2010),
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel http://www.rumaysho.com/
__________
[1] Al Auza’i hidup sebelum tahun 157 H.
[2] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137
[4] Muqotil bin Hayyan semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al Baihaqi (hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[7] Sufyan Ats Tsauri hidup pada tahun 97-161 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[11] ‘Abbad bin Al ‘Awwam hidup sekitar tahun 185 H.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 151.
[13] Yazid bin Harun hidup sebelum tahun 206 H.
[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168.
[15] Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’iy hidup pada tahun 122-208 H.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168.
[17] ‘Abdurrahman bin Mahdi hidup pada tahun 125-198 H.
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170.
[19] Wahb bin Jarir meninggal tahun 206 H.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170.
[21] Al Qo’nabi meninggal tahun 221 H.
[22] QS. Thoha: 5.
[23] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178.
[24] Al Humaidi meninggal tahun 219 H.
[25] QS. Al Maidah: 64.
[26] QS. Az Zumar: 67
[27] QS. Thoha: 5.
[28] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180.
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2992-di-manakah-allah-5.html
Perlu diketahui bahwa syubhat atau berbagai kerancuan dari Abu Salafy cs yang menyatakan kebenciannya pada dakwah Ahlus Sunnah Salafiyah sebenarnya hanyalah warisan dari pemahaman aliran sesat Jahmiyah, akar dari pemahaman mereka.
Para ulama secara tegas mewanti-wanti pemikiran sesat tersebut. Sampai-sampai Adz Dzahabi dalam kitabnya Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam yang jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah. Itulah yang akan kami nukil dalam posting kali ini dan posting selanjutnya. Adz Dzahabi menyebutkan perkataan ulama besar tersebut untuk membantah perkataan Jahmiyah dan orang-orang yang mengikutinya, di mana mereka tidak meyakini Allah di atas langit, dan tidak meyakini Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.
Juga mungkin masih banyak di antara kita yang ragu dengan kurang jelas dalam memahami ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu bersama dengan kita atau Allah itu dekat. Semuanya terjawab pula dalam penjelesan ulama-ulama besar berikut ini. Hanya Allah yang beri taufik kepada Al Haq (kebenaran).Para ulama secara tegas mewanti-wanti pemikiran sesat tersebut. Sampai-sampai Adz Dzahabi dalam kitabnya Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam yang jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah. Itulah yang akan kami nukil dalam posting kali ini dan posting selanjutnya. Adz Dzahabi menyebutkan perkataan ulama besar tersebut untuk membantah perkataan Jahmiyah dan orang-orang yang mengikutinya, di mana mereka tidak meyakini Allah di atas langit, dan tidak meyakini Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.
Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr [1], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya,
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي الجوهري ببغداد قال حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير المصيصي قال سمعت الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada kami. Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.”[2]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
’Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.”[3].
Muqothil bin Hayyan [4], Seorang Alim di Negeri Khurosan dan Sezaman dengan Al Auza’i Meyakini Keberadaan Allah di Atas,
روى عبد الله بن أحمد بن حنبل في كتاب السنة له عن أبيه عن نوح بن ميمون عن بكير بن معروف عن مقاتل بن حيان في قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم قال هو على عرشه وعلمه معهم
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitab As Sunnah-nya, dari ayahnya (Imam Ahmad), dari Nuh bin Maimun, dari Bukair bin Ma’ruf, dari Muqotil bin Hayyan. Ketika Muqotil membicarakan ayat,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya” (QS. Al Mujadilah: 7), beliau mengatakan, “Allah tetap berada di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya yang senantiasa bersama makhluk-Nya.”[5]
وروى البيهقي بإسناده عن مقاتل بن حيان قال بلغنا والله أعلم في قوله تعالى هو الأول والآخر هو الأول قبل كل شيء والآخر بعد كل شيء والظاهر فوق كل شيء والباطن أقرب من كل شيء وإنما قربه بعلمه وهو فوق عرشه مقاتل هذا ثقة إمام معاصر للأوزاعي ما هو بإبن سليمان ذاك مبتدع ليس بثقة
Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu. Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.”[6].
Sufyan Ats Tsauri [7], Ulama Besar di Masanya,
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل
وهو معكم أينما كنتم قال علمه
وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah, pen).[8].
Seorang Alim Besar Negeri Khurosan, Abdullah bin Al Mubarok Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh.
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[9]
وروى عبد الله بن أحمد في الرد على الجهمية بإسناده عن ابن المبارك أن رجلا قال له يا أبا عبد الرحمن قد خفت الله من كثرة ما أدعو على الجهمية
قال لا تخف فإنهم يزعمون أن إلهك الذي في السماء ليس بشيء
Diriwayatkan dari Abudllah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sandanya dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.”[10].
‘Abbad bin Al ‘Awwam [11], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء
أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Tidak atas langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.”[12].
Syaikhul Islam Yazid bin Harun [13]
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.”[14]
Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i [15], Ulama Bashroh.
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا
من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش
وقالوا هم ليس على شيء
من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش
وقالوا هم ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.”[16].
‘Abdurrahman bin Mahdi [17], Seorang Imam Besar
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا
وإلا ضربت أعناقهم
وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal.[18]
Wahb bin Jarir [19], Ulama Besar Bashroh.
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء
وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا الكفر
وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا الكفر
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata, “Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyah. Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah perkataan kekufuran.” [20]
Al Qo’nabi [21], Ulama Besar di Masanya.
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع رجلا من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي
من لا يوقن أن الرحمن على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على مالك الإمام
من لا يوقن أن الرحمن على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”[22] Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.”[23]
Al Humaidi [24] (Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi), Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari. Al Humaidi mengatakan,
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [25].
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [26], dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.[27]. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan.[28].
Kritik: Tidak Tepat Menerjemahkan Istiwa’ dengan “Bersemayam”.
Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Thoha ayat 5,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ada yang menafsirkan: “Ar Rahman (yaitu Allah) bersemayam di atas ‘Arsy”. Kata istiwa’ di sini diartikan dengan bersemayam.
Penulis (Abu Rumaysho) berkata, “Pemaknaan seperti ini tidak tepat karena orang awam malah akan memahami bahwa Allah itu bersemayam (yang berarti duduk) di singgasana sebagaimana raja. Akibatnya bisa terjadi tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dalam sifat istiwa’ ini. Yang benar makna istiwa’ sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Aliyah dan Mujahid yang dinukil oleh Imam Al Bukhari dalam kitab shahihnya:
قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ ( اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ ) ارْتَفَعَ
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah irtafa’a (naik).
. وَقَالَ مُجَاهِدٌ ( اسْتَوَى ) عَلاَ عَلَى الْعَرْشِ
Mujahid mengatakan mengenai istiwa’ adalah ‘alaa (menetap tinggi) di atas ‘Arsy. Salah paham dalam menafsirkan hal ini, akhirnya membuat sebagian orang salah paham dengan istiwa’ Allah. Semoga bisa jadi kritikan berharga.“
Kesimpulan dari pembahasan ini:
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa telah menyepakati (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang menyatakan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak mungkin seorang pun yang bisa menukil dari para ulama yang ada yang menyatakan bahwa Allah tidak di atas ‘Arsy-Nya baik secara nash (dalil tegas) atau secara zhahir (dalil yang mengandung makna lebih kuat).
Pembuktian dari ulama-ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa masih berlanjut pada posting selanjutnya insya Allah. Begitu pula berbagai kerancuan yang dikemukakan oleh pengikut Jahmiyah tentang istiwa’ Allah, Allah ada tanpa tempat, dan lainnya masih berlanjut dalam posting selanjutnya.
Semoga Allah memberi kemudahan.
Diselesaikan ketika waktu Dhuha di Panggang-GK, 26 Rabi’ul Akhir 1431 H (10/04/2010),
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel http://www.rumaysho.com/
__________
[1] Al Auza’i hidup sebelum tahun 157 H.
[2] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137
[4] Muqotil bin Hayyan semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al Baihaqi (hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[7] Sufyan Ats Tsauri hidup pada tahun 97-161 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[11] ‘Abbad bin Al ‘Awwam hidup sekitar tahun 185 H.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 151.
[13] Yazid bin Harun hidup sebelum tahun 206 H.
[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168.
[15] Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’iy hidup pada tahun 122-208 H.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168.
[17] ‘Abdurrahman bin Mahdi hidup pada tahun 125-198 H.
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170.
[19] Wahb bin Jarir meninggal tahun 206 H.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170.
[21] Al Qo’nabi meninggal tahun 221 H.
[22] QS. Thoha: 5.
[23] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178.
[24] Al Humaidi meninggal tahun 219 H.
[25] QS. Al Maidah: 64.
[26] QS. Az Zumar: 67
[27] QS. Thoha: 5.
[28] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180.
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2992-di-manakah-allah-5.html
0 komentar:
Posting Komentar