Talqin Mayit

Talqin mayit terbagi menjadi dua: Talqin calon mayit dan Talqin mayit.

Yang pertama saat mayit belum meninggal, saat dia sedang menghadapi sakaratul maut, talqin dalam kondisi ini sunnah, yakni dengan ucapan la ilaha illallah.

Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كاَنَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ.
 
Orang yang ucapan terakhirnya Laa Ilaaha Illallah pasti masuk Surga. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3116.

Yang kedua, talqin ba’da maut, yaitu saat mayit sudah dikebumikan.

Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa dalam masalah ini terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama: mustahab, mubah dan makruh.

Pendapat yang rajih adalah bahwa ia bukan sunnah, karena tidak diriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya, sebaliknya yang shahih adalah berdoa memohon keteguhan bagi mayit dan beristighfar untuknya.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

اِسْتَغْفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوا لّهُ التَثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ.

Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini. Mohonlah keteguhan buat dirinya, karena sekarang ia sedang ditanya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Usman no. 3221.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamnya dari Abu Umamah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Bila salah seorang dari saudara kalian mati, lalu kalian meratakan tanah kuburnya, maka hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di kepalanya dan mengucapkan, ‘Wahai fulan….maka ia adalah hadits dhaif yang tidak layak dijadikan hujjah dalam masalah ini. Al-Haetsami berkata dalam Majma’ az-Zawaid 2/324 , “Di dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang tidak aku kenal.” Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/504 berkata, “Ini adalah hadits yang penyandarannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak shahih.”.

Dari sisi pertimbangan, bahwa jawaban mayit terhadap pertanyaan malaikat tergantung kepada siapa dia sebelum mati. Bila dia seorang mukmin, maka ia secara otomatis akan mampu menjawab pertanyaan malaikat, sekalipun tidak ditalqin, karena jawaban tersebut sudah ada dalam jiwanya dan akan selalu bersamanya, karena Allah meneguhkan orang-orang mukmin di dunia dan di akhirat dengan perkataan yang teguh. Bila sebaliknya, maka akan sebaliknya, sekalipun ditalqin sekian kali, tetap tidak mengetahui jawabannya. Maka orang munafik akan menjawab, “Eh, eh, aku tidak tahu, aku mendengar orang-orang mengucapkannya maka aku pun mengucapkannya.” Ini artinya bukan talqin yang membuat mayit bisa menjawab atau tidak menjawab, tetapi amal perbuatannya di dunia.

Melepas jenazah dengan adzan.
Tidak berdasar, tidak ada tuntunan sunnah dalam hal ini, sehingga ia tidak patut untuk dilakukan, sebaliknya harus tidak dilakukan, di samping pada dasarnya adzan adalah pemberitahuan waktu shalat bukan waktu pemberangkatan jenazah.


Melepas dengan takbir, tahlil dan sejenisnya.
Ini sama dengan sebelumnya, tidak berdasar. Tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bila ia baik niscaya mereka akan lebih dulu melakukannya, ditinggalkannya hal ini oleh mereka membuktikan bahwa ia tidak baik.


Dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah,
Petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila beliau mengantar jenazah adalah dengan tidak bersuara, baik dengan tahlil atau bacaan atau sepertinya, beliau tidak memerintahkan bertahlil secara berjamaah sebatas yang kami ketahui, bahkan diriwayatkan dari beliau bahwa beliau melarang mengikuti mayit dengan suara atau api. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.


Qaid bin Abbad –seorang tabiin murid Ali bin Abu Thlaib- berkata, “Mereka –yakni para sahabat- menganjurkan menundukkan suara saat mengantar jenazah, saat berdzikir dan saat berperang.” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Kabir no. 5130.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dianjurkan mengangkat suara bersama jenazah, tidak dengan bacaan, tidak dengan dzikir atau sejenisnya. Ini adalah madzhab Imam yang empat dan ini ma`tsur dari salaf, para sahabat dan tabiin, dan saya tidak mengetahui adanya penyelisih”.

Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi).

sumber : http://alsofwah.or.id/cetakfiqih.php?id=208


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger