Definisi As Sunnah

Syariat yang telah sempurna ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makna umum. Adapun sunnah itu sendiri, terbagi menjadi empat definisi :

Pertama
Sesungguhnya, segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-Quran –pen) dan As-Sunnah (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia merupakan sebuah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara contoh definisi ini adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ))

Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.” (H.R. Bukhari [5063] dan Muslim [1401]).

Kedua
Sunnah yang bermakna “al-hadits”. Hal tersebut jika digandengkan dengan “Al-Kitab”. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ))

“Wahai sekalian manusia, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian kalian tidak akan tersesat selamanya: (yaitu) Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”.

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ))

“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”.

Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak beliau (I/93).

Di antara bentuk kata “sunnah” yang bermakna “al-hadits” adalah perkataan sebagian ulama dalam menyebutkan beberapa permasalahan, “Dan ini adalah sebuah permasalahan yang berdasarkan dalil Al-Kitab, as-sunnah, dan ijma’ para ulama.”

Ketiga
Sunnah pun dapat didefinisikan sebagai lawan dari bid’ah. Di antara contoh penggunaannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah,

((فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِانَّوَاجِذِ، وَ إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ))

“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah kematianku –pen), niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang memperoleh petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah terhadap perkara-perkara baru yang dibuat-buat. Sungguh, setiap perkara baru yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat!” (Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud [4607] -–lafal hadits ini adalah milik beliau–, dikeluarkan pula oleh At-Tirmidzi [2676] dan Ibnu Majah [43—44]; At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”).

Di antara contoh penerapan istilah “sunnah” yang bermakna “lawan dari bid’ah” adalah sebagian ulama hadits zaman dahulu yang menyebut buku-buku karya mereka dalam bidang akidah dengan nama “As-Sunnah”, semisal As-Sunnah karya Muhammad bin Nashir Al-Marwazii, As-Sunnah karya Ibnu Abii ‘Aashim, As-Sunnah karya Al-Laalikaa`i, dan selainnya. Dalam kitab Sunan karya Abu Daud pun terdapat bab berjudul “As-Sunnah” yang memuat banyak hadits tentang akidah.

Keempat
Sunnah pun dapat bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala sesuatu yang diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk pewajiban. Definisi ini digunakan oleh para ahli fikih. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ))

“Seandainya bukan karena takut memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk melakukan siwak setiap hendak melaksanakan shalat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [887] dan Muslim [252]).

Sesungguhnya perintah untuk bersiwak berada pada derajat anjuran, dan hal tersebut semata-mata karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan memberatkan umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menetapkannya sebagai sebuah kewajiban.

(terjemahan kutipan dari kitab “Al-Hatstsu ‘Alaa Ittibaa’is Sunnah wat Tahdziiru minal Bida’i wa Bayaanu Khatharihaa”, karya Syeikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbaad Al-Badr).

Oleh: Ummul Hasan Athirah
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar.

Lihat artikel: Memahami Kata Sunnah

***
Artikel muslimah.or.id.
http://muslimah.or.id/manhaj/definisi-sunnah.html
»»  READMORE...


Pengertian As Sunnah Menurut Syari'at

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

B. Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.[1].

Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.
Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.

Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.

As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi j selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.

Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.

As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.[2].

As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[3].

Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain :

a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.

“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.”
[4].

b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.

Contoh:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ.

“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya.[5].

c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.

Contoh:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.

“Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.’” [6].

Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.” [7].

Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur-anul Karim

Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka dan mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan yang keji), sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana.” [Al-Baqarah: 129].

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imran: 164].

وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“... Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.”
[An-Nisaa’: 113].

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 34].

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Al-Jumu’ah: 2].

Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud dengan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang mengerti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.[8].

Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula penjelasan dari al-Hasan al-Bashri.[9].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu...” [An-Nisaa’: 59].

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah.” [10].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah isteri Nabi رَضِيَ اللهُ عَنْهُن selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya. [11].

Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.” [12].

Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab: 34) dalam Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur.

Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan apa-apa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maupun furu’.

Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.” [13].

‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-Sunnah.” [14].

Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا

“Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah...” [Al-Jaatsiyah: 18].

“Yakni engkau berada di atas Sunnah.” [15].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari agama (ini).” [16].

As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005].
__________
Footnote
[1]. Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2]. Lihat kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hul Baari (XIII/245-246), Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-43).
[3]. Lihat pada buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 10).
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan.
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibni Majah (no. 345), al-Hakim (I/149) dan al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.” Lihat Shahih Ibni Majah (no. 344) dari Shahabat ‘Ammar bin Yasir.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7]. HR. Abi Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (no. 366), cet. I/ Ghar-raas, th. 1423 H.
[8]. Ar-Risaalah (hal. 78 no. (252)), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
[9]. Lihat Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalikaaiy (I/78 no. 70-71), tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan.
[10]. Tafsir Ibnu Katsir (I/568).
[11]. HSR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131).
[12]. Fatawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (III/366).
[13]. Asy-Syahru wal Ibanah, Ibnu Baththah al-‘Ukbary (no. 49).
[14]. Sunan ad-Darimi (I/45).
[15]. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalika-i (I/76-77 no. 66).
[16]. Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436).

http://almanhaj.or.id/content/2263/slash/0/pengertian-as-sunnah-menurut-syariat/
»»  READMORE...


Makna As Sunnah Dalam Syariat Islam

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Kedudukan As-Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupank aum Muslimin mulai dari masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabatnya, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in sampai zaman sekarang ini dan sampai hari Kiamat merupakan suatu kenyataan yang diterima sebagai kebenaran yang pasti dan tidak perlu dibuktikan lagi serta tidak dapat diragukan. Barangsiapa yang menela’ah Al-Qur-an dan As-Sunnah, niscaya akan menemukan besarnya pengaruh As-Sunnah dalam pembinaan syari’at Islam dan keagungan serta keabadiannya yang tidak mungkin diingkari oleh pakar-pakar yang mengerti masalah ini.

Pembinaan hukum yang luhur diakui oleh para ahli ilmu di segala penjuru dunia. Kekaguman mereka menjadi bertambah apabila mempelajari As-Sunnah dengan sistem sanad yang telah dipaparkan oleh para ahli hadits, rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari ahli hadits telah diteliti dan diuji serta mereka menulis kitab-kitab jarh wat ta’dil tentang para perawi hadits, hingga dengan cara demikian dapat dibedakan mana hadits yang shahih, dha’if dan maudhu’.

Namun, di samping adanya ulama yang berjuang membela As-Sunnah, ada pula orang-orang yang merongrong terhadap Islam, mereka menolak As-Sunnah, meragukan hujjah As-Sunnah serta meragukan pula pengumpulan hadits dan penyampaian riwayat dari para Shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Dalam pandangan sesat inilah terdapat persesuaian antara penentang-penentang Islam dari kalangan orang-orang kafir, munafiq dan kaum orientalis.

Perjuangan musuh-musuh Islam terus berlanjut dari zaman para Shahabat Ridhwanullaahu ‘alaihim sampai hari ini. Mereka berusaha memadamkan cahaya Islam, menghancurkan segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah, membunuh dan memenjarakan penyebar panji Islam serta memutar-balikkan fakta sejarah Islam yang benar. Tetapi Allah akan senantiasa menyempurnakan cahaya Islam.

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ.

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8].

Ironisnya, justeru para penentang Islam dewasa ini di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang dianggap ulama dan cendekiawan yang mereka terpengaruh dan diperalat oleh musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani serta para orientalis yang menghancurkan Islam.

Adapun sebab-sebab terjeratnya sebagian tokoh kaum Muslimin oleh kaum orientalis Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas menentang Islam adalah:
  1. Mereka tidak menguasai hakekat Islam yang diwariskan dan tidak menelaahnya dari sumber-sumber yang asli, yaitu Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih.
  2. Tertipu oleh “sistematika-sistematika ilmiah yang semu” yang mengundang mereka kepada konflik.
  3. Ada keinginan supaya terkenal sebagai ahli fikir, pakar atau supaya dikatakan sebagai tokoh cendekiawan, tujuannya mencari popularitas dunia.
  4. Dirinya dikuasai oleh hawa nafsu sehingga pemikirannya yang sesat tidak dapat bergerak melainkan hanya mengekor kepada kaum orientalis.
  5. Mereka berambisi untuk mendapatkan harta yang banyak, kedudukan dan pangkat, sehingga mereka menyembunyikan kebenaran ayat-ayat Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya mereka menentang api Neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesung-guhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” [Al-Baqarah: 174-176][1].

Tidak diragukan lagi bahwa pertentangan yang terjadi antara umat Islam dan penentang-penentangnya tidak akan selesai dan berhenti begitu saja sebelum maksud jahat mereka terbongkar dan terkalahkan. Pertentangan ini berlangsung antara haq dan hawa nafsu, antara ilmu dan kebodohan, antara lapang dada dan dendam, serta antara cahaya dan kegelapan.

Menurut Sunnatullaah, kebenaran, ilmu, sikap lapang dada dan cahaya itu selamanya pasti menang, sebagai-mana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ ۚ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ

“Bahkan Kami (Allah) melemparkan yang haq itu atas kebathilan, sehingga yang haq itu menghancurkannya dan musnahlah kebathilan itu. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak).” [Al-Anbiyaa’: 18].

Di antara tokoh-tokoh yang menentang Sunnah adalah Mahmud Abu Rayyah dalam buku Adhwaa-u ‘alas Sunnah Muhammadiyyah, Dr. Thaha Husain, Dr. ‘Ali Hasan ‘Abdul Qadir,Anderson, Goldzieher, Schacht, Har Gibb, Philip K. Hitti, Dr. Taufiq Shidqi dalam maka-lahnya: al-Islam Huwal Qur-aan Wahdah, dan selainnya.[2].

MAKNA AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM.

A. Menurut Etimologi (Bahasa).
Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata:

سَنَّ - يَسِنُّ - وَيَسُنُّ - سَنًّا فَهُوَ مَسْنُوْنٌ وَجَمْعُهُ سُنَنٌ. وَسَنَّ اْلأَمْرَ أَيْ بَيَّنَهُ.

a. Artinya: “Menerangkan.”

وَالسُّنَّةُ: السِّيْرَةُ وَالطَّبِيْعَةُ وَالطَّرِيْقَةُ.

b. Sunnah artinya: “Sirah, tabi’at, jalan.”

وَالسُّنَّةُ مِنَ اللهِ: حُكْمُهُ وَأَمْرُهُ وَنَهْيُهُ.

c. Sunnah dari Allah artinya: “Hukum, perintah dan larangan-Nya.” [3].

Menurut bahasa, kata As-Sunnah berarti jalan, atau tuntunan baik yang terpuji maupun yang tercela, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

‘Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.’” [4].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا حُجْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. 

“Sesungguhnya kalian akan menempuh jalan (mencontoh) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki lubang biawak sekalipun, kalian akan ikut memasukinya.” [5].

Bila disebut Sunnatullaah, artinya adalah hukum-hukum Allah, perintah dan larangan-Nya yang dijelaskan kepada manusia.

Allah al-Hakiim berfirman:

سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ

“Sunnatullaah tentang orang-orang sebelummu...” [Al-Ahzaab: 62].

Di antara lafazh Sunnah dalam Al-Qur-an yang berarti jalan, cara yang baik atau buruk.

Allah al-‘Aziiz berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ

“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang-orang sebelummu...” [An-Nisaa’: 26].

Yakni, Allah akan menunjukkan kepada kalian cara-cara orang sebelum kalian, yaitu cara (perjalanan hidup) mereka yang terpuji.[6].

Terkadang pula Sunnah bermakna balasan dari perbuatan tercela, yaitu Sunnah-Nya tentang pembinasaan ummat-ummat yang durhaka kepada Rasul-Rasul-Nya.

Di antaranya firman Allah:

قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا إِن يَنتَهُوا يُغْفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِن يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ

“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir apabila mereka berhenti dari kekufuran mereka, maka Allah akan ampunkan dosa-dosa mereka yang terdahulu. Jika mereka kembali (berbuat kejelekan), maka telah berlaku Sunnah bagi orang-orang terdahulu.” [Al-Anfaal: 38].

Dan firman-Nya:

لَا يُؤْمِنُونَ بِهِ ۖ وَقَدْ خَلَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ

“Mereka itu tidak beriman kepada Nabi padahal telah lalu Sunnah terhadap orang-orang terdahulu.” [Al-Hijr: 13].

Sunnah di sini maksudnya adalah balasan Allah tentang pembinasaan ummat-ummat yang durhaka kepada Rasul-Rasul-Nya. [7].

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005].
______________
Footnote
[1]. Lihat juga surat al-Baqarah ayat 159-160.
[2]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ Islami oleh Dr. Mushthafa as-Siba’i, cetakan al-Maktab al-Islami th. 1398 H, atau pada hal. 15-37, cetakan I/ Daarul Warraaq th. 1419 H. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (hal. 26), Dr. Muhammad Musthafa al-A’zhumy, Difaa’ ‘anis Sunnah, Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.
[3]. Al-Qamusul Muhith (IV/231), Lisanul Arab (VI/399-400) dan Mukh-taarush Shihaah (hal. 317).
[4]. Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/357, 358, 359, 360, 361, 362), Muslim (no. 1017), an-Nasa-i (V/76-77), ad-Darimi (I/ 130-131), Ibnu Majah (no. 203), Ibnu Hibban (no. 3308), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahih Ibni Hibban (no. 3297), ath-Thahawi dalam al-Musykiil (no. 243), ath-Thayalisi (no. 705) dan al-Baihaqi (IV/175-176), dari Shahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu.
[5]. Hadits shahih riwayat Ahmad (III/84, 89), al-Bukhari (no. 3456, 7320), Muslim (no. 2669) dan Ibnu Majah (no. 3994), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudry Radhiyallahu anhu.
[6]. Tafsir Ibni Katsiir (I/522) dan Tafsir Fat-hul Qadir (I/452).
[7]. Lihat tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/341 dan 602).

http://almanhaj.or.id/content/2264/slash/0/makna-as-sunnah-dalam-syariat-islam/
»»  READMORE...


Makna As Sunnah

Manusia adalah musuh bagi sesuatu yang tidak ia ketahui. Begitulah makna sebuah pepatah Arab. Inilah yang menimpa sebagian orang dalam memaknai kata sunnah. Mereka cenderung salah kaprah dalam memahami arti sunnah. Mereka hanya memaknai sunnah sebagai suatu amalan yang apabila dilakukan memperoleh pahala, dan jika ditinggalkan maka tidaklah mengapa.

Pemahaman seperti ini meskipun lahir dari sebagian definisi yang berkembang dalam diskursus fikih, namun apakah dimaknai sesempit itu? Terkadang pemahaman saklekseperti ini dapat menggiring seseorang malas untuk mengerjakan suatu amalan yang berpahala besar, bahkan wajib, hanya dengan berasumsi ditinggalkan tidaklah berkonsekuensi apa-apa.

Oleh sebab itu, penting kiranya kita memaknai apa sebenarnya definisi sunnah, serta meluruskan salah kaprah yang telah mengakar dalam benak sebagian orang.

Makna Sunnah Secara Bahasa

Jika dipandang dari sudut etimologi atau bahasa, sunnah berarti metode atau jalan. Hal ini dapat disimpulkan dari hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim: 2398).

Hadits di atas bermuara dari datangnya suku Mudhar ke kota Madinah dalam keadaan miskin. Kondisi mereka membuat hati Rasulullah terenyuh. Selepas itu, Rasulullah pun berkhutbah. Mendengar khutbah tersebut, seorang sahabat serta merta menyedekahkan hartanya, pakaiannya, gandum, dan kurma. Lantas akhirnya sahabat yang lain berbondong-bondong turut menyedekahkan apa yang mereka punya, mengikuti sahabat yang bersedekah kali pertama. Maka Rasulullah pun menyebutkan hadis di atas.

Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa menurut bahasa sunnah berarti metode atau jalan, yang mencakup makna konotasi positif maupun negatif.

Makna lain dari sunnah secara bahasa adalah kebiasaan, syariat, contoh terdahulu, dan adat.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Fikih
Adapun jika dilihat dari sudut terminologi atau secara istilah, maka makna sunnah sangat beragam tergantung konteks kata sunnah itusendiri. Hal inilah yang kerap kali mengharuskan kita untuk lebih hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mencerna kata sunnah yang terdapat dalam sebuah pernyataan. Karena pengertian yang banyak ini pulalah, kita harus pandai menempatkannya ke dalam makna yang tepat dan dibenarkan oleh syariat.

Kita mulai dari definisi yang familiar di kalangan mayoritas manusia, yaitu definisi menurut para fukaha (ulama pakar dalam disiplin ilmu fikih). Menurut mereka, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan oleh syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau harus.

Dalam versi lain, dan inilah yang masyhur, sunnah adalah segala perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Makna ini memiliki beberapa kata yang serupa yaitu mustahab (dianjurkan) ataupun mandub, salah satu tingkatan hukum-hukum syariat yang lima: wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah.

Ini termasuk makna sunnah yang cukup sempit. Dalam artian, definisi ini hanya mencakup amal yang dihukumi sebagai mustahab. sunnah dalam makna ini terbagi menjadi dua: sunnah muakadah (dikuatkan atau sangat dianjurkan) dan sunnah yang tidak muakadah. Contoh jenis pertama seperti puasa senin-kamis, salat rawatib, dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah untuk jenis kedua seperti salat dua rakaat sebelum salat Magrib.

Akan tetapi, perlu diketahui, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk menafsirkan kalimat sunnah di dalam hadis Rasulullah, perkataan sahabat, tabiin, atau imam-imam besar dengan makna mustahab. Karena sejatinya sunnah itu lebih umum dari penamaan ini. sunnah terkadang meliputi mustahab, dan terkadang wajib, bahkan hal-hal yang jika diingkari menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam kekufuran. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf abad ketiga yang menulis kitab-kitab mereka dengan judul As-Sunnah mencakup pembahasan akidah yang wajib diyakini dan mengingkarinya adalah kekufuran. Seperti kitab As-Sunnah karya Imam Ibnu Abi Ashim, Imam Ahmad, Imam Al-Marwazi, dan selain mereka.

Karenanya, tidak selayaknya kita menggiring kata sunnah yang terdapat pada ucapan sahabat, tabiin, atau imam-imam besar lainnya dengan makna mustahab semata secara mutlak.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Hadits
Para muhadditsun (ulama pakar hadis) mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat perangai atau sifat fisik. Baik sebelum diutus menjadi nabi ataupun setelahnya.

sunnah dalam versi ini memiliki makna yang lebih luas. Ia tidak hanya menghimpun amal ibadah yang hukumnya sunnah, akan tetapi juga hal-hal yang dihukumi wajib oleh ulama ahli fikih. Oleh sebab itu, jika mendengar suatu pernyataan ini adalah sunnah atau disunnahkan, tidak berarti hukumnya sunnah. Bisa jadi wajib, karena yang dimaksud sunnah tersebut adalah sunnah menurut ulama ahli hadis.

Dari definisi sunnah yang telah dijelaskan, terdapat beberapa bentuk sunnah yang dapat dikategorikan sebagai berikut:

Sunnah qauliyyah atau sunnah yang berupa perkataan adalah hadis yang memuat ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu contohnya ialah hadis yang diriwayatkan Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu. Dia menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Adapun sunnah fi’liyyah atau sunnah yang berupa perbuatan yaitu seorang sahabat menukilkan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat seperti ini dan seperti itu, meninggalkan ini dan itu, sebagaimana perkataan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ الدُّبَّاءَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai labu.” (HR. Tirmidzi, dalam Asy-Syama-il no. 161, Ad-Darimi 2/101, dan Ahmad no. 2/174).

Hal ini merupakan sunnah yang berwujud perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara sunnah fi’liyyah lainnya adalah apa yang bersumber dari Rasulullah berupa perbuatannya yang menjelaskan tentang salat, zakat, puasa, haji, dan selainnya. Hal ini pun termasuk sunnah fi’liyyah.

Adapun sunnah taqririyyah adalah ketika seseorang sahabat misalnya menceritakan atau mengerjakan suatu perbuatan di depan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, atau pada masa beliau saat wahyu masih turun, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau wahyu menetapkannya, tanpa diingkari maupun diubah. Inilah taqrir menurut syariat di untuk suatu perbuatan.

Adapun sifat khuluqiyyah adalah sesuatu yang disampaikan para sahabat berkaitan dengan bagaimana akhlak, perilaku, dan perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana di saat Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya ihwal akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menjawab,

فَإِنَّ خُلُقَ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ الْقُرْآنَ

“Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Alquran.” (HR. Muslim, no. 1773).

Sedangkan sifat khalqiyyah ia adalah sesuatu yang disampaikan oleh para sahabat berkenaan dengan sifat fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadis bahwa Rasulullah itu berbadan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Diceritakan pula bahwa wajah beliau putih, bak rembulan. Juga dikabarkan bahwa Rasulullah seperti ini dan seperti itu, sebagaimana yang diriwayatkan tentang sifat fisik beliau.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Ushul Fikih
Para ulama usul fikih mengungkapkan pengertian sunnah berupa sumber hukum pensyariatan Islam setelah Alquran. Atau bisa diartikan sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir atau ketetapan. Hal itu dikarenakan ulama usul hanya melihat sunnah dari sisi pendalilan. Dan dalil itu hanyalah mencakup perkataan, perbuatan, dan ketetapan.

Adapun yang berupa sifat fisik maupun akhlak, maka itu tidak termasuk sunnah. Begitu pula yang terjadi sebelum diutusnya beliau menjadi Nabi, atau yang berasal dari para Nabi sebelumnya, maupun generasi setelahnya, yaitu sahabat, tabiin, dan selainnya, maka hal itu pun bukan termasuk sunnah dalam pandangan disiplin ilmu mereka.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ulama Aqidah
Menurut ulama akidah, sunnah adalah antonim atau lawan kata dari bidah. Jadi, setiap amal perbuatan yang ada contoh dan tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan perkara yang diada-adakan dalam agama, maka ini masuk dalam kategori sunnah.

Atau dalam arti lain, sunnah bukan hanya sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi sunnah juga merupakan segala hal yang dijelaskan oleh Al Qur’an, sunnah, kaidah syar’iyyah, atau yang semisalnya. Makna sunnah ini otomatis menggambarkan agama Islam secara keseluruhan.

Hadis yang memuat pengertian ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, dan Tirmidzi, no. 2677).

Dengan mengetahui makna-makna sunnah di atas, semoga hati kita semakin lapang dalam memahami suatu permasalahan. Janganlah menyempitkan sesuatu yang sejatinya luas. Ketika mendengar kata sunnah, maka sudah selayaknya kita tidak mencukupkan diri dengan memaknainya sebagai mustahab atau yang dianjurkan. Sebaliknya, kita pun harus pandai memilah kata yang tepat jika hendak menyampaikan suatu hal. Misalkan merinci makna sunnah yang dimaksud, dengan mengucapkan, “Perbuatan ini adalah sunnah Nabi yang hukumnya wajib.” Atau bisa pula dengan mengatakan, “Amal ini hukumnya sunnah alias mustahab.

Semoga tulisan singkat ini bisa meluruskan kesalahpahaman kita dalam memaknai kata sunnah dan memotivasi kita untuk terus menuntut ilmu karena ilmu agama ini begitu luas.

Daftar Pustaka
  • As-Suhaimi, Abdussalam bin Salim. 1426 H. Kun Salafiyyan ‘ala Jaaddah. Darul Minhaj: Kairo Mesir.
  • Bazmul, Muhammad Umar. 1428 H. Fadhlu Ittiba’ as-Sunnah, dari Arsip Mutallaqaa Ahli at-Tafsir. Maktabah Syamilah.
  • Nuryusmansyah, Roni. 2011. Catatan kuliah Usul Fikih di STDI Imam Syafi’i Jember bersama Ust. Sabilul Muhtadin, Lc.


Penulis: Roni Nuryusmansyah
Muraja’ah: Ust. Muhsan Syarafudin, Lc, M.H.I.

Artikel Muslim.Or.Id.
http://muslim.or.id/manhaj/makna-as-sunnah.html
»»  READMORE...


Mungkinkah Do'a Orang Kafir Dikabulkan Oleh Allah ?

Apakah doa orang kafir dikabulkan oleh Allah? Karena terkadang mereka meminta yg mereka butuhnya dlm kehidupan dunia. Trim’s.

Jawab :

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,


Pertama, ulama berbeda pendapat tentang status doa orang kafir, apakah mungkin dikabulkan oleh Allah ataukah tidak mungkin dikabulkan, alias sia-sia.

Pendapat pertama menyatakan, doa orang kafir adalah doa sia-sia, yang tidak mungkin dikabulkan oleh Allah.

Pendapat pertama ini berdalil,

1. Firman Allah ta’ala,


وَمَا دُعَاء الْكَافِرِينَ إِلاَّ فِي ضَلاَلٍ.

Tidak ada doa orang-orang kafir itu, kecuali hanyalah sia-sia belaka.”.

  • Ayat di atas, Allah sebutkan di dua tempat, di surat ar-Ra’du ayat 14 dan surat Ghafir ayat 50. 
  • Ayat ini bermakna umum, karena susunannya mufrad (kata tunggal) yaitu kata [دُعَاء] dan mudhaf (disandarkan) kepada kata makrifat (definitif) yaitu kata [الْكَافِرِينَ]. Sehingga ayat ini dipahami umum, bahwa semua doa orang kafir tidak akan diijabahi oleh Allah.
2. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Diriwayatkan oleh ad-Dhahak bahwa Ibnu Abbas pernah menjelaskan ayat ini,



أي أصوات الكافرين محجوبة عن الله فلا يسمع دعاءهم.

”Suara orang kafir itu tertutupi maka tidak sampai kepada Allah. Sehingga doa mereka tidak didengar.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/301).

3. Disamakan dengan orang yang makan yang haram, doanya tidak mustajab. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan orang yang doanya tidak mustajab,


ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟.

Kemudian beliau menyebutkan orang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Ya Rabku, ya Rabku”, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini doanya dikabulkan.” (HR. Ahmad 8348, Muslim 1015, dan yang lainnya).

Ibnu Asyura – ulama ahli tafsir bermadzhab Maliki – (w. 1393 H) dalam tafsirnya mengatakan,


وكيف يستجاب دعاء الكافر وقد جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم استبعاد استجابة دعاء المؤمن الذي يأكل الحرام ويلبس الحرام.

Bagaimana mungkin doa orang kafir dikabulkan, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mustahil untuk dikabulkannya doa orang mukmin yang makan makanan yang haram, dan memakai pakaian yang haram… (at-Tahrir wa at-Tanwir, 12/454).

4. lebih jauh, Ibnu Asyura juga menegaskan, ”Jika ada doa orang kafir dan cita-cita mereka yang sukses mereka raih, itu bukan karena doa mereka dikabulkan, namun karena Allah mentakdirkan mereka untuk mendapatkan dunia sesuai dengan jatahnya atau doa mereka bertepatan dengan doa orang yang beriman. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 12/454).

Selain Ibnu Asyura, diantara ulama yang berpendapat bahwa doa orang kafir tidak akan dikabulkan adalah ar-Ruyani (w. 307 H). Dan karena alasan ini, beliau melarang mengaminkan doa orang kafir.

Imam Umairah menukil keterangan beliau,


قال الشيخ عميرة : قال الروياني: لا يجوز التأمين على دعاء الكافر ؛ لأنه غير مقبول.

Syaikh Umairah menukil, bahwa ar-Ruyani mengatakan, ‘Tidak boleh mengaminkan doa orang kafir, karena doa mereka tidak dikabulkan.’ (Hasyiyah al-Jamal, 3/576).

Pendapat kedua, doa orang kafir mungkin saja dikabulkan oleh Allah.

Diantara dalil yang digunakan pendapat ini,

1. Inti doa adalah permohonan. Dan Allah kuasa untuk mengabulkan permohonan siapapun yang Dia kehendaki. Baik muslim maupun kafir. Karena Dia Pencipta dan Pengatur seluruh makhluk-Nya. Sehingga bukan hal mustahil, ketika Allah mengabulkan doa mereka tanpa pandang status agama, dan itu bagian dari pengaturan Allah kepada makhluk-Nya.

Syaikhul Islam menjelaskan,


وأما إجابة السائلين فعام فإن الله يجيب دعوة المضطر ودعوة المظلوم وإن كان كافرا.

Mengabulkan permintaan orang yang berdoa, sifatnya umum. Karena Allah mengabulkan doa orang yang terjepit masalah, dan doa orang yang didzalimi, meskipun dia orang kafir. (Majmu’ Fatawa, 1/223).

2. Iblis yang merupakan gembong para musuh Allah pernah meminta kepada Allah dan permintaannya dikabulkan. Setelah Iblis dicap kafir dan diusir dari surga, dia meminta kepada Allah,


.{قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ {34} وَإِنَّ عَلَيْكَ الْلَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ {35} قَالَ رَبِّ فَأَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ {36} قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ {37} إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ {38}.

Allah berfirman: “Keluarlah dari surga, karena Sesungguhnya kamu terkutuk, (34 ) dan Sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”. (35 ) berkata Iblis: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) Maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan, (36 ) Allah berfirman: “(Kalau begitu) Maka Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang diberi tangguh, ( 37) Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.”(38) (QS. Al-Hijr: 34 – 38).

Ketika menyebutkan keterangan ar-Ruyani yang mengatakan bahwa doa orang kafir tidak maqbul, beliau memberikan kritik,


ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس.


”Pendapat ini bisa dibantah, bahwa mungkin saja, doa orang kafir itu dikabulkan sebagai bentuk istidraj (ditangguhkan), sebagaimana permintaan iblis dikabulkan.” (Hasyiyah al-Jamal, 3/576).

3. Allah menceritakan dalam al-Quran bahwa Allah mengabulkan doa orang kafir yang dihimpit ketakutan oleh gelombang lautan,


قُلْ مَن يُنَجِّيكُم مِّنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضُرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ {63} قُلِ اللهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ {64

Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan Kami dari (bencana) ini, tentulah Kami menjadi orang-orang yang bersyukur”. (63 ) Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.”(64) (QS. Al-An’am: 63 – 64).

Di ayat lain, Allah berfirman,


فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ.

Apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Allah; Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS. Al-Ankabut: 65).

Al-Alusi (w. ) menjelaskan dalam tafsirnya,



أن الكافر قد يقع في الدنيا ما يدعو به ويطلبه من الله تعالى أثر دعائه كما يشهد بذلك آيات كثيرة.

Terkadang, doa dan permintaan yang dipanjatkan orang kafir kepada Allah ketika di dunia, ada pengaruhnya. Sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam banyak ayat. (Ruh al-Ma’ani, 24/76).

4. Sedangkan ayat yang menjadi dalil di atas,


وَمَا دُعَاء الْكَافِرِينَ إِلاَّ فِي ضَلاَلٍ.

”Tidak ada doa orang-orang kafir itu, kecuali hanyalah sia-sia belaka.”.

Ayat ini tidak ada hubungannya dengan doa dan permohonan orang kafir kepada Allah ketika di dunia. karena konteks ayat ini sama sekali tidak menunjukkan doa mereka kepada Allah ketika di dunia.

Ayat ini disebutkan di dua tempat:

Di surat ar-Ra’du ayat 14, ayat selengkapnya,


وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ.

Berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat mengabulkan apapun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membuka kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.

Kita bisa perhatikan, ayat ini berbicara tentang perumpamaan doa dan ibadah orang kafir kepada berhala mereka, yang sama sekali tidak akan memberikan manfaat bagi mereka. Layaknya orang yang kehausan, ingin minum, namun setiap kali mengambil air dengan tangannya, air itu jatuh dan jatuh. Inilah tafsir yang disampaikan Ibnu Katsir. Beliau mengatakan,



فكذلك هؤلاء المشركون الذين يعبدون مع الله إلها غيره، لا ينتفعون بهم أبدا في الدنيا ولا في الآخرة ولهذا قال: وما دعاء الكافرين إلا في ضلال.

Demikian pula orang-orang musyrik yang beribadah kepada tuhan selain Allah, sama sekali tidak memberi manfaat bagi mereka ketika di dunia, tidak pula di akhirat. Karena itu, Allah menegaskan, ”doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/446).

Di surat Ghafir ayat 50, ayat selengkapnya,


وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ ( ) قَالُوا أَوَلَمْ تَكُ تَأْتِيكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا بَلَى قَالُوا فَادْعُوا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ.

Orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari Kami barang sehari”. ( ) penjaga Jahannam berkata: “Dan Apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?” mereka menjawab: “Benar, sudah datang”. penjaga-penjaga Jahannam berkata: “Berdoalah kamu”. dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.

Konteks ayat ini berbicara tentang keadaan orang kafir ketika di neraka. Mereka selalu memohon kepada Allah melalui penjaga neraka, agar mereka diringankan siksanya. Namun harapan mereka pupus, karena waktunya sudah terlambat. Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.

Makna inilah yang lebih mendekati untuk memahami keterangan Ibnu Abbas, bahwa doa orang kafir itu mahjub (tertutupi), sehingga tidak sampai kepada Allah. Itulah harapan dan doa mereka di hari kiamat.

Memahami keterangan di atas, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan, doa orang kafir mungkin saja dikabulkan oleh Allah. Karena Dia Maha Kuasa untuk memberikan keinginan makhluk-Nya sesuai apa yang Dia kehendaki.

Syaikhul Islam mengatakan,

والخلق كلهم يسألون الله مؤمنهم وكافرهم وقد يجيب الله دعاء الكفار فإن الكفار يسألون الله الرزق فيرزقهم ويسقيهم وإذا مسهم الضر في البحر ضل من يدعون إلا إياه فلما نجاهم إلى البر أعرضوا.

Semua makhluk meminta kepada Allah, yang mukmin maupun yang kafir. Terkadang Allah mengabulkan doa orang kafir. Karena orang kafir juga meminta rizki kepada Allah, kemudian Allah beri mereka rizki dan Allah beri mereka minum. Ketika mereka dalam keadaan terjepit pada saat di laut, mereka hanya berdoa kepada Allah. Tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, mereka berpaling.. (Majmu’ Fatawa, 1/206).

Kedua, catatan yang penting diperhatikan, bahwa dikabulkannya doa orang kafir oleh Allah ketika di dunia, sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa Allah merestui keyakinannya atau setuju dengan kekufuran mereka. Karena dikabulkannya doa bagi orang mukmin adalah rahmat dari Allah, dan dikabulkannya doa orang kafir bagian dari istidraj (diberi kenikmatan agar semakin kafir. Orang jawa menyebutnya ’diujo’).

Ibnul Qoyim mengatakan,



فليس كل من أجاب الله دعاءه يكون راضيا عنه ولا محبا له ولا راضيا بفعله فإنه يجيب البر والفاجر والمؤمن والكافر.

Tidak semua orang yang Allah kabulkan doanya, bisa menjadi bukti bahwa Allah meridhainya, tidak pula mencintainya, tidak pula Allah meridhai perbuatannya. Karena orang jabaik maupun orang jahat, orang mukmin maupun kafir, mungkin saja doa dikabulkan.
(Ighatsah al-Lahafan, hlm. 215).

Lalu bagaimana hukum mengaminkan doa orang kafir, insyaa Allah akan ada pembahasan tersendiri.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com).

http://www.konsultasisyariah.com/mungkinkah-doa-orang-kafir-dikabulkan-allah/
»»  READMORE...


Hukum Mendoakan Kebaikan Dunia untuk Orang Kafir

Assalamualaikum, apa hukum mendoakan orang yang non islam dalam hal duniawi seperti semoga kamu sukses, semoga lulus ujian dan yang semisalnya?

Dari: Zain.

Jawaban :

Wa alaikumus salam
Mendoakan kebaikan kepada orang kafir dalam masalah dunia, semakna dengan memberikan kebaikan mereka dalam hal dunia. dan kita tidak dilarang untuk berbuat baik kepada orang kafir, selama dia bukan kafir harbi, yang memerangi kaum muslimin.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8).

Termasuk berbuat baik kepada orang kafir adalah mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah dan masuk islam.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

أما الدعاء للكافر بالهداية، والدخول في الإسلام فيجوز.
وأما الدعاء له بمنافع الدنيا من مال وولد وشفاء ونحوها فلا يجوز إن كان محارباً، وإلا فلا بأس بالدعاء له بذلك، بدليل جواز تعزيته في مصابه حيث كان جاراً بالدعاء له بالإخلاف عليه، ونحو ذلك

Mendoakan orang kafir agar mendapatkan hidayah dan masuk islam, hukumnya boleh. Sedangkan mendoakan orang kafir untuk mendapatkan manfaat dunia berupa harta, anak, kesembuhan, atau semacamnya, hukumnya tidak boleh jika dia kafir harbi. Namun jika bukan kafir harbi, tidak masalah mendoakan kebaikan untuk oran kafir dalam masalah dunia. Dengan dalil bolehnya menjenguk orang kafir ketika sedang mendapat musibah, misalnya karena statusnya tetangga, dengan mendoakan agar musibahnya diganti, atau semacamnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 14165).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

http://www.konsultasisyariah.com/mendoakan-orang-kafir-untuk-kebaikan-dunia/
»»  READMORE...


Hukum Mendoakan Orang Kafir Agar Dapat Hidayah

Pertanyaan :
Bolehkah mendoakan orang non muslim agar mendapatkan hidayah? Karena ada yang pernah bilang, katanya gak boleh.

Trim’s. Dari: Aab.

Jawaban :

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada dua hal yang perlu dibedakan terkait doa kebaikan untuk orang kafir: pertama, istighfar (permohonan ampunan) dan kedua, permohonan hidayah.

Pertama, permohonan ampunan (istighfar).

Berdoa kepada Allah, memohonkan ampun untuk orang musyrik, hukumnya haram dalam islam. Allah berfirman,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُوْلِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ( ) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأَبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik ituadalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. ( ) Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 113 – 114).

Sabab Nuzul
Ayat ini diturunkan terkait peristiwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammendakwahkan islam kepada pamannya Abu Thalib di detik kematiannya. Namun dia enggan untuk menerima islam, karena merasa malu dengan masyarakatnya. Diapun mati dalam kondisi musyrik. Rasa sedihpun menyelimuti Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai beliau bersabda,

لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ

“Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang.” Kemudian Allah menurunkan ayat di atas dan surat Al-Qashas ayat 56. (HR. Bukhari 3884).

Keterangan as-Sa’di, Maksud ayat, tidak selayaknya seorang nabi atau semua orang yang beriman kepada beliau, memohonkan ampunan untuk orang musyrik, meskipun mereka adalah kerabat dekatnya. Sementara permohonan ampun untuk orang musyrik yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim kepada bapaknya, itu karena suatu janji yang pernah beliau ikrarkan, seperti yang Allah ceritakan di surat Maryam. Dan itu sebelum dia mengetahui akhir kehidupan bapaknya. Namun, setelah Ibrahim menyadari bahwa ayahnya adalah musuh Allah dan akan mati dalam kekufuran serta berbagai nasehat tidak lagi bermanfaat baginya, Ibrahimpun berlepas diri dari ayahnya, menyesuaikan diri dengan aturan Allah. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 353).

Dalil yang lain adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي ، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي

“Saya minta izin Rabku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku. Lalu aku minta izin untuk menziarahi kuburnya, dan Dia mengizinkanku.” (HR. Muslim 976).

Mengapa Dilarang?
Sesungguhnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang beriman, dituntut untuk mengimani segala sesuatu yang telah Allah tetapkan. Mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci, memberikan loyalitas kepada orang yang Allah beri loyalitas, dan memusuhi semua orang yang Allah musuhi. Sementara memohonkan ampun untuk orang yang mati kafir, bertentangan dengan prinsip ini. (Demikian keterangan as-Sa’di dalam Tafsirnya, hlm. 353).

Barangkali, informasi yang Anda dengar bahwa kita tidak boleh mendoakan orang kafir agar dapat hidayah, maksudnya adalah mendoakan orang kafir agar mendapatkan ampunan.

Kedua, Memohonkan Hidayah

Memohonkan ampun untuk orang musyrik, tentu berbeda dengan memohon hidayah untuk mereka. Kita dibolehkan memohonkan hidayah untuk mereka. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, Thufail bin Amir pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengadukan pembangkangan yang dilakukan kaumnya. Thufail mengatakan,

إِنَّ دَوْسًا قَدْ عَصَتْ وَأَبَتْ ، فَادْعُ اللَّهَ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhya suku daus telah bermaksiat dan enggan menerima islam. Doakanlah keburukan untuk mereka.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada suku Daus dan datangkanlah mereka (ke Madinah).” (HR. Bukhari 2937 dan Muslim 2524).

Imam Bukhari membuat judul bab untuk hadis ini dalam shahihnya,

بَابُ الدُّعَاءِ لِلْمُشْرِكِينَ بِالْهُدَى لِيَتَأَلَّفَهُمْ

Bab: mendoakan kebaikan untuk orang musyrik dalam bentuk permohonan hidayah agar bisa mengambil hati mereka (Shahih Bukhari).

Hadis selanjutnya adalh dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ : يَرْحَمُكُمْ اللَّهُ ، فَيَقُولُ : يَهْدِيكُمُ اللَّهُ ، وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

Dulu orang-orang yahudi bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan mereka mendapatkan doa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang bersin: “Semoga Allah merahmati kalian.” Namun doa yang diucapkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kalian dan memperbaiki keadaan kalian.” (HR. Turmudzi 2739 dan dishahihkan al-Albani).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com).
http://www.konsultasisyariah.com/mendoakan-orang-kafir-agar-dapat-hidayah/
»»  READMORE...


Hukum Mendoakan Orang Kafir

Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh, Maaf, saya mau bertanya…
Apa kita tidak boleh mendoakan orang lain selain muslim yang hidup ataupun sudah meninggal? Sebab pernah teman berkata jangan doakan mereka karena tidak akan di ijabah.

Terimakasih.

Jawaban :

Waalaikum salam warohmatulloh wabarokatuh.
Alhamdulillahi wakafa., was sholatu wassalamu ala rosulihil musthofa, wa ala aalihi wa shohbihi wa maniqtafa… amma ba’du:

Mendoakan orang kafir, bisa diperinci menjadi empat:

PERTAMA: Mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah.

Para Ulama telah sepakat (Ijma’) akan bolehnya hal ini, diantara dalilnya adalah hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَدِمَ الطُّفَيْلُ وَأَصْحَابُهُ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ دَوْسًا قَدْ كَفَرَتْ وَأَبَتْ، فَادْعُ اللَّهَ عَلَيْهَا! فَقِيلَ: هَلَكَتْ دَوْسٌ! فَقَالَ: اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ!ـ

Abu Huroirah -rodliallohu anhu- mengatakan: (Suatu hari) At-Thufail dan para sahabatnya datang, mereka mengatakan: “ya Rosululloh, Kabilah Daus benar-benar telah kufur dan menolak (dakwah Islam), maka doakanlah keburukan untuk mereka! Maka ada yg mengatakan: “Mampuslah kabilah Daus”. Lalu beliau mengatakan: “Ya Allah, berikanlah hidayah kepada Kabilah Daus, dan datangkanlah mereka (kepadaku). (HR. Bukhori 2937 dan Muslim 2524, dg redaksi dari Imam Muslim).

Hadits berikut juga menunjukkan bolehnya mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah:

عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه، قَالَ: كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

Abu Musa -rodliallohu anhu- mengatakan: “Dahulu Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, mereka berharap beliau mau mengucapkan doa untuk mereka “yarhamukalloh (semoga Allah merahmati kalian)”, maka beliau mengatakan doa: “yahdikumulloh wa yushlihabalakum (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian)” (HR. Tirmidzi 2739 , dan yg lainnya, dishohihkan oleh Syeikh Albani).

KEDUA: Mendoakan kebaikan dalam perkara dunia.

Hal ini dibolehkan karena adanya contoh dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… lihatlah dalam hadits di atas, beliau mendoakan kepada Kaum Yahudi:

يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Semoga Allah memberi kalian hidayah, dan memperbaiki keadaan kalian”.

Ada juga ikrar (persetujuan) Rosulullah -shollallohu alaihi wasallam- dalam hal ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ القِرَى فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ فَأَتَوْنَا فَقَالُوا: هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ العَقْرَبِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا، وَلَكِنْ لاَ أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا: فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلاَثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ: الحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، فَبَرَأَ وَقَبَضْنَا الغَنَمَ، قَالَ: فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ فَقُلْنَا: لاَ تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ: وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ اقْبِضُوا الغَنَمَ وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ

Abu Said al-Khudri mengatakan: (Suatu saat) Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menugaskan kami dalam Sariyyah (pasukan kecil), lalu kami singgah di suatu kaum, dan kami meminta mereka agar menjamu kami tapi mereka menolaknya. Lalu pemimpin mereka terkena sengatan hewan, maka mereka mendatangi kami, dan mengatakan: “Adakah diantara kalian yg bisa meruqyah sakit karena sengatan Kalajengking?”. Maka ku jawab: “Ya, aku bisa, tapi aku tidak akan meruqyahnya kecuali kalian memberi kami kambing”. Mereka mengatakan: “Kami akan memberikan 30 kambing kepada kalian”. Maka kami menerima tawaran itu, dan aku bacakan kepada (pemimpin)nya surat Alhamdulilah sebanyak 7 kali, maka ia pun sembuh, dan kami terima imbalan (30) kambing.

Abu Sa’id mengatakan: Lalu ada sesuatu yg mengganjal di hati kami (dari langkah ini), maka kami mengatakan: “Jangan tergesa-gesa (dg imbalan kambing ini), sampai kalian mendatangi Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Abu sa’id mengatakan: Maka ketika kami mendatangi beliau, aku menyebutkan apa yg telah kulakukan. Beliau mengatakan: “Dari mana kau tahu, bahwa (Alfatihah) itu Ruqyah?, ambillah kambingnya dan berilah aku bagian darinya”. (HR. Tirmidzi [2063] dg redaksi ini, kisah ini juga diriwayatkan di dalam shohih Bukhori [2276] dan shohih Muslim [2201]).

Hadits ini menjelaskan bolehnya kita me-ruqyah orang kafir agar sakitnya sembuh, dan ini merupakan bentuk dari tindakan mendoakan kebaikan untuk mereka dalam urusan dunia.

Diantara dalil dalam masalah ini adalah dibolehkannya kita menjawab salamnya orang kafir, walaupun bolehnya hanya sebatas “wa’alaikum“, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ

“Jika seorang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah dg ucapan: “Wa’alaikum“. (HR. Bukhori [5788], dan Muslim [4024]).

Ada juga contoh dari salah seorang Sahabat Nabi dalam masalah ini:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ: أَنَّهُ مَرَّ بِرَجُلٍ هَيْئَتُهُ هَيْئَةُ مُسْلِمٍ، فَسَلَّمَ فَرَدَّ عَلَيْهِ: وَعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ: إِنَّهُ نَصْرَانِيٌّ! فَقَامَ عُقْبَةُ فَتَبِعَهُ حَتَّى أَدْرَكَهُ. فَقَالَ: إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ وَبَرَكَاتَهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ، لَكِنْ أَطَالَ اللَّهُ حَيَاتَكَ، وَأَكْثَرَ مالك، وولدك

Uqbah bin Amir al-Juhani -rodhiallohu anhu- menceritakan: bahwa dia pernah berpapasan dg seseorang yg gayanya seperti muslim, lalu orang tersebut memberi salam kepadanya, maka ia pun menjawabnya dengan ucapan: “wa’alaika wa rohmatulloh wabarokatuh”… Maka pelayannya mengatakan padanya: Dia itu seorang nasrani!… Lalu Uqbah pun beranjak dan mengikutinya hingga ia mendapatkannya, maka ia mengatakan: “Sesungguhnya rahmat dan berkah Allah itu untuk Kaum Mukminin, akan tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu, dan memperbanyak harta dan anakmu” (HR. Bukhori dalam kitabnya Adabul Mufrod 1/430, dan dihasankan oleh Syeikh Albani).

Banyak ulama yg memberi batasan : bahwa orang kafir yg didoakan kebaikan, harus bukan dalam kategori kafir harbi (yakni kafir yg memerangi Kaum Muslimin)… Dan ini sangatlah tepat… Syeikh Albani -rohimahulloh- mengatakan:

ولكن لا بد أن يلاحظ الداعي أن لا يكون الكافر عدواً للمسلمين

Akan tetapi, orang yg mendoakan kebaikan harus memperhatikan, bahwa orang kafir tersebut bukanlah musuh (perang) bagi Kaum Muslimin. (Ta’liq Kitab Adab Mufrod 1/430).

KETIGA: Mendoakan agar dosa mereka diampuni, setelah mereka mati dalam keadaan kafir.

Para ulama telah sepakat (Ijma’) bahwa hal ini diharamkan:

قال النووي رحمه الله : وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع

Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan: “Adapun menyolati orang kafir, dan mendoakan agar diampuni dosanya, maka ini merupakan perbuatan haram, berdasarkan nash Alqur’an dan Ijma’. (al-Majmu’ 5/120).

وقال ابن تيمية رحمه الله: إن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنَّة والإجماع

Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- juga mengatakan: Sesungguhnya memintakan maghfiroh untuk orang-orang kafir tidak dibolehkan, berdasarkan Alqur’an, Hadits, dan Ijma’. (Majmu’ul Fatawa 12/489).

Dan dalil paling tegas dalam masalah ini adalah firman Allah ta’ala:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) Jahim. (at-Taubah: 113).

KEEMPAT: Mendoakan agar diampuni dosanya ketika mereka masih hidup.

Hal ini dibolehkan dengan Dalil hadits berikut:

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بن مسعود: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Seakan-akan aku sekarang melihat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bercerita tentang seorang Nabi, yg dipukul oleh kaumnya hingga bercucur darah, dan ia mengusap darah tersebut dari wajahnya, tapi ia tetap mengatakan: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Bukhori 3477).

Memang Hadits ini tidak tegas mengatakan bahwa Nabi yg mendoakan ampunan tersebut adalah Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-… Namun ada riwayat lain yg tegas mengatakan bahwa doa tersebut juga diucapkan oleh Nabi kita Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- kepada kaumnya yg masih kafir:

عن سهل بن سعد قال: شهدت النبي – صلى الله عليه وسلم – حين كُسِرت رباعِيتُهُ وجُرح وجهه وهُشمت البيضة على رأسه، وإني لأعرف من يغسل الدم عن وجهه، ومن ينقل عليه الماء، وماذا جعل على جرحه حتى رقأ الدم؛ كانت فاطمة بنت محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – له تغسل الدم عن وجهه، وعلي- رضي الله عنه- ينقل الماء إليها في مِجنَّةٍ، فلما غسلت الدم عن وجه أبيها أحرقت حصيراً، حتى إذا صارت رماداً أخذت من ذلك الرماد، فوضعته على وجهه حتى رقأ الدم، ثم قال يومئذ: اشتد غضب الله على قوم كلموا وجه رسول الله – صلى الله عليه وسلم. ثم مكث ساعة، ثم قال: اللهم! اغفر لقومي؛ فإنهم لا يعلمون

Sahal bin sa’ad mengatakan: Aku telah menyaksikan Nabi -shollallohu alaihi wasallam- saat gigi serinya patah, wajahnya terluka, dan helm perang di kepalanya pecah… sungguh aku juga tahu siapa yg mencuci darah dari wajahnya, siapa yg mendatangkan air kepadanya, dan apa yg ditempatkan dilukanya hingga darahnya mampet… Adalah Fatimah putri Muhammad utusan Allah yg mencuci darah dari wajah, dan Ali -rodliallohu anhu- yg mendatangkan air dalam perisai… maka ketika Fatimah mencuci darah dari wajah ayahnya, dia membakar tikar, sehingga ketika telah menjadi abu, ia mengambil abu itu, lalu menaruhnya di wajah beliau, hingga darahnya mampet… ketika itu beliau mengatakan: “Telah memuncak kemurkaan Allah atas kaum yg melukai wajah Rosulullah”… lalu beliau diam sebentar, dan mengatakan: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Tobaroni, dan Syeikh Albani dalam Silsilah Shohihah [7/531] mengatakan: Sanadnya Hasan atau Shohih).

Diantara dalil dalam masalah ini adalah Mafhum Mukholafah dari firman Allah berikut:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (*) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah: 113-114).

Ayat ini mengaitkan “larangan memintakan ampun untuk Kaum Musyrikin”, dengan keadaan “sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka”. Sehingga sebelum jelas menjadi penghuni neraka, boleh di mintakan ampun… Dan telah shohih dari Ibnu Abbas, bahwa maksud dari firman Allah yg artinya: “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah” adalah “setelah mati dalam keadaan kufur”. Sehingga sebelum kematiannya, masih boleh dimintakan ampun.

Berikut Atsar dari Ibnu Abbas tersebut:

عن سعيد بن جبير قال : توفى أبو رجل ، وكان يهوديا ، فلم يتبعه ابنه ، فذكر ذلك لابن عباس ، فقال ابن عباس : وما عليه، لو غسله ، واتبعه ، واستغفر له ما كان حيا… ثم قرأ ابن عباس (فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه) * يقول : لما مات على كفره

Sa’id bin Jubair mengatakan: Ada salah seorang ayah meninggal, dan dia seorang yahudi, sehingga putranya (yg muslim) tidak mengikuti (jenazah)nya, lalu hal itu diceritakan kepada Ibnu Abbas, maka beliau mengatakan: “Tidak sepatutnya ia melakukannya, (alangkah baiknya) apabila ia memandikannya, mengikuti (jenazah)nya, dan memintakan ampun baginya ketika masih hidup… kemudian Ibnu Abbas membaca ayat (yg artinya): “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, ia pun berlepas diri darinya”, maksudnya: “ketika ia mati dalam keadaan kafir”. (Mushonnaf Abdurrozzaq 6/39).

Dan kesimpulan bolehnya memintakan ampun bagi orang-orang kafir selama masih hidup ini, juga banyak dinyatakan oleh para ulama, diantaranya:

Imam At-Thobari -rohimahulloh-, beliau mengatakan dalam tafsirnya:

وقد تأول قوم قول الله: {ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى}… الآية، أن النهي من الله عن الاستغفار للمشركين بعد مماتهم، لقوله: {من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم} وقالوا: ذلك لا يتبينه أحد إلا بأن يموت على كفره، وأما هو حي فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم

Sekelompok ulama’ telah menafsiri firman Allah (yg artinya): Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya)… -hingga akhir ayat-; bahwa larangan dari Allah untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin adalah setelah matinya mereka (dalam keadaan kafir), karena firman-Nya (yg artinya): “sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim”. Mereka mengatakan: “alasannya, karena tidak ada yg bisa memastikan (bahwa dia ahli neraka), kecuali setelah ia mati dalam kekafirannya,adapun saat ia masih hidup, maka tidak ada yg bisa mengetahui hal itu, sehingga dibolehkan bagi Kaum Mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. (Tafsir Thobari 12/26)

Dan inilah pendapat yg dipilih oleh beliau dalam tafsirnya. (lihat Tafsir Thobari 12/28).

Imam Al-Qurtubi juga mengatakan dalam tafsirnya:

وَقَدْ قَالَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ: لَا بَأْسَ أَنْ يَدْعُوَ الرَّجُلُ لِأَبَوَيْهِ الْكَافِرَيْنِ وَيَسْتَغْفِرَ لَهُمَا مَا دَامَا حَيَّيْنِ. فَأَمَّا مَنْ مَاتَ فَقَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ الرَّجَاءُ فَلَا يُدْعَى لَهُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا

Banyak ulama mengatakan: Tidak mengapa bagi seorang (muslim) mendoakan kedua orang tuanya yg kafir, dan memintakan ampun bagi keduanya selama mereka masih hidup. Adapun orang yg sudah meninggal, maka telah terputus harapan (untuk diampuni dosanya). Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu orang-orang memintakan ampun untuk orang-orang mati mereka, lalu turunlah ayat, maka mereka berhenti dari memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk memintakan ampun bagi orang-orang yg masih hidup hingga mereka meninggal”. (Tafsir Qurtubi 10/400).

Inilah pendapat paling kuat dalam masalah ini, karena bersandarkan dalil dari Alqur’an, Hadits, dan Perkataan Shahabat… Karenanya banyak dari kalangan ulama, memilih pendapat ini… Namun ada dua hal yg perlu digaris bawahi di sini:
  • Bahwa yg lebih afdhol adalah mendoakan orang yg kafir agar diberikan hidayah masuk Islam… Karena inilah yg sering dilakukan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, dan inilah yg telah disepakati bolehnya oleh para ulama.
  • Ampunan yg sempurna tidak akan diberikan kepada orang kafir, selama dia masih kafir… Sehingga arti dari doa meminta ampunan untuk mereka adalah: ampunan dari sebagian dosa selain kesyirikan dan kekafirannya, atau ampunan untuk semua dosanya dengan jalan diberi hidayah dahulu untuk masuk Islam.
Sekian, wallohu ta’ala a’lam. Dan semoga bermanfa’at.

washollallohu wasallama wabaaroka ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin, ila yaumiddin. walhamdulillahi robbil alamin.

Dijawab oleh Ustadz Musyaffa Addariny, M.A.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

http://www.konsultasisyariah.com/hukum-mendoakan-orang-kafir/
»»  READMORE...


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger