Syaikh -rahimahullah- dilahirkan di Frila, propinsi Kosovo di kawasan Balkan (saat ini Kosovo, yang dihuni etnis Albania dan tengah berupaya memisahkan diri dari republik Serbia-red), pada tahun 1347, kemudian hijrah bersama ayahandanya ke Damaskus saat masih berusia 3 tahun. Hijrah tersebut bagi kaum Muslimin di sana merupakan upaya menyelamatkan diri dari penindasan kaum atheis komunis. Di Damaskus, ia mendapatkan suasana yang kondusif dan tinggal di sana melewati hari-hari yang diberkahi. Namun demikian, beliau pun terus menjaga hubungan dakwahnya dengan negeri asalnya.
Beliau dikenal dengan nama Abdul Qadir al-Arna`uth. Hanya saja, nama aslinya dalam identitas diri adalah Qadri Shauqel Abdoe. Al-Arna`uth merupakan penisbatan yang diberikan para khalifah Utsmaniah kepada para penduduk di pinggiran negara Albania.
Perkembangan Ilmiah Dan Guru-Gurunya
Syaikh al-Arna`uth tumbuh di Damaskus sedangkan ayahandanya adalah seorang rakyat biasa yang mencintai ilmu. Ia menyerahkan al-Arna`uth kecil kepada beberapa pengajian Syaikh. Di awal pertumbuhannya, ia belajar Mabadi` al-Funun kepada Syaikh Shubhi al-‘Aththar dan Sulaiman Ghawidji al-Albani (ayahanda syaikh Wahbi) di perkampungan Arna`uth di Damaskus. Kemudian ia bekerja sebagai tukang jam di kelontong milik Syaikh Sa’id al-Ahmar di kampung Emara. Syaikh al-Ahmar ini merupakan seorang ulama jebolan universitas al-Azhar. Al-Ahmar kagum dengan kecerdasan al-Arna`uth, lalu berkata kepada ayahandanya, “Anakmu ini harus menjadi seorang penuntut ilmu.” Karena pesan itu, al-Arna`uth bergabung dengan pengajian Syaikh Shalih al-Farfur di Jami’ Umawi. Para rekannya ketika itu adalah Syaikh Abdur Razzaq al-Halabi, Ramzi al-Bazm, Adib al-Kallas dan Syu’aib al-Arna`uth (Peneliti hadits terkenal juga-red).
Melihat Syaikh kita ini amat menonjol dalam membaca al-Qur`an sesuai dengan ilmu tajwidnya, maka ia pun membacakan kepada para temannya tersebut dan mengajarkan mereka ilmu tajwid. Kemudian ia terus meningkatkan keilmuannya hingga membaca di hadapan Syaikh al-Qurra`, Mahmud Faiz ad-Dir’athani dan mengkhatamkan bacaan al-Qur`an ala Qira`at Hafsh. Gurunya ini amat suka dengan bacaan dan makhraj Syaikh kita yang demikian bagus. Suatu hari ia berkata kepadanya, “Bacaanmu lancar.” Gurunya itu berupaya agar ia terus bersamanya untuk menggabungkan Qira`at, namun Syaikh kita lebih memilih untuk meninggalkan tempat mengaji itu dan menimba ilmu hadits.
Perlu disinggung di sini, sebagian orang yang memuat biografi Syaikh kita ini sering menyebutkan bahwa ia belajar dengan Syaikh Abdur Razzaq al-Halabi. Ini tidak benar, sebab mereka berdua adalah berteman sejak awal menuntut ilmu.
Syaikh kita tidak meraih satu pun tanda tamat, yang dikenal di zaman kontemporer ini dengan ijazah, selain ijazah kelas 5 Ibtidaiyah dari Madrasah al-Is’af al-Khairi di mana beliau belajar di madrasah al-Adab al-Islami selama dua tahun.
Syaikh kita terus menuntut ilmu, muthala’ah dan berdakwah. Allah -subhanahu wata'ala- menganugerahkannya hafalan yang kuat sehingga dapat digunakannya untuk menerima ilmu dan menghafal. Beliau menggunakan waktu selama di Dar al-Maktab al-Islami milik Syaikh Zuhair asy-Syawis untuk mengambil manfaat dengan mendampingi al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rah, Syu’aib al-Arna`uth dan ulama selain keduanya. Beliau juga mengambil manfaat dari hubungannya dengan Syaikh as-Salifiyyin di Syam, Muhammad Bahjat al-Baithar, yang dikenal di semananjung Syam, Hijaz dan Nejd.
Di akhir hayatnya, beliau mendapatkan sebagian ijazah, di antaranya dari Abdul Ghani ad-Daqir dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin ‘Uqail Tadija.
Di akhir masa belajarnya dengan Syaikh Shalih Farfur terjadi sedikit masalah di antara keduanya. Intinya, beliau disidang karena dinilai melakukan pelanggaran, yaitu memiliki buku al-Wabil ash-Shayyib karya Ibn al-Qayyim. Karenanya, Syaikh kita ini diusir dari pengajian karena dituduh menganut paham ‘Wahabi.’ Para temannya pun ikut mengisolirnya. Label ‘Wahabi’ di Damaskus kala itu merupakan tuduhan paling keji yang dilekatkan kepada seseorang bahkan setara dengan kata ‘Zindiq.’!! (Na’udzu billah Min Dzalik)
Ketika itu, Syaikh kita ini belum mengetahui sesuatu pun tentang ‘Wahabiah.’ Akan tetapi setelah kejadian itu dan pergelutan dininya dengan ilmu hadits, terutama setelah mempelajari dan menghafal shahih Muslim serta mendapatkan arahan yang baik dari Syaikh yang diberi usia panjang, Abdurrahman Albani –hafizhahullah-, maka hal itu merupakan sebab langsung perubahannya menjadi seorang Salafi, bahkan ia kemudian menjadi bagian dari kepemimpinannya dan namanya menggaung di seantero Dunia Islam, apalagi di bidang ilmu hadits. Kiranya, sepeninggal Syaikh al-Albani, belum ada ulama yang lebih besar pengabdiannya terhadap ilmu hadits dari syaikh kita ini. Hingga akhirnya, nama beliau diusulkan untuk meraih penghargaan Raja Faishal kategori pengabdian terhadap Islam.
Pekerjaan Dan Rutinitasnya
Syaikh kita ini dilimpahi tugas mengimami dan berkhutbah di Jami’ al-Arna`uth di awal usia 20-an. Di sana beliau berkenalan dengan tetangganya, Syaikh al-Albani rah namun belum sempat terjadi kontak ilmiah ketika itu.
Kemudian bersama sejumlah para dermawan, beliau mendirikan Jami’ Umar bin al-Khaththab di kawasan al-Qadam, selatan Damaskus. Di sana, beliau mengimami dan berkhutbah selama sepuluh tahun. Kemudian juga menjadi khatib di Jami’ al-Ishlah di kawasan ad-Dahadil selama sepuluh tahun, kemudian Jami’ al-Muhammadi di al-Muzzah selama delapan tahun. Di sana, pada tahun 1415 beliau berhenti berkhutbah.
Sedangkan dalam bidang pengajaran, maka beliau telah memulainya dengan di pengajian syaikhnya, Shalih al-Farfur dalam ilmu tajwid sebagaimana telah dipaparkan di atas. Kemudian mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur`an dan hadits di madrasah al-Is’af al-Khairi -dimana beliau tamat- antara tahun 1373-1380.
Pada tahun 1381, beliau pindah ke al-Ma’had al-‘Arabi al-Islami sebagai pengajar al-Qur`an dan fiqih dan tetap mengajar di sejumlah Ma’had ilmiah di Damaskus hingga sekitar dua tahun, tepatnya di Ma’had al-Aminiah.
Dengan begitu, total masa belajar dengan menimba ilmu di bidang pengajaran, menjadi imam dan khatib beliau jalani selama 50 tahun. Semua itu beliau lakukan dengan mengharap pahala dari Allah -subhanahu wata'ala- semata.
Perlu diketahui, ‘Allamah Syam, Syaikh Muhammad Bahjat al-Baithar sebelumnya telah menyerahkan tugas mengimami Jami’ asy-Syuriji di al-Maedan kepada Syaikh kita, demikian juga dengan mengajar. Ini merupakan rekomendasi ilmiah tertinggi kepada syaikh kita, al-Arna`uth.
Beliau juga diangkat sebagai delegasi oleh Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rah ke kawasan Balkan untuk berdakwah sejak empat puluh lima tahun lalu. Hal itu terjadi manakala keduanya berjumpa di Masjid Nabawi. Syaikh Bin Baz tertarik dengan ceramah yang disampaikannya dan merasa yakin bahwa ia menguasai bahasa Albania dengan baik.
Syaikh kita, al-Arna`uth aktif memberikan fatwa kepada masyarakat dan ikut memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Tidak ada orang yang bisa menandingi beliau ketika itu selain Samahah asy-Syaikh Bin Baz. Semua orang dari berbagai penjuru Suriah mengambil fatwa darinya, terutama dalam masalah Talak di mana beliau berfatwa sesuai dengan pendapat Syaikhul Islam, Ibn Taimiah. Beliau terus berfatwa untuk seluruh lapisan masyarakat hingga beberapa bulan menjelang wafatnya.
Dapat dikatakan di sini, bahwa pintunya selalu terbuka buat para penuntut ilmu, sampai-sampai beliau tidak bisa mengatur waktunya dengan orang-orang yang berkepentingan dengannya.
Beliau juga sering bepergian untuk berdakwah, menyampaikan ceramah dan mengikuti berbagai seminar ke berbagai negara. Beliau memiliki hubungan yang kontinyu dengan para ulama kerajaan Arab Saudi dan lainnya.
Aktifitas Ilmiahnya
Beliau tidak terlalu konsern dengan dunia karya tulis. Di antara risalahnya yang paling masyhur adalah al-Wajiz Fi Manhaj as-Salaf ash-Shalih Wa Washaya Nabawiah. Namun Syaikh kita ini dikenal dan tersohor dengan berbagai Tahqiq-nya terhadap sejumlah buku. Bahkan beliau terrmasuk orang yang banyak melakukan hal itu di mana beliau telah menahqiq lebih dari 60 buku dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Barangkali di antara buku paling masyhur yang dikeluarkannya sejak 40 tahun lalu adalah Jami’ al-Ushul karya Ibn al-Atsir dalam 15 jilid. Buku itu hingga saat ini masih menjadi rujukan dan ensiklopedia cetak paling penting yang dicetak dan melayani ilmu hadits. Banyak para peneliti menukil putusan hadits yang beliau keluarkan di sana. Kitab inilah yang menjadikan Syaikh kita lebih dominan di bidang hadits.
Di antara karyanya yang paling masyhur adalah tahqiq beliau terhadap kitab Zad al-Ma’ad karya Ibn al-Qayyim, bersama dengan Syaikh Syu’aib al-Arna`uth. Ini merupakan kitab yang agung di mana Allah mencatatkan respons manusia yang luar biasa terhadapnya dan penyebaran yang luas.
Di antara buku lainnya yang beliau teliti (baca: tahqiq) adalah al-Azkar karya Imam an-Nawawi, Zad al-Masir Fi ‘Ilm at-Tafsir, Ghayah al-Muntaha, al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’, Raudhah ath-Thalibin, Jala` al-Afham, Misykah al-Mashahabih, al-Kafi karya al-Muwaffiq, Raf’u al-Mulam ‘An al-A`immah al-A’lam karya Ibn Taimiah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Fath al-Majid, Syarh Tsulatsiat al-Musnad, Mukhtashar Syu’ab al-Iman, Tuhfah al-Maudud Fi Ahkam al-Maulud, Qa’idah Jalilah Fi at-Tawassul Wa al-Wasilah, al-Furqan karya Ibn Taimiah, al-Wabil ash-Shayyib karya Ibn al-Qayyim, al-Kalim ath-Thayyib karya Ibn Taimiah, at-Tibyan Fi Adab Hamalah al-Qur`an, at-Tawwabbin karya Ibn Qudamah, Washaya al-Aba` Li al-Abna`, asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyadh, dan lain sebagainya.
Beliau juga banyak memberikan pengantar pada sejumlah buku, di antaranya Jamharah al-Ajza` al-Haditsiah.
Sifat Fisik Dan Akhlaknya
Syaikh kita berkulit putih kemerahan, bermata biru, pirang, agak tinggi dan tegap. Hal ini karena beliau mantan atlet di masa mudanya. Allah menjaga kesehatannya secara umum hingga malam wafatnya. Hanya saja, patah kaki yang dideritanya yang mempengaruhi kedua lututnya mengharuskannya menjalani operasi penggantian kedua sendi lutut setelah sekian tahun menderita. Lalu di akhir umurnya, beliau mengalami semacam ‘stroke’ ringan yang berpengaruh bagi wajahnya.
Syaikh al-Arna`uth juga sosok yang selalu ceria, pandai beranekdot dan berkelakar. Di antara sifat utamanya, ia tidak mengenal kata takabur dan tidak memandang dirinya beruntung. Secara fitrah, ia amat tawadhu’ dan ilmu yang dimilikinya menambah ia semakin tawadhu’. Dalam tanda tangan yang dibubuhkannya dan di sisi namanya, ia selalu menulis, “Hamba yang faqir kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Kuasa, Abdul Qadir al-Arna`uth, Khadim (Pengabdi) ilmu hadits di Damaskus".
Sekalipun demikian, beliau seorang yang kuat dan pemberani dalam menyatakan kebenaran dan membelanya. Banyak sekali sikap yang menunjukkan kegigihannya dalam membela as-Sunnah, menentang bid’ah dan kemungkaran para pelakunya.
Beliau juga seorang yang dermawan, pandai bergaul dengan masyarakat, selalu menghadiri undangan dan momen-momen yang diadakan mereka. Hanya saja, di antara perbedaannya dengan banyak tuan guru, bahwa beliau hampir tidak pernah walau sedetik pun membuang waktunya tanpa meminta petunjuk dan nasehat. Begitu duduk, ia dengan suaranya yang lantang dan fasih berkata, “Fulan dan Fulan meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda….” Lalu beliau mengetengahkan sejumlah hadits yang sesuai dengan kondisi. Semua itu dibacanya dari hafalannya yang jitu, meriwayatkannya secara harfiah, bukan makna, dengan begitu fasih, bukan dengan mengulang-ulang atau terbata-bata.
Wafatnya
Beliau wafat di Damaskus, pada pagi Jum’at, 13 Syawal 1415 H sesuai kalender Suriah dan Ummul Qura, di Arab Saudi, atau 14 Syawwal berdasarkan ru’yah hilal di Arab Saudi.
Muhammad, putra Syaikh Abdul Qadir al-Arna`uth berkata, “Syaikh kita kemarin, Kamis, masih segar bugar, kemudian ia tidur. Tatkala ibunda saya hendak membangunkannya untuk shalat fajar, ia tidak menyahut. Kemudian ia menggerak-gerakkannya namun mendapatinya telah menghembuskan nafasnya yang terakhir sementara keningnya tampak berpeluh. Tidak ada keluarganya yang merasakan firasat apapun terhadapnya. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un".
Ba’da shalat Jum’at di Jami’ Zainal ‘Abidin, di jalan al-Maedan, beliau dishalati dengan imam Syaikhul Qurra` di Syam, Syaikh Karim Rajih –hafizhahullah.- Sebelum shalat, Jami’ tersebut telah disesaki jemaah. Demikian pula, jalan-jalan penuh sesak padahal suhu udara amat dingin. Sudah lama sekali, Damaskus belum pernah lagi menyaksikan suasana jenazah yang dihadiri ribuan pelayat seperti itu.
Kita memohon kepada Allah, semoga Syaikh kita mendapatkan Husnul Khatimah. Semoga di antara yang menjadi indikasinya, beliau wafat setelah bulan Ramadhan, dengan peluh yang tampak di kening, di hari Jum’at dan wafat dengan penuh ketegaran, kemuliaan dan kemantapan sekalipun beberapa waktu sebelum ajalnya, ia menghadapi banyak tekanan dan gangguan. Kita memohon kepada Allah agar menaungi beliau dengan rahmat-Nya, menggantikan bagi umat ini orang-orang semisalnya, serta meringankan penderitaan yang dialami keluarga, para murid dan handai tolannya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Lagi Maha Mulia.
Semoga Allah merahmati syaikh kita dan menempatkannya di surganya nan maha luas. (SUMBER: hawahome/AH).
Beliau dikenal dengan nama Abdul Qadir al-Arna`uth. Hanya saja, nama aslinya dalam identitas diri adalah Qadri Shauqel Abdoe. Al-Arna`uth merupakan penisbatan yang diberikan para khalifah Utsmaniah kepada para penduduk di pinggiran negara Albania.
Perkembangan Ilmiah Dan Guru-Gurunya
Syaikh al-Arna`uth tumbuh di Damaskus sedangkan ayahandanya adalah seorang rakyat biasa yang mencintai ilmu. Ia menyerahkan al-Arna`uth kecil kepada beberapa pengajian Syaikh. Di awal pertumbuhannya, ia belajar Mabadi` al-Funun kepada Syaikh Shubhi al-‘Aththar dan Sulaiman Ghawidji al-Albani (ayahanda syaikh Wahbi) di perkampungan Arna`uth di Damaskus. Kemudian ia bekerja sebagai tukang jam di kelontong milik Syaikh Sa’id al-Ahmar di kampung Emara. Syaikh al-Ahmar ini merupakan seorang ulama jebolan universitas al-Azhar. Al-Ahmar kagum dengan kecerdasan al-Arna`uth, lalu berkata kepada ayahandanya, “Anakmu ini harus menjadi seorang penuntut ilmu.” Karena pesan itu, al-Arna`uth bergabung dengan pengajian Syaikh Shalih al-Farfur di Jami’ Umawi. Para rekannya ketika itu adalah Syaikh Abdur Razzaq al-Halabi, Ramzi al-Bazm, Adib al-Kallas dan Syu’aib al-Arna`uth (Peneliti hadits terkenal juga-red).
Melihat Syaikh kita ini amat menonjol dalam membaca al-Qur`an sesuai dengan ilmu tajwidnya, maka ia pun membacakan kepada para temannya tersebut dan mengajarkan mereka ilmu tajwid. Kemudian ia terus meningkatkan keilmuannya hingga membaca di hadapan Syaikh al-Qurra`, Mahmud Faiz ad-Dir’athani dan mengkhatamkan bacaan al-Qur`an ala Qira`at Hafsh. Gurunya ini amat suka dengan bacaan dan makhraj Syaikh kita yang demikian bagus. Suatu hari ia berkata kepadanya, “Bacaanmu lancar.” Gurunya itu berupaya agar ia terus bersamanya untuk menggabungkan Qira`at, namun Syaikh kita lebih memilih untuk meninggalkan tempat mengaji itu dan menimba ilmu hadits.
Perlu disinggung di sini, sebagian orang yang memuat biografi Syaikh kita ini sering menyebutkan bahwa ia belajar dengan Syaikh Abdur Razzaq al-Halabi. Ini tidak benar, sebab mereka berdua adalah berteman sejak awal menuntut ilmu.
Syaikh kita tidak meraih satu pun tanda tamat, yang dikenal di zaman kontemporer ini dengan ijazah, selain ijazah kelas 5 Ibtidaiyah dari Madrasah al-Is’af al-Khairi di mana beliau belajar di madrasah al-Adab al-Islami selama dua tahun.
Syaikh kita terus menuntut ilmu, muthala’ah dan berdakwah. Allah -subhanahu wata'ala- menganugerahkannya hafalan yang kuat sehingga dapat digunakannya untuk menerima ilmu dan menghafal. Beliau menggunakan waktu selama di Dar al-Maktab al-Islami milik Syaikh Zuhair asy-Syawis untuk mengambil manfaat dengan mendampingi al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rah, Syu’aib al-Arna`uth dan ulama selain keduanya. Beliau juga mengambil manfaat dari hubungannya dengan Syaikh as-Salifiyyin di Syam, Muhammad Bahjat al-Baithar, yang dikenal di semananjung Syam, Hijaz dan Nejd.
Di akhir hayatnya, beliau mendapatkan sebagian ijazah, di antaranya dari Abdul Ghani ad-Daqir dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin ‘Uqail Tadija.
Di akhir masa belajarnya dengan Syaikh Shalih Farfur terjadi sedikit masalah di antara keduanya. Intinya, beliau disidang karena dinilai melakukan pelanggaran, yaitu memiliki buku al-Wabil ash-Shayyib karya Ibn al-Qayyim. Karenanya, Syaikh kita ini diusir dari pengajian karena dituduh menganut paham ‘Wahabi.’ Para temannya pun ikut mengisolirnya. Label ‘Wahabi’ di Damaskus kala itu merupakan tuduhan paling keji yang dilekatkan kepada seseorang bahkan setara dengan kata ‘Zindiq.’!! (Na’udzu billah Min Dzalik)
Ketika itu, Syaikh kita ini belum mengetahui sesuatu pun tentang ‘Wahabiah.’ Akan tetapi setelah kejadian itu dan pergelutan dininya dengan ilmu hadits, terutama setelah mempelajari dan menghafal shahih Muslim serta mendapatkan arahan yang baik dari Syaikh yang diberi usia panjang, Abdurrahman Albani –hafizhahullah-, maka hal itu merupakan sebab langsung perubahannya menjadi seorang Salafi, bahkan ia kemudian menjadi bagian dari kepemimpinannya dan namanya menggaung di seantero Dunia Islam, apalagi di bidang ilmu hadits. Kiranya, sepeninggal Syaikh al-Albani, belum ada ulama yang lebih besar pengabdiannya terhadap ilmu hadits dari syaikh kita ini. Hingga akhirnya, nama beliau diusulkan untuk meraih penghargaan Raja Faishal kategori pengabdian terhadap Islam.
Pekerjaan Dan Rutinitasnya
Syaikh kita ini dilimpahi tugas mengimami dan berkhutbah di Jami’ al-Arna`uth di awal usia 20-an. Di sana beliau berkenalan dengan tetangganya, Syaikh al-Albani rah namun belum sempat terjadi kontak ilmiah ketika itu.
Kemudian bersama sejumlah para dermawan, beliau mendirikan Jami’ Umar bin al-Khaththab di kawasan al-Qadam, selatan Damaskus. Di sana, beliau mengimami dan berkhutbah selama sepuluh tahun. Kemudian juga menjadi khatib di Jami’ al-Ishlah di kawasan ad-Dahadil selama sepuluh tahun, kemudian Jami’ al-Muhammadi di al-Muzzah selama delapan tahun. Di sana, pada tahun 1415 beliau berhenti berkhutbah.
Sedangkan dalam bidang pengajaran, maka beliau telah memulainya dengan di pengajian syaikhnya, Shalih al-Farfur dalam ilmu tajwid sebagaimana telah dipaparkan di atas. Kemudian mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur`an dan hadits di madrasah al-Is’af al-Khairi -dimana beliau tamat- antara tahun 1373-1380.
Pada tahun 1381, beliau pindah ke al-Ma’had al-‘Arabi al-Islami sebagai pengajar al-Qur`an dan fiqih dan tetap mengajar di sejumlah Ma’had ilmiah di Damaskus hingga sekitar dua tahun, tepatnya di Ma’had al-Aminiah.
Dengan begitu, total masa belajar dengan menimba ilmu di bidang pengajaran, menjadi imam dan khatib beliau jalani selama 50 tahun. Semua itu beliau lakukan dengan mengharap pahala dari Allah -subhanahu wata'ala- semata.
Perlu diketahui, ‘Allamah Syam, Syaikh Muhammad Bahjat al-Baithar sebelumnya telah menyerahkan tugas mengimami Jami’ asy-Syuriji di al-Maedan kepada Syaikh kita, demikian juga dengan mengajar. Ini merupakan rekomendasi ilmiah tertinggi kepada syaikh kita, al-Arna`uth.
Beliau juga diangkat sebagai delegasi oleh Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rah ke kawasan Balkan untuk berdakwah sejak empat puluh lima tahun lalu. Hal itu terjadi manakala keduanya berjumpa di Masjid Nabawi. Syaikh Bin Baz tertarik dengan ceramah yang disampaikannya dan merasa yakin bahwa ia menguasai bahasa Albania dengan baik.
Syaikh kita, al-Arna`uth aktif memberikan fatwa kepada masyarakat dan ikut memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Tidak ada orang yang bisa menandingi beliau ketika itu selain Samahah asy-Syaikh Bin Baz. Semua orang dari berbagai penjuru Suriah mengambil fatwa darinya, terutama dalam masalah Talak di mana beliau berfatwa sesuai dengan pendapat Syaikhul Islam, Ibn Taimiah. Beliau terus berfatwa untuk seluruh lapisan masyarakat hingga beberapa bulan menjelang wafatnya.
Dapat dikatakan di sini, bahwa pintunya selalu terbuka buat para penuntut ilmu, sampai-sampai beliau tidak bisa mengatur waktunya dengan orang-orang yang berkepentingan dengannya.
Beliau juga sering bepergian untuk berdakwah, menyampaikan ceramah dan mengikuti berbagai seminar ke berbagai negara. Beliau memiliki hubungan yang kontinyu dengan para ulama kerajaan Arab Saudi dan lainnya.
Aktifitas Ilmiahnya
Beliau tidak terlalu konsern dengan dunia karya tulis. Di antara risalahnya yang paling masyhur adalah al-Wajiz Fi Manhaj as-Salaf ash-Shalih Wa Washaya Nabawiah. Namun Syaikh kita ini dikenal dan tersohor dengan berbagai Tahqiq-nya terhadap sejumlah buku. Bahkan beliau terrmasuk orang yang banyak melakukan hal itu di mana beliau telah menahqiq lebih dari 60 buku dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Barangkali di antara buku paling masyhur yang dikeluarkannya sejak 40 tahun lalu adalah Jami’ al-Ushul karya Ibn al-Atsir dalam 15 jilid. Buku itu hingga saat ini masih menjadi rujukan dan ensiklopedia cetak paling penting yang dicetak dan melayani ilmu hadits. Banyak para peneliti menukil putusan hadits yang beliau keluarkan di sana. Kitab inilah yang menjadikan Syaikh kita lebih dominan di bidang hadits.
Di antara karyanya yang paling masyhur adalah tahqiq beliau terhadap kitab Zad al-Ma’ad karya Ibn al-Qayyim, bersama dengan Syaikh Syu’aib al-Arna`uth. Ini merupakan kitab yang agung di mana Allah mencatatkan respons manusia yang luar biasa terhadapnya dan penyebaran yang luas.
Di antara buku lainnya yang beliau teliti (baca: tahqiq) adalah al-Azkar karya Imam an-Nawawi, Zad al-Masir Fi ‘Ilm at-Tafsir, Ghayah al-Muntaha, al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’, Raudhah ath-Thalibin, Jala` al-Afham, Misykah al-Mashahabih, al-Kafi karya al-Muwaffiq, Raf’u al-Mulam ‘An al-A`immah al-A’lam karya Ibn Taimiah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Fath al-Majid, Syarh Tsulatsiat al-Musnad, Mukhtashar Syu’ab al-Iman, Tuhfah al-Maudud Fi Ahkam al-Maulud, Qa’idah Jalilah Fi at-Tawassul Wa al-Wasilah, al-Furqan karya Ibn Taimiah, al-Wabil ash-Shayyib karya Ibn al-Qayyim, al-Kalim ath-Thayyib karya Ibn Taimiah, at-Tibyan Fi Adab Hamalah al-Qur`an, at-Tawwabbin karya Ibn Qudamah, Washaya al-Aba` Li al-Abna`, asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyadh, dan lain sebagainya.
Beliau juga banyak memberikan pengantar pada sejumlah buku, di antaranya Jamharah al-Ajza` al-Haditsiah.
Sifat Fisik Dan Akhlaknya
Syaikh kita berkulit putih kemerahan, bermata biru, pirang, agak tinggi dan tegap. Hal ini karena beliau mantan atlet di masa mudanya. Allah menjaga kesehatannya secara umum hingga malam wafatnya. Hanya saja, patah kaki yang dideritanya yang mempengaruhi kedua lututnya mengharuskannya menjalani operasi penggantian kedua sendi lutut setelah sekian tahun menderita. Lalu di akhir umurnya, beliau mengalami semacam ‘stroke’ ringan yang berpengaruh bagi wajahnya.
Syaikh al-Arna`uth juga sosok yang selalu ceria, pandai beranekdot dan berkelakar. Di antara sifat utamanya, ia tidak mengenal kata takabur dan tidak memandang dirinya beruntung. Secara fitrah, ia amat tawadhu’ dan ilmu yang dimilikinya menambah ia semakin tawadhu’. Dalam tanda tangan yang dibubuhkannya dan di sisi namanya, ia selalu menulis, “Hamba yang faqir kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Kuasa, Abdul Qadir al-Arna`uth, Khadim (Pengabdi) ilmu hadits di Damaskus".
Sekalipun demikian, beliau seorang yang kuat dan pemberani dalam menyatakan kebenaran dan membelanya. Banyak sekali sikap yang menunjukkan kegigihannya dalam membela as-Sunnah, menentang bid’ah dan kemungkaran para pelakunya.
Beliau juga seorang yang dermawan, pandai bergaul dengan masyarakat, selalu menghadiri undangan dan momen-momen yang diadakan mereka. Hanya saja, di antara perbedaannya dengan banyak tuan guru, bahwa beliau hampir tidak pernah walau sedetik pun membuang waktunya tanpa meminta petunjuk dan nasehat. Begitu duduk, ia dengan suaranya yang lantang dan fasih berkata, “Fulan dan Fulan meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda….” Lalu beliau mengetengahkan sejumlah hadits yang sesuai dengan kondisi. Semua itu dibacanya dari hafalannya yang jitu, meriwayatkannya secara harfiah, bukan makna, dengan begitu fasih, bukan dengan mengulang-ulang atau terbata-bata.
Wafatnya
Beliau wafat di Damaskus, pada pagi Jum’at, 13 Syawal 1415 H sesuai kalender Suriah dan Ummul Qura, di Arab Saudi, atau 14 Syawwal berdasarkan ru’yah hilal di Arab Saudi.
Muhammad, putra Syaikh Abdul Qadir al-Arna`uth berkata, “Syaikh kita kemarin, Kamis, masih segar bugar, kemudian ia tidur. Tatkala ibunda saya hendak membangunkannya untuk shalat fajar, ia tidak menyahut. Kemudian ia menggerak-gerakkannya namun mendapatinya telah menghembuskan nafasnya yang terakhir sementara keningnya tampak berpeluh. Tidak ada keluarganya yang merasakan firasat apapun terhadapnya. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un".
Ba’da shalat Jum’at di Jami’ Zainal ‘Abidin, di jalan al-Maedan, beliau dishalati dengan imam Syaikhul Qurra` di Syam, Syaikh Karim Rajih –hafizhahullah.- Sebelum shalat, Jami’ tersebut telah disesaki jemaah. Demikian pula, jalan-jalan penuh sesak padahal suhu udara amat dingin. Sudah lama sekali, Damaskus belum pernah lagi menyaksikan suasana jenazah yang dihadiri ribuan pelayat seperti itu.
Kita memohon kepada Allah, semoga Syaikh kita mendapatkan Husnul Khatimah. Semoga di antara yang menjadi indikasinya, beliau wafat setelah bulan Ramadhan, dengan peluh yang tampak di kening, di hari Jum’at dan wafat dengan penuh ketegaran, kemuliaan dan kemantapan sekalipun beberapa waktu sebelum ajalnya, ia menghadapi banyak tekanan dan gangguan. Kita memohon kepada Allah agar menaungi beliau dengan rahmat-Nya, menggantikan bagi umat ini orang-orang semisalnya, serta meringankan penderitaan yang dialami keluarga, para murid dan handai tolannya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Lagi Maha Mulia.
Semoga Allah merahmati syaikh kita dan menempatkannya di surganya nan maha luas. (SUMBER: hawahome/AH).
0 komentar:
Posting Komentar