Aib, Sesuatu yang Seharusnya Ditutupi

Oleh Ustadz Abul Jauza.

Allah ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,
bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhir .
 
[QS. An-Nuur : 19].
 
Pada ayat di atas Allah ta’ala menjelaskan bahwa menyebarkan satu kemunkaran (baik dari jenis perkataan atau perbuatan) agar beredar di kalangan mukminiin, merupakan sifat orang-orang yang mendapatkan ancaman Allah ta’ala akan ‘adzab.
  • Ibnu Katsiir rahimahullah berkata ,“Ini merupakan pelajaran ketiga, bagi siapa saja yang mendengar sesuatu dari perkataan yang buruk, lalu dengan pikirannya tergambar sesuatu yang akan diucapkannya; maka janganlah ia bergegas memperbanyak dan menyiarkannya. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman’ ; yaitu : mereka menginginkan agar perkataan itu nampak dengan buruk. ‘bagi mereka azab yang pedih di dunia’ ; yaitu dengan hukuman hadd. ‘dan di akhirat’; yaitu dengan adzab” [Tafsir Ibni Katsiir, 6/29].
  • Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata,“Maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji seorang mukmin yang berusaha menutupi aib yang ada pada dirinya tersebut, atau menuduh seorang mukmin dengan satu kekejian yang ia berlepas diri darinya (tidak melakukannya)” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hadits no. 36; tahqiq : Dr. Maahir Yasin Al-Fakhl].
  • Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang menyebarkannya; dalam dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 234; Al-Albaaniy berkata : ‘Sanadnya hasan’].
  • Dalam riwayat lain, ia berkata,"Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang setia mendengarkannya, dalam hal dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 553; Husain Salim Asad berkata : ‘Para perawinya tsiqaat’].
 
Kekejian adalah satu hal yang diingkari jiwa.
Fithrah manusia tidak menginginkan satu kekejian tersebar, apalagi yang bersumber dari dirinya.

Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 13, Muslim no. 45, Ahmad 3/176, dan yang lainnya].

Lantas, bagaimana bisa seorang mukmin senang merelakan telinganya setia mendengarkan kefasikan dan menjadikan mulutnya fasih menyebarkannya ?

Maka, sangat dipahami jika seseorang pun akan mendapatkan kesetaraan dosa jika turut ambil saham menyebarkan kekejian ke telinga-telinga manusia – sebagaimana dikatakan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Karena, menyebarkan berita kekejian merupakan faktor tersebarnya kekejian itu sendiri.
Janganlah kita mencari-cari aib/kesalahan orang lain yang berusaha menutupi aib/kesalahannya itu.
 
Allah ta’ala telah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [QS. Al-Hujuraat : 12].
  • Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata,“Para pakar tafsir berkata : at-tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat/kelemahan kaum muslimin. Maka, makna ayat tersebut adalah : Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari kesalahan saudaranya yang telah Allah tutupi, untuk ia tampakkan” [Zaadul-Masiir, 7/471].
 
Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita melalui sabdanya , Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya ! Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin. Jangan pula kalian mencari-cari aib/kesalahan mereka. Karena, sesungguhnya orang yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan cari-cari aib yang ada pada dirinya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, maka Allah akan ungkap aibnya tersebut meskipun ada di dalam rumahnya[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4880; Al-Albaaniy berkata : ‘Hasan shahih’].
 
Mencari-cari aib seorang muslim tanpa maslahat syar’iy adalah ciri-ciri orang munafik, sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya’.

Mari kita perhatikan kisah menarik Maa’iz dan Hazzaal berikut ini :

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
  • “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Ia memanggil beliau dan berkata : “Wahai Rasulillah, sesungguhnya aku telah berbuat zina”. Mendengar itu beliau berpaling darinya, hingga orang tersebut mengulangi sampai empat kali. Ketika ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda : “Apakah engkau gila ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau telah menikah ?”. Ia menjawab : “Ya, pernah”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bawalah pergi orang ini”. Lalu para shahabat merajamnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6820].
Dari Nu’aim bin Hazzaal ia berkata :
  • Hazzaal pernah menyewa Maa'iz bin Maalik dan ia memiliki seorang budak wanita bernama Fathimah yang ia miliki. Budak wanita ini bertugas menggembala kambing milik mereka dan Maa'iz pun menyetubuhinya. Maa'iz memberitahukan hal itu kepada Hazzaal, kemudian Hazzal mengelabuhinya dan berkata : “Pergilah ke Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beritahukan pada beliau (tentang hal yang kau alami). Mudah-mudahan turun Al-Qur’an berkenaan denganmu”. (Setelah ia menghadap dan menceritakan apa yang telah ia lakukan, sebagaimana hadits sebelum ini – Abul-Jauzaa’), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dirajam. Saat dirajam dan terkena hantaman batu, Maa'iz berusaha lari kemudian seseorang mengejarnya dengan membawa tulang dagu onta atau tulang betis onta, kemudian dipukulkan ke Maa'iz hingga mati. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Celaka kau hai Hazzal, seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu"[Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/217; Al-Arna’uth berkata : “Shahih li-ghairihi”].
Ibnu Hajar berkata :
  • “Telah berkata Al-Baajiy : Makna (perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu’) adalah lebih baik bagimu daripada engkau suruh ia untuk menjelaskan perkaranya (kepadaku). Adapun anjuran untuk menutupinya adalah dengan menyuruhnya bertaubat dan menyembunyikan aib yang telah dilakukannya sebagaimana yang telah diperintahkan Abu Bakr dan ‘Umar (sebelum Maa’iz menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Penyebutan ‘baju’ adalah mubaalaghah, yaitu seandainya engkau tidak mendapatkan jalan untuk menutupinya kecuali (menutupinya) dengan pakaianmu dari orang yang mengetahui perkaranya, maka itu lebih utama/baik daripada yang telah engkau sarankan kepadanya untuk menampakkannya” [Fathul-Baariy, 12/125].
“Asy-Syaafi’iy berkata :
  • ‘Aku senang seandainya orang yang berbuat dosa yang kemudian Allah menutupi dosanya tersebut (sehingga tidak diketahui orang lain); agar juga menutupinya dan bertaubat (kepada Allah ta’ala)’. Beliau (Asy-Syaafi’iy) berhujjah dengan kisah Maa’iz bersama Abu Bakr dan ‘Umar.
Ibnul-‘Arabiy berkata,
  • ‘Semuanya ini berlaku untuk selain orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan. Adapun bagi orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan/kekejian, maka lebih senang untuk mengungkapkannya dan menghukumnya agar ia merasa jera dan menjadi pelajaran bagi yang lain” [idem].

Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabiy rahimahullah  di atas didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang terang-terangan melakukan dosa. Dan sesungguhnya diantara terang-terangan (melakukan dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai Fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’, padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].

Jika dosa seberat zina saja (asal tidak dilakukan secara terang-terangan) kita dianjurkan untuk menutupinya, bagaimana pula hal yang lebih rendah daripada itu ?

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442, Muslim no. 2580, dan yang lainnya].

Semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga kita dari kemaksiatan dan membuka hati kita untuk bertaubat kepada-Nya..

[abul-jauzaa’, ngaglik, sleman, jokja, 05-10-2010 - edited : 07-10-2010].

sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/aib-sesuatu-yang-seharusnya-ditutupi.html


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger