Pokok
Iman (Ashlul-Iimaan) Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah
Sebelum
membahas ini, maka penting diketahui bahwasannya iman menurut Ahlus-Sunnah
adalah perkataan dan perbuatan, sebagaimana definisi yang dikatakan
Al-Imaam
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
“Para
ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan
perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid,
9/238].
Dan iman itu bercabang-cabang yang terdiri dari :
Dan iman itu bercabang-cabang yang terdiri dari :
- Cabang iman yang ada dalam hati; ada dua macam, yaitu : (a) perkataan hati berupa tashdiiq (pembenaran), dan (b) perbuatan/amal hati, berupa inqiyaad (ketundukan), taslim (kepasrahan), khudluu’, kecintaan, dan yang lainnya.
- Cabang iman yang ada dalam lisan; seperti dzikir kepada Allah yang diantaranya adalah pengucapan kalimat tauhid yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam wilayah Islam, dan seluruh perkataan-perkataan lain yang telah ma’ruf.
- Cabang
iman yang ada dalam anggota tubuh/jawaarih; yaitu berupa amal-amal badan
seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ
سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا
قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Telah
menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir
bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Iman
itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah
perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan
malu itu adalah salah satu cabang dari iman”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].
- Hadits di atas menjelaskan bahwa cabang-cabang atau bagian-bagian iman itu tidaklah berada dalam satu tingkatan. Sebagian lebih utama daripada sebagian yang lain. Dan termasuk ‘aqidah Ahlus-Sunnah adalah bahwa iman terbagi menjadi pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’u).
Al-Haafidh
Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
وقال جمهور أهل الإرجاء الإيمان هو فعل القلب واللسان
جميعا
وقالت الخوارج الإيمان فعل الطاعات المفترضة كلها بالقلب
واللسان وسائر الجوارح
.......
وقال أهل الجماعة الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر
الجوارح غير أن له أصلا وفرعا
“Dan
jumhur orang Murji’ah berkata : iman itu perbuatan hati dan lisan seluruhnya.
Orang-orang Khawarij berkata : iman itu semua perbuatan ketaatan yang
diwajibkan, dengan hati, lisan, dan anggota tubuh (jawaarih). ...... Dan
Ahlus-Sunnah berkata : iman itu seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati,
lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan
cabang (al-far’)” [Al-Iimaan, 1/331].
Lantas,
apa yang dimaksudkan dengan ashlul-iimaan (pokok iman)
?.
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
قالَ تعالى ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ
اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ
الْكَبِيرُ [فاطر : 32] ، فالمسلمُ الّذي لم يقمْ بواجبِ الإيمانِ هوَ الظّالمُ
لنفسِه ، والمقتصدُ هوَ المؤمنُ المُطلقُ الّذي أدّى الواجبَ وتركَ المحرّم ،
والسابقُ بالخيراتِ هوَ المُحسِنُ الّذي عبَدَ اللهَ كأنّه
يراه
“Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di
antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada
yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar’ (QS. Faathir : 32). Muslim yang tidak menegakkan kewajiban iman, maka
ia disebut orang yang dhalim terhadap dirinya sendiri. Orang yang pertengahan
(al-muqtashid) adalah orang yang mempunyai keimanan mutlak
(al-mu’minul-muthlaq) yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang
diharamkan. Adapun orang yang bersegera dalam kebaikan, ia adalah seorang
muhsin yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/358].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :
وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات
مع بقاء أصل الإيمان معهم
“Mereka
adalah orang yang berani mengerjakan sebagian yang diharamkan dan kurang/lalai
dalam mengerjakan sebagian kewajiban, bersamaan dengan keberadaan pokok iman
(ashlul-iimaan) bersamanya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal.
92].
Ashlul-iimaan
dinamakan
juga muthlaqul-iimaan.[1] Iman ini
merupakan tingkatan iman paling rendah[2] yang
tidak menerima adanya pengurangan, karena ia merupakan batas Islam
pembeda antara kekafiran dan keimanan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali
dengannya, sehingga iman ini wajib dimiliki oleh siapa saja yang masuk dalam
wilayah Islam (baca : muslim). Keberadaan pokok iman ini bagi seseorang
merupakan jaminan keselamatan dari kekekalan neraka. Barangsiapa saja yang tidak
mempunyai ashlul-imaan, maka kafir hukumnya. Berikut akan dibawakan
beberapa perkataan ulama kita tentang ashlul-iimaan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فَأَصْلُ الإِيمَانِ فِي القَلْبِ - وَهُوَ قَوْلُ القَلْبِ
وَعَمَلُهُ ، وَهُوَ إِقْرارٌ بِالتَّصْدِيقِ وَالحُبِّ وَالانْقِيَادِ -؛ وَمَا
كَانَ فِي القَلْبِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ مُوجَبُهُ وَمُقْتَضَاهُ عَلَى
الجَوَارِحِ ، وَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِمُوجَبِهِ وَمُقْتَضَاهُ دَلَّ عَلَى
عَدَمِهِ أَوْ ضَعْفِهِ
“Ashlul-iimaan
itu ada di hati - yaitu perkataan dan amalan hati, dan ia adalah
iqraar dengan pembenaran (tashdiiq), kecintaan, dan ketundukan.
Dan iman yang ada di dalam hati sudah semestinya menampakkan konsekuensinya dan
kebutuhannya pada anggota badan (jawaarih). Apabila ia tidak mengamalkan
konsekuensi dan kebutuhannya pada amal anggota badan (jawaarih), itu
menunjukkan ketiadaan dan kelemahannya" [Majmuu’ Al-Fataawaa,
7/644].
Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
فأصل الإيمان الإقرار والتصديق
“Maka
ashlul-iimaan adalah iqraar dan tashdiiq” [Ta’dhiimu
Qadrish-Shalaah, 2/519].
Al-Kalaabadziy rahimahullah (w. 380 H) berkata :
Al-Kalaabadziy rahimahullah (w. 380 H) berkata :
أصل الإيمان : إقرار اللسان بتصديق القلب، وفروعه : العمل
بالفرائض
“Ashlul-iimaan
adalah pengakuan lisaan terhadap pembenaran hati, dan cabang (furuu’)
iman adalah mengerjakan hal-hal yang diwajibkan...” [At-Ta’arruf
bi-Manhajit-Tashawwuf, hal. 80].
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه وبما جاء من عنده بالقلب
واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له مع ترك التكبر والاستنكاف
والمعاندة فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه ولا يكون
مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب
المحارم
“Dan
pokok iman adalah : ma’rifat kepada Allah, membenarkan-Nya dan apa-apa
yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan, dengan ketundukan kepada-Nya,
mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengangungkan-Nya. Serta meninggalkan
kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang mempunyai pokok iman
ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman, dan mengkonsekuensikan padanya akan
namanya (yaitu mukmin) dan hukum-hukumnya. Dan tidak sempurna iman seseorang
hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang
diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan,
1/331-332].
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
ومعلومٌ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة
اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.
“Dan
telah diketahui bahwasannya surga hanyalah berhak dimasuki dengan adanya
tashdiiq (pembenaran) hati dan syahaadat lisan. Dan dengan
keduanya lah dikeluarkan penduduk neraka yang kemudian masuk ke dalam surga”
[Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].
Tashdiq dengan
hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iimaan
sebagaimana perkataan para ulama di atas.
Syaikhul-Islaam
rahimahullah berkata :
كما قال أهل السنة: إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا،
حتى يترك أصل الإيمان. وهو الاعتقاد
“Sebagaimana
dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan
cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan
ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...” [3]
[Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].
فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله
تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس
بمؤمن؛
“Dan
ashlul-imaan yang berupa iqraar (penetapan) terhadap segala
sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah
dengan pembenaran dan ketundukan terhadapnya, maka inilah ashlul-iimaan
yang barangsiapa tidak mempunyainya, maka ia bukan mukmin[4]”
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638].
و[الإيمان]: اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه.
و[الكفر]: اسم جامع لكل ما يبغضه الله وينهى عنه، وإن كان لا يكفر العبد إذا
كان معه أصل الإيمان وبعض فروع الكفر من المعاصى، كما لا يكون مؤمنًا إذا كان معه
أصل الكفر وبعض فروع الإيمان ـ
“Iman
adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridlai oleh Allah.
Dan kufur adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dimurkai dan dilarang
oleh Allah. Dan seandainya seorang hamba tidak dikafirkan apabila ada padanya
ashlul-iimaan dan sebagian cabang-cabang kekafiran dari perbuatan
maksiat; maka hal itu sebagaimana tidak menjadi orang beriman apabila ada
padanya ashlul-kufr (pokok kekafiran) dan sebagian cabang-cabang
keimanan....” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 15/283].
Allah
ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita”
[QS. Al-Ahqaaf : 13].
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ،
عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا
إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ
اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ "
Telah
menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl[5] : Telah
menceritakan kepada kami Al-Waliid[6], dari
Al-Auza’iy[7], ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umairah bin Haani’[8], ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Junaadah bin Abi Umayyah[9], dari
‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersyahadat/bersaksi
bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah utusan-Nya; dan (bersyahadat/bersaksi)
bahwasannya ‘Iisaa adalah hamba dan utusan-Nya, serta kalimat-Nya yang
disampaikan kepada Maryam, dan ruh daripada-Nya; dan (bersaksi) bahwasannya
surga itu benar, neraka adalah benar; maka Allah akan memasukkannya ke dalam
surga betapa pun amal yang telah diperbuatnya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3435].
- Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.
Timbul
pertanyaan :
Apakah
amal jawaarih (anggota badan) bukan termasuk bagian dari ashlul-imaan
?.
Menurut
jumhur Ahlus-Sunnah : Tidak. Amal jawaarih termasuk bagian dari
furuu’ul-iimaan, dan ia adalah penyempurnanya
(kamaalul-iimaan).
Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ
الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ
:
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ
بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه
وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ
.
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ
كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً
“Jumhur
ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan,
baik yang wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi
tiga bagian : Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan,
yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya,
serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu. Kedua,
bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun
tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah
ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan
menjauhi yang diharamkan. Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan
menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa
menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah
tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal.
202].
Bagian
pertama yang dikatakan Al-Baihaqiy adalah ashlul-imaan – sebagaimana
menjadi bahasan - , karena sesuatu yang menyebabkan kafirnya seorang muslim
apabila ditinggalkan hanyalah ashlul-iimaan sebagaimana telah lewat
penjelasannya. Bagian kedua dan ketiga adalah furuu’ul-iimaan yang tidak
menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan.
Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah berkata :
Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah berkata :
لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو
الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً،
ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....
“Karena
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl
(pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan
amal-amal…… Dan beliau menjadikan ashlul-iimaan syahadat, dan menjadikan
seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman
disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu
Qadrish-Shalaah, 2/711-712].
Dan telah lewat perkataan Ibnu Mandah rahimahullah :
Dan telah lewat perkataan Ibnu Mandah rahimahullah :
ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو
الفرائض واجتناب المحارم
“Dan
tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu
adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan”
[Al-Iimaan, 1/331-332].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ،
والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ ، وهي كمالُ الإيمانِ
“Agama
yang tegak dengan keimanan di hati secara ilmu dan keadaannya, merupakan pokok.
Dan amal-amal dhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah
kesempurnaan iman” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].
Dikuatkan
pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang
meninggalkan amal jawaarih sebagai berikut :
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berkata – sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah - :
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berkata – sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah - :
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده
منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في
الجنة
“Iman
itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja,
maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal
ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian)
masuk ke dalam surga” [‘Umdatul-Qaari’, 1/175].
Tentang
riwayat Al-Imaam Ahmad rahimahullah, anaknya – Shaalih bin Ahmad –
berkata :
سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟.
فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة والحج وأداء
الفرائض......
Aku
pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa
bertambah dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad)
menjawab : ‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan
meninggalkan amal[10]. Contoh
meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai kewajiban....”
[Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih,
2/119].
Al-Imaam
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :
الإيمان والإسلام اسمان لمعنين : فالإسلام : عبارة عن الشهادتين
مع التصديق بالقلب. والإيمان : عبارة عن جميع الطاعات؛ خلافا لمن قال : الإسلام
والإيمان سواء إذا حصلت معه الطمأنينة
“Iman
dan Islam itu adalah dua nama untuk dua makna. Islam adalah perkataan/ungkapan
dari dua kalimat syahadat bersamaan dengan pembenaran/tashdiiq dengan
hati. Dan iman adalah perkataan/ungkapan dari seluruh ketaatan. Hal ini berbeda
dengan orang yang mengatakan bahwa Islam dan iman itu sama (maknanya) apabila
terdapat bersamanya thuma’niinah” [Al-Hujjah fii
Bayaanil-Mahajjah, 1/406].
Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata
:
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛
إذا أقر بها، وتركها تهاونا؛ فنحن وإن كان قاتلناه على فعلها، فلا نكفرها. والعلماء
اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء -
كلهم - ، وهو الشهادتان
“Rukun
Islam yang lima, awalnya adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun Islam yang
empat (shalat, zakat, puasa, dan haji – Abul-Jauzaa’). Jika ia
mengikrarkannya, kemudian ia meninggalkannya dengan meremehkannya, maka kami –
meskipun memerangi pelakunya – tidak mengkafirkannya. Dan ulama berselisih
pendapat tentang kekafiran orang yang meninggalkannya karena malas tanpa adanya
pengingkaran. Dan kami tidaklah mengkafirkan kecuali apa-apa yang telah
disepakati ulama seluruhnya, yaitu : (meninggalkan) syahadat”
[Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102].
Dr.
Nu’aim Yaasiin hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا
أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل، والحنفية وإن أخرجوا
العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه من لوازمه ومقتضياته، ولكل متفقون على عدم
التكفير بترك العمل
“Jumhur
ulama Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman,
namun mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya
lagi mengikrarkan dengan lisannya meskipun tidak beramal. Adapun ulama
Hanafiyyah, meskipun mereka mengeluarkan amal dari iman, namun mereka
menganggapnya sebagai konsekuensi dan persyaratannya. Dan mereka semuanya
bersepakat tentang peniadaan pengkafiran dengan meninggalkan amal”
[Al-Iimaan, hal. 151-153].
Dalil
yang melandasi hal ini adalah hadits syafaa’at :
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ
مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ
الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ
أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ
الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي
النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ
وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ
عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى
نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ
فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا
كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ
أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ
نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ
يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ
ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ
نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ
تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا
يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ
لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ
الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ
إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ
مِنْهَا قَوْمًالَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ
الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ
الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ
إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا
يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي
رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ
اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ
قَدَّمُوهُثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ
لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ
الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا
رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ
عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah
menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari
Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “……
Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang
jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih
memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk
saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb
kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji
bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang
kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api
neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan
neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian
mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah
engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian,
maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar,
maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak,
kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya
seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman
: ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya
kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun
mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb
kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau
perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka
siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung,
keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak.
Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya
kebaikan sama sekali”. Abu
Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan
kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan
sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari
sisi-Nya pahala yang besar’ (QS.
An-Nisaa’ : 40). Allah
lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah
memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha
Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari
dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah
melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam.
Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut
dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji
yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di
bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh
layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada
di bawah bayangan akan berwarna putih". Para
sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah
orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka
kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin
yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang
Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa
amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka
lakukan.
Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian
lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami,
sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau
berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman :
‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’.
Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’.
Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada
kalian” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 302].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أنّ اللهَ تعَالى يخرِجُ مِن النّارِ مَن لَم يعمَل خَيراً قَط
، بِمَحضِ رحمَتهِ ، وهذَا انتِفَاعٌ بِغَيرِ عمَلِهِم
“Bahwasannya
Allah ta’ala mengeluarkan dari neraka orang yang tidak pernah beramal
kebaikan sedikitpun, dengan kemurnian rahmat-Nya. Dan ini bermanfaat tanpa
adanya amal mereka” [Jaami’ur-Rasaail – Al-Majmuu’atul-Khaamishah
- , hal. 203. Lihat pula yang semisalnya dalam Majmuu’ Al-Fataawaa,
16/47].
Al-Haafidh
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
والمرادُ بقولِه «لُم يعملُوا خَيراً قَط» مِن أعمالِ الجَوارِح
، وإن كانَ أصلُ التَّوحِيد معَهُم ، ولِهذَا جاءَ في حديثِ الّذِي أمرَ أهلَه أن
يحرِقوُه بعدَ موتِه بالنّارِ إنه «لم يعَمَل خَيراً قَط غيرَ
التَّوحِيد»
“Dan
yang dimaksudkan dengan sabda beliau : ‘tidak beramal kebaikan
sedikitpun’, yaitu dari amal-amal jawaarih (anggota badan), apabila
ashlut-tauhiid (pokok tauhid) ada pada mereka. Oleh karena itu ada pada
hadits yang mengkisahkan seseorang yang memerintahkan keluarganya agar
membakarnya dengan api setelah kematiannya, bahwasannya ia tidak beramal
kebaikan sedikit pun selain tauhiid” [At-Takhwiif minan-Naar,
1/259].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata
:
قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ
قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن
الأعمَالِ
“Beliau shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda
: ‘Kemudian
setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu
kaum yang
belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya
: Kecuali tauhid yang kosong dari amal (jawaarih)” [Fathul-Majiid,
hal. 48, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Mathba’ah As-Sunnah
Al-Muhammadiyyah, Cet. 7/1377].
Al-Haafidh
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
فيخرجون أولا من كان في قلبه مثقال دينار من إيمان، ثم الذي
يليه، ثم الذي يليه، [ثم الذي يليه] حتى يخرجوا من كان في قلبه أدنى أدنى أدنى
مثقال ذرة من إيمان ثم يخرج الله من النار من قال يومًا من الدهر: "لا إله إلا
الله" وإن لم يعمل خيرًا قط، ولا يبقى في النار إلا من وجب عليه الخلود، كما وردت
بذلك الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى: { ثُمَّ
نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
}
“Lalu
akan keluar pertama kali (dari neraka) orang-orang yang dalam hatinya terdapat
keimanan seberat dinar, kemudian orang setelahnya, kemudian orang setelahnya.
Hingga keluar dari dari mereka orang yang dalam hatinya terdapat keimanan
seberat dzarrah. Kemudian Allah mengeluarkan dari neraka orang yang pernah
mengucapkan Laa ilaaha illallaah ketika masa hidupnya, meskipun belum
pernah beramal kebaikan sedikitpun. Dan tidaklah tersisa di neraka kecuali orang
yang memang diwajibkan kekal di dalamnya, sebagaimana terdapat dalam hadits
shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu
Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang
yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang lalim di dalam neraka dalam
keadaan berlutut’ (QS. Maryam : 72)” [Tafsiir Ibni Katsiir,
5/256-257].
Asy-Syaikh
Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah berkata ketika mengomentari
perkataan Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhiid :
لا، بل ظاهرها : أنهم لم يعملوا خيرا قط كما صرح به في بعض
الروايات أنهم جاءوا بإيمان مجرد لم يضموا إليه شيئا من العمل
“Tidak,
bahkan maknanya sebagaimana dhahirnya : Bahwasannya mereka tidak pernah beramal
kebaikan sedikitpun sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat bahwasannya
mereka datang dengan iman saja, tanpa menyertakan padanya amal sedikitpun”
[Tahqiq Kitaab At-Tauhiid li-Ibni Khuzaimah, hal.
309].
Dan
yang lainnya dari perkataan ulama.[11]
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، ثنا
عِيسَى بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيمَانَ فَرَائِضُ،
وَشَرَائِعُ، وَحُدُودٌ، وَسُنَنٌ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ......"
Telah
menceritakan kepada kami Abu Usaamah[12], dari
Jariir bin Haazim[13] : Telah
menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin ‘Aashim[14] : Telah
menceritakan kepadaku ‘Adiy bin ‘Adiy[15], ia
berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menulis surat kepadaku : ‘Amma
ba’du, sesungguhnya iman itu berupa perkara-perkara yang diwajibkan,
syari’at-syari’at, huduud, dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang
menyempurnakannya, maka sempurna imannya. Dan barangsiapa yang tidak
menyempurnakannya, maka tidaklah sempurna imannya......” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 135; shahih].
Sisi
pendalilan dari atsar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ini :
Kewajiban dan syari’at-syari’at Islam dimasukkan olehnya (‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz) sebagai penyempurna iman yang barangsiapa meninggalkannya, maka
imannya tidak sempurna, lagi tidak dikafirkan.[16]
Satu
catatan penting :
Mafhum
perkataan
Al-Baihaqiy di atas, bahwa ada sebagian ulama yang tidak berpendapat sebagaimana
dijelaskan. Memang benar, ini tidak terlepas dari bahasan kafir tidaknya orang
yang meninggalkan amal yang menjadi bagian dari rukun Islam yang empat.
Para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت بالشهادتين فهو كافر، وأما
الأعمال الأربعة فاختلفوا في تكفير تاركها،
“Dan
kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua
kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat, para ulama
berselisih pendapat akan pengkafiran yang meninggalkannya......” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/302].
Kemudian
beliau menyebutkan pendapat-pendapat tersebut, yang diantaranya beliau berkata
:
وخامسة: لا يكفر بترك شيء منهن، وهذه أقوال معروفة
للسلف
“Pendapat
kelima, tidak dikafirkan orang yang meninggalkan sesuatu dari keempat hal
tersebut. Inilah pendapat-pendapat yang dikenal oleh salaf”
[selesai].
Misalnya
tentang permasalahan shalat, Abu
Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449
H) berkata :
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛
فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين
، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال
: (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من
علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً
لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من
ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت
ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن
تركه جاحداً له.
“Ahlul-hadiits
berselisih pendapat tentang
keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin
Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah
mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan
hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Batas
antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa
yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.
Adapun
Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga
Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan
dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh
(sebagai hadd) seperti
halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits
di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari
kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allahsubhaanahu tentang
Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya
aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang
mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS.
Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang
samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari
kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf
wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].
- Maka, barangsiapa yang menghukumi/menganggap satu atau lebih amalan jawaarih dari rukun Islam yang empat yang bila ditinggalkan menyebabkan kekafiran (akbar), maka baginya amal tersebut bagian dari ashlul-imaan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya.
- Oleh karena itu tampak dari penjelasan di atas bahwa perselisihan apakah (sebagian) amal jawaarih masuk bagian dari ashlul-iimaan atau tidak, merupakan perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Bukan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah – sebagaimana klaim sebagian orang.[17].
Jika amal tidak masuk bagian dari ashlul-iimaan oleh jumhur ulama, lantas apa bedanya dengan Murji’ah ?.
Murji’ah
menyelisihi Ahlus-Sunnah karena mereka mengeluarkan amal dari hakekat iman. Dan
dengan sebab itu mereka dinamakan Murji’ah karena mengakhirkan amal dari
iman. Murji’ah
ada tiga kelompok, sebagaimana dijelaskan para ulama, yaitu
:
- Murji’ah Jahmiyyah, yaitu mereka yang menyatakan bahwa iman hanyalah sekedar ma’rifat dengan hati saja, dan mereka menyangka kekufuran kepada Allah adalah kejahilan (ketidaktahuan).
- Murji’ah Karraamiyyah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa iman hanyalah sekedar perkataan lisan saja, tanpa adanya pembenaran (tahsdiiq) dalam hati.
- Murji’ah Fuqahaa’, yaitu mereka yang mengatakan bahwa iman adalah pembenaran (tahsdiiq) hati dan ucapan lisan.
Ketiga
kelompok Murji’ah itu sepakat bahwasannya iman itu adalah sesuatu yang satu yang
tidak bertingkat-tingkat, dan tidak menerima adanya penambahan ataupun
pengurangan. Mereka juga menolak adanya istitsnaa’ dalam iman, karena
menurut mereka, hal itu merupakan keraguan dalam iman [At-Tabara’atu Al-Imaam
Al-Muhaddits min Qaulil-Murji’ah Al-Muhdats oleh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, hal.
6].[18].
Perkataan
mereka jauh sekali dari kebenaran, karena iman itu bertingkat-tingkat
sebagaimana dijelaskan dalam hadits cabang-cabang iman di atas. Begitu pula iman
dapat bertambah maupun berkurang, inilah madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Berikut beberapa riwayat dari salaf mengenai hal itu :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ
الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكًا، وَالأَوْزَاعِيَّ، وَابْنَ
جُرَيْجٍ، وَالثَّوْرِيَّ، وَمَعْمَرًا يَقُولُونَ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ،
يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy[19], ia
berkata : Aku mendengar Muhammad bin Sahl bin ‘Askar[20] : Telah
menceritakan kepada kami Abdurrazzaaq[21], ia
berkata : Aku mendengar Maalik[22],
Al-Auza’iy[23], Ibnu
Juraij[24],
Ats-Tsauriy[25], dan
Ma’mar[26] berkata
: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang”
[Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits
no. 7; shahih].
أَخْبَرَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، قَالَ:
قَالَ يَحْيَى: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad Ad-Duuriy[27], ia
berkata : Telah berkata Yahyaa (bin Ma’iin)[28] : “Iman
itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh
Al-Khallaal dalam As-Sunnah, no. 1010; shahih].
ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ:
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ شَبُّوَيْهِ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْتُ
عَلِيَّ بْنَ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
الْمُبَارَكِ، يَقُولُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ ".
وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: " إِنَّا لَنَحْكِي كَلامَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَلا
نَسْتَطِيعُ أَنْ نَحْكِيَ كَلامَ الْجَهْمِيَّةِ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal[29], ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Syabbuwaih Abu ‘Abdirrahmaan, ia
berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq[30] berkata
: Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Mubaarak[31] berkata
: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang”. Perawi
berkata : Dan aku mendengarnya berkata : “Sesungguhnya kami menceritakan/menukil
perkataan orang Yahudi dan Nashrani, namun kami tidak bisa menceritakan/menukil
perkataan Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man
Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 71; shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ،
قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَبِي الزَّرْقَاءِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ،
قَالَ: " خِلَافُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُرْجِئَةِ ثَلَاثٌ: نَقُولُ:
الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَهُمْ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَلَا عَمَلَ.
وَنَقُولُ: الْإِيمَانُ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا يَزِيدُ وَلَا
يَنْقُصُ. وَنَحْنُ نَقُولُ: النِّفَاقُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا نِفَاقَ
"
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abis-Sariy Al-‘Asqalaaniy[32], ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Abiz-Zarqaa’[33], dari
Sufyaan Ats-Tsauriy, ia berkata : “Khilaf yang terjadi antara kami
(Ahlus-Sunnah) dengan Murji’ah ada tiga. (1) Kami berkata : iman itu perkataan
dan perbuatan; sedangkan mereka berkata : iman itu perkataan saja, tanpa
perbuatan. (2) Kami berkata : iman dapat bertambah dan berkurang; sedangkan
mereka berkata : iman itu tidak bisa bertambah dan berkurang. (3) Kami berkata :
(Dapat terjadi) kemunafikan; sedangkan mereka berkata : tidak ada kemunafikan”
[Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Shifatun-Nifaaq wa
Dzammul-Munaafiqiin, no. 99; hasan].
Dan
yang lainnya.
Jadi
perbedaannya adalah jelas, karena mereka (Murji’ah) tidak memasukkan amal dalam
iman serta tidak mengakui bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Adapun jumhur
ulama yang tidak memasukkannya dalam ashlul-iimaan, maka mereka tetap
memasukkan amal sebagai bagian dari iman dan memasukkannya dalam maraatib
kedua, yaitu al-iimaanul-waajib. Tetap mengakui bahwa iman itu bisa
bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Orang yang telah
mengatakan hal ini, tidak bisa disebut memiliki pemahaman Murji’ah[34].
Telah
berkata Al-Imam Al-Barbahaariy rahimahullah :
ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa
yang mengatakan : ‘iman
itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun
berkurang’ ;
sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’secara
keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123,
161].
Pendek
kata, tidak dimasukkannya amal dhaahir atau amal jawaarih dalam
ashlul-iimaan tidak berkonsekuensi mengeluarkan amal dari iman.
Lebih-lebih mengkonsekuensikan berpemahaman
irja’.
Tulisan
ini saya tutup dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah
:
وقيل: بل الأعمال في الأصل ليست من الإيمان، فإن أصل الإيمان
هو ما في القلب، ولكن هي لازمة له، فمن لم يفعلها كان إيمانه منتفياً؛ لأن انتفاء
اللازم يقتضي انتفاء الملزوم لكن صارت بعرف الشارع داخلة في اسم الإيمان إذا أطلق، كما تقدم في كلام النبي صلى
الله عليه وسلم، فإذا عطفت عليه ذكرت، لئلا يظن الظان أن مجرد إيمانه بدون الأعمال
الصالحة اللازمة للإيمان يوجب الوعد، فكان ذكرها تخصيصاً وتنصيصاً ليعلم أن الثواب الموعود به في الآخرة وهو الجنة بلا عذاب لا يكون إلا لمن آمن وعمل صالحاً، لا يكون لمن ادعى الإيمان ولم يعمل، وقد بين سبحانه في غير موضع
أن الصادق في قوله: آمنت، لابد أن يقوم بالواجب، وحصر الإيمان في هؤلاء يدل على
انتفائه عمن سواهم........
ظنهم أن الإيمان الذي في القلب يكون تاماً بدون شيء من الأعمال؛
ولهذا يجعلون الأعمال ثمرة الإيمان ومقتضاه، بمنزلة السبب مع المسبب ولا يجعلونها
لازمة له. والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة،
ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر
“Dan
dikatakan juga : Bahkan,
amal-amal pada asalnya tidak termasuk iman, karena pokok iman
(ashlul-iman) adalah di dalam hati. Akan tetapi kemudian amal-amal
tersebut menjadi satu keharusan bagi iman. Barangsiapa yang tidak melakukannya
(amal), maka imannya dinafikkan (dianggap tidak ada), karena ketiadaan yang
mengharuskan merupakan ketiadaan yang diharuskan (malzuum). Bahkan
menurut redaksi Syaari’ (yaitu
Allah ta’ala),
yang masuk dalam nama iman adalah bila dimutlakkan, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam.[35] Apabila
amal-amal disandarkan kepada iman, maka maksudnya
adalah agar tidak ada yang beranggapan bahwasannya hanya dengan keberadaan
imannya saja tanpa amal shaalih yang merupakan konsekuensi dari iman, sudah
cukup untuk mendapatkan janji (surga). Penyebutan amal-amal shaalih
itu merupakan pengkhususan terhadap
nash-nash-nash yang telah ada, agar diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di
surga tanpa
adzab,
tidaklah dapat diraih kecuali mereka yang beriman dan beramal
shaalih.
Hal itu tidak akan terjadi bagi orang yang beriman tanpa mengerjakan amal.
Allah subhaanahu
wa ta’aala telah
telah menjelaskan dalam beberapa tempat, bahwa orang yang benar dalam
perkataannya :‘aku telah beriman’ ;
harus melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pembatasan iman pada diri mereka
menunjukkan penafikkan selain mereka..........
(Termasuk
kekeliruan mereka, yaitu Murji’ah adalah) prasangka mereka bahwa iman di
dalam hati akan menjadi sempurna tanpa
adanya amal sedikitpun.
Karena itu mereka menjadikan amal-amal
sebagai buah dari iman dan hasilnya, sama seperti kedudukan sebab dan akibat.
Mereka tidak menjadikan amal sebagai satu keharusan bagi iman.
Padahal, iman
yang sempurna di
dalam hati mewajibkan amal dhaahir menurut kadarnya. Sudah
pasti itu. Tidak
mungkin ada iman yang sempurna di
dalam hati tanpa adanya amal dhaahir….. [Al-Iimaan oleh
Ibnu Taimiyyah, hal. 160-161 & 162].
Semoga
tulisan ini ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Saya
banyak mengambil faedah dari kitab : Burhaanul-Bayaan bi-Tahqiiqi Annal-‘Amal
minal Iimaan oleh Abu Shuhaib Al-Minsyaawiy & Abu Haani’ Asy-Syatharaat;
Tabara-atu Al-Imaam Al-Muhaddits oleh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, dan Syarh
Alfaadhas-Salaf wa Naqdu Alfaadhil-Khalaf fii Masaailil-Iimaan oleh Ahmad
Az-Zahraaniy. Dan ditambah dari sumber yang lain.
__________[1] Perlu dibedakan antara istilah muthlaqul-iimaan (مطلق الإيمان) dan al-iimaanul-muthlaq (الإيمان المطلق). Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa al-iimaanul-muthlaq meliputi semua perbuatan yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, dan meninggalkan semua perkara yang diharamkan [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/446]. Hal yang mirip dikatakan oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah dalam Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah hal. 490.
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah berkata :
فالإيمان المطلق يدخل فيه جميع الدين ، ظاهره وباطنه ، أصوله
وفروعه ، ويدخل فيه العقائد التي يجب اعتقادها في كل ما احتوت عليه من هذا الكتاب ،
ويدخل أعمال القلوب كالحب لله ورسوله
“Adapun
al-iimaanul-muthlaq (iman mutlak), masuk padanya seluruh perkara agama,
baik yang dhaahir maupun baathin, yang ushul (pokok) maupun
yang furuu’ (cabang). Dan masuk pula padanya keyakinan-keyakinan yang
wajib diyakini dari setiap yang terkandung dari kitab ini. Dan masuk pula
amal-amal hati, seperti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya” [At-Tanbiihaat
Al-Lathiifah, hal. 90].
Faedah Penting !!
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
Faedah Penting !!
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
والفرق بين الشيء المطلق ومطلق الشيء: أن الشيء المطلق يعني
الكمال، ومطلق الشيء؛ يعني : أصل الشيء
فالمؤمن الفاعل للكبيرة عنده مطلق الإيمان؛ فأصل الإيمان موجود
عنده، لكن كماله مفقود
“Dan
perbedaan antara sesuatu yang mutlak (asy-syai’ul-muthlaq) dengan
kemutlakan sesuatu (muthlaqusy-syai’) : Bahwasannya sesuatu yang mutlak
yaitu kesempurnaan (sesuatu). Dan kemutlakan sesuatu yaitu pokok dari sesuatu
(ashlusy-syai’). Maka, seorang mukmin yang melakukan dosa besar, padanya
terdapat muthlaqul-iimaan. Pokok iman (ashlul-iimaan) ada
padanya, akan tetapi kesempurnaannya menjadi hilang (tidak ada)” [Syarh
Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah, 2/237-238].
[2]
Dalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah (1/332-333) disebutkan
:
هو وصف المسلم الذي معه أصل الإيمان والذي لا يتم إسلامه إلا
به، بل لا يصح إلا به، فهذا أدنى مراتب الدين
“(Muthlaqul-iimaan)
adalah pensifatan seorang muslim yang bersamanya ada pokok iman
(ashlul-iimaan), dimana tidak sempurna keislamannya kecuali dengannya,
bahkan tidak shahih/benar kecuali dengannya. Ini adalah tingkatan agama yang
paling rendah” [selesai].
[3]
Sebagian muhaqqiq menisbatkan perkataan ini kepada muridnya, yaitu
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah. Wallaahu
a’lam.
[4]
Yaitu : kafir.
[5]
Shadaqah bin Al-Fadhl, Abul-Fadhl Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 223 H/226 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 452 no.
2934].
[6]
Al-Waliid
bin Muslim Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang
yang tsiqah,
namun banyak melakukan tadlis
taswiyyah.
Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun
119 H, dan wafat tahun 194 H/195 H. Dipakai
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 1041 no.
7506].
[7]
‘Abdurrahmaan
bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang
yang tsiqah, jaliil,
lagi faqiih.
Termasuk thabaqah ke-7,
wafat tahun 157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 593 no. 3992].
[8]
‘Umair bin Haani’ Al-‘Ansiy, Abul-Waliid Ad-Dimasyqiy Ad-Daaraaniy; seorang
yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 127 H atau
sebelum itu. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 754 no. 5224].
[9]
Junaadah
bin Abi Umayyah Kabiir Al-Azdiy Az-Zahraaniy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-1, diperselisihkan ulama tentang status
kebershahabatannya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 203 no. 980].
[10]
Perhatikan point penting ini !. Telah disebutkan sebelumnya bahwa
ashlul-iimaan tidak lah menerima pengurangan. Dan di sini, Al-Imaam Ahmad
rahimahullah menjelaskan bahwa berkurangnya iman adalah dengan
meninggalkan amal. Dan beliau mencontohkan amal-amal tersebut adalah shalat,
haji, dan berbagai kewajiban yang lainnya.
[11]
Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa orang yang dikeluarkan dari neraka
tanpa beramal kebaikan sedikit pun kecuali tauhid, adalah orang-orang di akhir
jaman yang diberikan ‘udzur karena ketidaktahuan mereka akan syari’at
shalat, zakat, puasa, dan yang lainnya.
Perkataan-perkataan
di atas adalah perkataan musykil dipahami. Bagaimana bisa seseorang yang
tidak tahu akan syari’at, bersamaan ketauhidan melekat dalam hatinya, menduduki
tingkat terjelek dengan dikeluarkan paling akhir dari neraka ?. Bukankah hukum
asal orang yang diberi ‘udzur semacam itu adalah dimaafkan ?.
[12]
Hammaad
bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah lagi tsabat,
kadang melakukan tadlis.
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201 H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no.
1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang
dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[13]
Jariir
bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy, Abun-Nadlr Al-Bashriy;
seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 170 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam
Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 919 dan Tahriir At-Taqriib 1/212 no.
911].
[14]
‘Iisaa
bin ‘Aashim Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 768
no. 5337].
[15]
‘Adiy bin ‘Adiy bin ‘Amiirah Al-Kindiy, Abul-Farwah Al-Jazriy; seorang yang
tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 120 H. Dipakai
oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 672 no. 4575].
[16]
Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata
:
و الفرق بين هذا و بين قول السلف الصالح أنَّ السلف لم يجعلوا
كل الأعمال شرطاً في الصحة، بل جعلوا كثيراً منها شرطاً في الكمال، كما قال عمر بن
عبد العزيز فيها: من استمكلها استكمل الإيمان، و من لم يستمكلها لم يستكمل الإيمان.
و المعتزلة جعلوها كلها شرطاً في الصحة و الله أعلم
“Dan
perbedaan antara perkatan ini dengan perkataan as-salafush-shaalih
bahwasannya salaf tidak menjadikan semua amal sebagai syarat keshahihan (iman).
Bahkan mereka menjadikan kebanyakan amal sebagai syarat kesempurnaan (iman),
sebagaimana dikatakan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz padanya : ‘Barangsiapa yang
menyempurnakannya, maka imannya sempurna. Dan barangsiapa yang tidak
menyempurnakannya, maka imannya tidak sempurna’. Adapun Mu’tazilah telah
menjadikan seluruh amal sebagai syarat keshahihan iman. Wallaahu a’lam”
[Ma’aarijul-Qabuul, hal. 446].
[17]
Dan banyak orang yang membahas tingkatan-tingkatan iman – termasuk bahasan
ashlul-iimaan – yang menghukumi orang yang tidak memasukkan amal
jawaarih dalam ashlul-iimaan sebagai Murji’ !!. Rekan-rekan
dapat membacanya di berbagai artikel di internet berbahasa Indonesia sebagaimana
yang saya maksudkan.
[18]
Namun ada juga sebagian ulama yang menjelaskan bahwa perbedaan jumhur
Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah Fuqahaa dari Abu Haniifah dan ulama madzhabnya
adalah perbedaan secara lafdhiy, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah
[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/181, 218, 297], Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy
[Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah], Anwar Al-Kasymiiriy
[Faidlul-Baariy Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 1/53-54], Al-Albaaniy
[Muqaddimah Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 58], dan yang
lainnya.
Ada
juga ulama lain yang memerincinya, bahwa khilaf antara Ahlus-Sunnah dan
Murji’ah Fuqahaa’ itu ada yang lafdhiy dan haqiqiy, seperti
Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Masyhuur Hasan Salmaan, dan yang
lainnya.
[19]
Muhammad
bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia adalah Abul-‘Abbaas As-Sarraaj; seorang yang
haafidh, tsiqah,
lagi mutqin.
Lahir tahun 218 H, dan wafat pada usia 95/96/97 tahun [lihat
: Zawaaid
Rijaal Shahiih Ibni Hibbaan oleh
Yahyaa bin ‘Abdillah Asy-Syahriy, hal. 1117-1124 no. 520, desertasi Univ.
Ummul-Qurra’].
[20]
Muhammad bin Sahl bin ‘Askar At-Tamiimiy, Abu Bakr Al-Bukhaariy; seorang yang
tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 251 H. Dipakai
oleh Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 851
no. 5974].
[21]
‘Abdurrazzaaq bin
Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy;
seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami
kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya. Termasuk thabaqah
ke-9, lahir tahun 126, dan wafat tahun 211 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy
[Taqriibut-Tahdziib,
hal. 607 no. 4092].
[22]
Maalik bin Anas bin Maalik bin Abi ‘Aamir bin ‘Amru Al-Ashbahiy Al-Humairiy, Abu
‘Abdillah Al-Madaniy Al-Faqiih; imam Daarul-Hijrah, tsiqah, yang
tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93 H,
dan wafat tahun 179 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 913 no. 6465].
[23]
Telah lewat penyebutan keterangan tentangnya.
[24]
‘Abdul-Malik
bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid
Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih,
lagi faadlil, akan
tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal.
Termasuk thabaqah ke-6,
wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 624 no. 4221].
[25]
Sufyaan
bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 161 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no.
2458].
[26]
Ma’mar
bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat,
lagi faadlil.
Termasuk thabaqah ke-7,
wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 961 no. 6857].
[27]
‘Abbaas
bin Muhammad bin Haatim bin Waaqid Ad-Duuriy, Abul-Fadl Al-Baghdaadiy; seorang
yang tsiqah
lagi haafidh.
Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 185 H,
dan wafat tahun 271 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.
488 no. 3206].
[28]
Yahyaa bin Ma’iin bin ‘Aun/Ghiyaats bin Ziyaad Al-Murriy Al-Ghathafaaniy, Abu
Zakariyyaa Al-Baghdaadiy; seorang yang haafidh, tsiqah,
masyhuur, dan imam dalam bidang al-jarh wat-ta’diil. Termasuk
thabaqah ke-10, lahir tahun 158 H, dan wafat
tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1067 no.
7701].
[29]
‘Abdullah
bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu
‘Abdirrahmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-12,
dan wafat tahun 290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 490 no. 3222].
[30]
‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdirrahmaan
Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10,
dan wafat tahun 215 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 692 no. 4740].
[31]
‘Abdullah
bin Al-Mubaarak bin
Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih,
lagi ‘aalim. Termasuk
thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no.
3595].
[32]
Muhammad bin Al-Mutawakkil bin ‘Abdirrahmaan bin Hassaan Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-‘Asqalaaniy – terkenal dengan nama Ibnu
Abis-Sariy; seorang yang shaduuq, ‘aarif, namun banyak mempunyai
keraguan. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 238 H. Dipakai oleh
Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 892 no.
6303].
[33]
Zaid bin Abiz-Zarqaa’ Yaziid At-Tsa’labiy Al-Maushiliy, Abu Muhammad; seorang
yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 194 H.
Dipakai oleh Abu Daawud dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 353 no.
2150].
[34]
Sebagaimana tuduhan orang-orang belakangan yang mengklaim paling paham tentang
Murji’ah, namun kenyataannya tidak memahaminya.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي
ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ
لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قِيلَ وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibnu Abi Dzi’b, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak – demi Allah –
tidak beriman, tidak – demi Allah – tidak beriman, tidak – demi Allah – tidak
beriman”. Para shahabat bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau
bersabda : “Orang yang tetangganya tidak merasa aman terhadap
gangguannya”. Dikatakan : “Apa maksud gangguannya itu ?”. Beliau menjawab :
“Kejelekannya” [Diriwayatkan
oleh Ahmad].
Di
sini beliau
memutlakkan nama iman kepada perbuatan tidak mengganggu kepada tetangga.
0 komentar:
Posting Komentar