Ini
merupakan sedikit kelanjutan artikel saya yang berjudul : Tanduk
Setan.
Hanya sedikit tambahan saja, karena sebenarnya dalam artikel tersebut telah dijelaskan kedudukan permasalahannya. Ada beberapa point yang perlu tambahkan, karena ada orang yang mendla’ifkan riwayat yang telah saya bahas. Adapun validitas kritikan orang tersebut, mari kita lihat bersama :
Hanya sedikit tambahan saja, karena sebenarnya dalam artikel tersebut telah dijelaskan kedudukan permasalahannya. Ada beberapa point yang perlu tambahkan, karena ada orang yang mendla’ifkan riwayat yang telah saya bahas. Adapun validitas kritikan orang tersebut, mari kita lihat bersama :
1. Riwayat
Ath-Thabaraaniy
dalam Mu’jamul-Kabiir.
حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله
بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال
: اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في
الثالثة أو الرابعة، قالوا: يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال: إنّ بها الزلازل
والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan
kepada kami Ismaa’iil bin Mas’uud : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah
bin ‘Abdillah bin ‘Aun, dari ayahnya, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah, berikanlah
barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yamaan kami”. Beliau mengatakannya
beberapa kali. Saat beliau mengatakan yang ketiga kali atau keempat, para
shahabat berkata : “Wahai Rasulullah, dari juga ‘Iraaq kami ?”. Beliau
bersabda : “Sesungguhnya di sana terdapat bencana dan fitnah. Dan di sana lah
muncul tanduk setan” [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/384 no. 13422; sanadnya
jayyid].
Tapi
ada yang mengatakan bahwa ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun ini telah
menyelisihi Husain bin Hasan dan ‘Azhar bin Sa’d yang membawakan dengan lafadh
Najd, bukan ‘Iraq. Sehingga, katanya, haditsnya ini tidak
shahih.
Saya
katakan :
Nampaknya orang ini sedang berandai-andai dengan pemikirannya. Yang dikatakan ta’arudl (dalam matan) dalam ilmu hadits adalah jika bertentangan dalam makna dan tidak bisa untuk dijamak. Pengandai-andaiannya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq adalah bertentangan (ta’arudl) adlah sesuai dengan definisi dan keinginannya. Bukan sesuai dengan ilmu ushul hadits dan ushul-fiqh yang ma’ruf. Telah saya tulis sebelumnya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq tidak bertentangan dan bisa dijamak. Sesuai dengan lisan dan pemahaman orang ‘Arab. Telah saya sebutkan perkataan Al-Khaththaabiy dan Al-Kirmaaniy bagaimana makna kata ‘Najd’ bagi orang ‘Arab (bukan menurut orang tersebut). Silakan merujuk kembali. Dalam kamus bahasa ‘Arab pun Ibnul-Mndhuur menyebutkan :
Nampaknya orang ini sedang berandai-andai dengan pemikirannya. Yang dikatakan ta’arudl (dalam matan) dalam ilmu hadits adalah jika bertentangan dalam makna dan tidak bisa untuk dijamak. Pengandai-andaiannya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq adalah bertentangan (ta’arudl) adlah sesuai dengan definisi dan keinginannya. Bukan sesuai dengan ilmu ushul hadits dan ushul-fiqh yang ma’ruf. Telah saya tulis sebelumnya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq tidak bertentangan dan bisa dijamak. Sesuai dengan lisan dan pemahaman orang ‘Arab. Telah saya sebutkan perkataan Al-Khaththaabiy dan Al-Kirmaaniy bagaimana makna kata ‘Najd’ bagi orang ‘Arab (bukan menurut orang tersebut). Silakan merujuk kembali. Dalam kamus bahasa ‘Arab pun Ibnul-Mndhuur menyebutkan :
وما ارتفع عن تِهامة إِلى أَرض العراق، فهو نجد
“Semua
tanah yang tinggi dari Tihaamah sampai tanah ‘Iraaq, maka itu Najd”
[lihat dalam Lisaanul-‘Arab].
Adapun
‘Ubaidullah sendiri, maka Al-Bukhaariy berkata : “Ma’ruuful-hadiits”
[At-Taariikh Al-Kabiir, 5/388 no. 1247]. Abu Haatim berkata :
“Shaalihul-hadiits” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/322 no.
1531].
Oleh
karena itu, hadits ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun masih selaras dengan
perawi lainya. Asy-Syaikh Masyhuur rahimahullah menghukumi sanad ini
jayyid (sebagaimana saya sebutkan pada artikel
terdahulu).
2. Riwayat
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath.
حدثنا علي بن سعيد، قال : نا حماد بن إسماعيل بن علية، قال : نا
أبي، قال : نا زياد بن بيان، قال : نا سالم بن عبد الله بن عمر [عن أبيه] قال : صلى
النبي صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، ثم انتفل، فأقبل على القوم، فقال : اللهم
بارك لنا في مدينتنا، وبارك لنا في مدِّنا وصاعنا، اللهم بارك لنا في شامنا،
ويمننا. فقال جل : والعراقُ يا رسول الله، فسكت، ثم قال : اللهم بارك لنا في
مدينتنا، وبارك لنا في مدِّنا وصاعنا، اللهم بارك لنا في حرمنا، وبارك لنا في
شامنا، ويمننا. فقال رجل : والعراق يا رسول الله، قال : من ثَمَّ يطلع قرن الشيطان،
وتهيج الفتن.
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami ayahku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ziyaad bin
Bayaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin
‘Umar, dari ayahnya, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada para
orang-orang. Beliau bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada
Madinah kami, berikanlah barakah kepada kami pada (takaran) mudd dan shaa’ kami.
Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”.
Seorang laki-laki berkata : “Dan ‘Iraaq, wahai Rasulullah ?”. Beliau
diam, lalu bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah
kami, berikanlah barakah kepada kami pada (takaran) mudd dan shaa’ kami. Ya
Allah, berikanlah barakah kepada kami pada tanah Haram kami, dan berikanlah
barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki
berkata : “Dan ‘Iraaq, wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda :
“(Tidak), dari sana akan muncul tanduk setan dan berkobar dan fitnah”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath, 4/245-246 no. 4098;
shahih].
Katanya,
hadits ini tidak shahih karena faktor Ziyaad bin Bayaan. Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi “tidak shahih
hadisnya”. Bukhari berkata “dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali” [Al
Mizan juz 2 no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Mughni Ad
Dhu’afa no 2222 Al Uqaili juga memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa Al Kabir
2/75-76 no 522.
Saya
katakan :
Ia hanya menyebutkan jarh-nya saja. Padahal kedudukan yang benar atas diri Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 343 no. 2068]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Ia seorang syaikh yang shaalih”. Tautsiq Ibnu Hibbaan jika dijelaskan seperti ini adalah diterima, sebagaimana penjelasan Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil. Ibnu ‘Adiy memasukkan dalam Al-Kaamil karena mengambl pertimbangan perkataan Al-Bukhaariy. Dan sebab pendla’ifan Al-Bukhaariy pun dijelaskan, yaitu dengan sebab hadits Al-Mahdiy. Al-Bukhaariy berkata : “Fii isnadihi nadhar”. Jarh ini kurang shariih. Ibnu ‘Adiy pun menyebutkan pentautsiqan Abul-Maliih (Al-Hasan bin ‘Umar – seorang yang tsiqah) pada Ziyaad bin Bayaan saat menyebutkan sanad hadits Al-Mahdiy; Abul-Maliih berkata : “Telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah”. Ibnu ‘Adiy menjelaskan : “Telah menceritakan kepada kami sorang yang tsiqah, maksudnya adalah Ziyaad bin Bayaan”. Kemudian Ibnu ‘Adiy menyebutkan sanad yang lain yang menjelaskan hal tersebut [Al-Kaamil, 4/144-145 no. 697]. Hal yang sama pada Al-‘Uqailiy, dimana ia memasukkan dalam Adl-Dlu’afaa dengan pijakan perkataan Al-Bukhaariy di atas [2/430-431 no. 523]. Adz-Dzahabiy pun demikian, yaitu menyandarkan ketidakshahihan haditsnya pada hadits Al-Mahdiy. Akan tetapi ia memberikan penghukuman akhir terhadap Ziyaad : “Shaduuq” [Al-Kaasyif, 2/408 no. 1671].
Ia hanya menyebutkan jarh-nya saja. Padahal kedudukan yang benar atas diri Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 343 no. 2068]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Ia seorang syaikh yang shaalih”. Tautsiq Ibnu Hibbaan jika dijelaskan seperti ini adalah diterima, sebagaimana penjelasan Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil. Ibnu ‘Adiy memasukkan dalam Al-Kaamil karena mengambl pertimbangan perkataan Al-Bukhaariy. Dan sebab pendla’ifan Al-Bukhaariy pun dijelaskan, yaitu dengan sebab hadits Al-Mahdiy. Al-Bukhaariy berkata : “Fii isnadihi nadhar”. Jarh ini kurang shariih. Ibnu ‘Adiy pun menyebutkan pentautsiqan Abul-Maliih (Al-Hasan bin ‘Umar – seorang yang tsiqah) pada Ziyaad bin Bayaan saat menyebutkan sanad hadits Al-Mahdiy; Abul-Maliih berkata : “Telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah”. Ibnu ‘Adiy menjelaskan : “Telah menceritakan kepada kami sorang yang tsiqah, maksudnya adalah Ziyaad bin Bayaan”. Kemudian Ibnu ‘Adiy menyebutkan sanad yang lain yang menjelaskan hal tersebut [Al-Kaamil, 4/144-145 no. 697]. Hal yang sama pada Al-‘Uqailiy, dimana ia memasukkan dalam Adl-Dlu’afaa dengan pijakan perkataan Al-Bukhaariy di atas [2/430-431 no. 523]. Adz-Dzahabiy pun demikian, yaitu menyandarkan ketidakshahihan haditsnya pada hadits Al-Mahdiy. Akan tetapi ia memberikan penghukuman akhir terhadap Ziyaad : “Shaduuq” [Al-Kaasyif, 2/408 no. 1671].
Oleh
karenanya, pentautsiqan An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Abul-Maliih lebih kuat
dari perkataan yang mendla’ifkannya. Kaidah mengatakan : Ta’diil lebih
didahulukan daripada jarh yang mubham.
Final
result-nya
adalah sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq”.
Walhasil,
hadits ini hasan atau shahih.
3. Riwayat
Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah.
حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي : حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن
شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
اللهم بارك لنا في مدينتنا، وفي صاعنا، وفي مدِّنا وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل
: يا رسول الله وفي عراقنا ؟. فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : بها الزلازل
والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان.
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ramliy : Telah
menceritakan kepada kami Dlamrah bin Rabii’ah, dari Ibnu Syaudzab, dari Taubah
Al-‘Anbariy, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Allah, berikanlah
barakah kepada kami pada Madinah kami, pada (takaran) shaa’ kami, pada (takaran)
mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata
: “Wahai Rasulullah, dan juga pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab :
“Di sana terdapat bencana dan fitnah. Dan di sana pula akan muncul tanduk
setan” [Diriwayatkan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 2/746-747;
sanad hadits ini hasan].
Katanya,
hadits ini mengandung ‘illat, yaitu Ibnu Syaudzab tidak mendengar dari
Taubah. Katanya juga, ia melakukan tadlis dengan menghilangkan nama
gurunya.
Apa
dasar penghukuman Ibnu Syaudzab tidak mendengar dari Taubah ? Katanya, hadis dengan matan seperti di atas diriwayatkan juga dari
Walid bin Mazyad Al Udzriy Al Bayruuti dari Abdullah bin Syaudzaab dari Abdullah
bin Qasim, Mathr, Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbary dari Salim dari ayahnya
secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Al Fasawi dalam Ma’rifat Wal
Tarikh 2/747, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin 2/246 no 1276, Ibnu Asakir
dalam Tarikh Dimasyq 1/130-131 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya
6/133.
حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد بن مزيد البيروتي حدثني أبي
أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله بن القاسم ومطر الوراق وكثير أبو
سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم قال اللهم بارك في مكتنا وبارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في شامنا وبارك
لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا وبارك لنا في مدنا فقال رجل يا رسول الله
وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها
الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin ‘Abbas bin Walid bin Mazyad Al Bayruutiy
yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan
kepadaku Abdullah bin Syawdzab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah
bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbariy dari Salim
bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada Mekkah kami, dan
berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd
kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata
“Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana
terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan”
[Musnad Asy Syamiyyin Thabrani 2/246 no 1276].
Saya
katakan :
Perkataan
ini secara eksplisit hendak menyimpulkan bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas adah
munqathi’.
Pertama,
menyandarkan keterputusan Ibnu Syaudzab dengan Taubah hanya karena Ibnu Syaudzab
juga meriwayatkan melalui perantaraan ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan
Katsiir bin Sahl; dari Taubah, bukan sebab yang kuat. Alasannya, telah ma’ruf
bahwa salah satu guru/syaikh dari Ibnu Syaudzab adalah Taubah Al-‘Anbariy
[lihat : Tahdziibul-Kamaal, 15/94]. Jadi bukan satu hal yang mustahil ia
meriwayatkan dari Taubah, dan bersamaan dengan itu ia juga meriwayatkan melalui
perantaraan orang lain. Semuanya dihukumi bersambung. Misalnya, Hafsh bin
Ghiyaats meriwayatkan hadits puasa Syawal melalui jalan Sa’d bin Sa’iid bin Qais
[Diriwayatkan
oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar 6/123
no. 2345 dan Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912].
Namun, di lain kesempatan ia juga meiwayatkan melalui perantaraan Yahyaa bin
Sa’iid bin Qais. Keduanya adalah riwayat bersambung. Hafsh bin Ghiyaats sendiri
berkata : “Kemudian
aku bertemu dengan Sa’d bin Sa’iid, lalu ia menceritakan kepadaku (hadits ini)”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912].
Masih
banyak contoh lain semisal dengan ini.
Pendek
kata, menyimpulkan riwayat ini terputus hanya semata-mata karena Ibnu
Syaudzab juga meriwayatkan dari Taubah melalui perantaraan orang lain bukan
alasan yang kuat.
Kedua,
taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasawiy di atas munqathi’; maka
sejak kapan meriwayatkan hadits secara munqathi’ seperti ini langsung
di-ta’yin melakukan tadlis ? Jelas beda antara irsal dan
tadlis. Pensifatan tadlis itu hanya diterima jika ada perkataan
para ulama yang menjelaskan bahwa ia orang yang melakukan tadlis. Kalau
hanya sekedar meriwayatkan secara maushul di satu jalan dan
mursal/munqathi’ di jalan yang lain, itu bukan tadlis namanya.
Saya pingin tahu rujukannya di kitab ilmu hadits yang menjelaskan kaedah aneh
ini. Jika ini diterapkan, maka jumlah perawi mudallis yang ditulis Ibnu
Hajar dalam Ath-Thabaqaat akan bertambah tebal dua kali lipat atau
lebih.
Ketiga,
taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas munqathi’, justru
riwayat Ibnu Syaudzaab yang secara shaarih berkata : “Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl,
dari Taubah Al-‘Anbariy” menunjukkan penyambungan riwayat
munqathi’ tadi.
Keempat,
‘Abdullah bin Al-Qaasim adalah seorang yang shaduuq. Mathr Al-Warraaq ini
adalah shaduuq, namun banyak salahnya. Katsiir (bin Ziyaad) Abu Sahl ini
adalah seorang yang tsiqah. Ketiganya meriwayatkan dari Taubah, dari
Saalim, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’. Riwayat ketiganya saling menjadi
saksi dengan yang lain, sehingga tidak ragu untuk mengatakan bahwa riwayat ini
shahih.
Oleh
karena itu, perkataan : Illat atau cacat yang ada pada
riwayat Ibnu Syawdzab adalah tidak diketahui dari syaikhnya yang
mana lafaz Iraq tersebut berasal; tidak perlu
dihiraukan.
Anehnya,
ada metode pilih-pilih perawi saat orang itu berkata : Terdapat kemungkinan kalau riwayat Ibnu Syawdzab dengan lafaz
Iraq ini berasal dari Mathar
bin Thahman Al Warraq dan disebutkan Ibnu Hajar kalau ia seorang
yang shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan [At Taqrib 2/187].
Mengapa harus Mathar bin Thahmaan ?
Ya, karena ia adalah perawi yang paling mungkin untuk dijadikan alasan pendla’ifan. Padahal, sanad hadits itu satu, dimana Mathar ini diikuti (punya mutaba’ah) dari ‘Abdullah bin Al-Qaasim dan Katsiir bin Ziyaad Abu Sahl.
Mengapa harus Mathar bin Thahmaan ?
Ya, karena ia adalah perawi yang paling mungkin untuk dijadikan alasan pendla’ifan. Padahal, sanad hadits itu satu, dimana Mathar ini diikuti (punya mutaba’ah) dari ‘Abdullah bin Al-Qaasim dan Katsiir bin Ziyaad Abu Sahl.
Adapun
pencacatan terhadap Taubah Al-‘Anbariy dengan mengambil perkataan Al-Azdiy, maka
ini tidak merusak kredibilitas Taubah. Al-Azdiy dikenal sebagai seorang yang
sangat keras dalam masalah jarh. Adapun jama’ah ulama telah mentsiqahkan
Taubah.
4. Riwayat
Muslim dalam Shahih-nya.
حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر
الوكيعي (واللفظ لابن أبان). قالوا: حدثنا ابن فضيل عن أبيه. قال: سمعت سالم بن
عبدالله بن عمر يقول: يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت
أبي، عبدالله بن عمر يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن الفتنة تجئ
من ههنا" وأومأ بيده نحو المشرق "من حيث يطلع قرنا الشيطان" وأنتم يضرب بعضكم رقاب
بعض. وإنما قتل موسى الذي قتل، من آل فرعون، خطأ فقال الله عز وجل له: {وقتلت نفسا
فنجيناك من الغم وفتناك فتونا} [20/طه/40].
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin
‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu
Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari
ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata :
“Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku
tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku,
Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini -
ia menunjukkan tangannya ke arah timur - dari arah munculya dua tanduk
setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Muusaa hanya membunuh
orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir'aun itu karena tidak sengaja.
Lalu Allah 'azza wa jalla berfirman padanya : 'Dan kamu pernah
membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami
telah mencobamu dengan beberapa cobaan." (Thaahaa: 40)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2905 (50)].
Katanya,
jika dilihat baik-baik tidak ada penunjukkan bahwa
timur yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Iraq. Disini
Salim bin Abdullah bin Umar mengingatkan penduduk Iraq bahwa terdapat hadis Nabi
akan ada fitnah yang datang dari arah timur. Oleh karena itu Salim memberi
peringatan kepada penduduk Iraq agar mereka tidak menjadi fitnah yang dimaksud
dalam hadis tersebut. Telah lazim kalau mengingatkan seseorang bukan berarti
menuduh orang tersebut. Lagipula perkataan seorang tabiin tidaklah menjadi
hujjah jika telah jelas dalil shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam. Bisa jadi Salim tidak mengetahui hadis shahih dari Ibnu Umar kalau
tempat yang dimaksud adalah Najd sebagaimana yang telah diriwayatkan dari
Nafi’.
Saya
katakan :
Silakan para Pembaca budiman membandingkan perkataannya dengan perkataan Saalim. Justru Saalim sedang mengamalkan apa yang ia pahami tentang hadits fitnah, kemunculan tanduk setan. Ia berbicara tentang hadits itu kepada penduduk ‘Iraaq, bukan selainnya. Adapun perkataannya bahwa perkataan tabi’in tidak menjadi hujjah, maka ini bukan konteksnya. Konteks yang berlaku di sini adalah perkataan Saalim diterima dalam penafsiran hadits. Asal perkataan perawi terhadap hadits yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Ini yang ma’ruf. Lagi pula, apa yang dikatakan Saalim sesuai dengan hadits-hadits shahih yang telah disebut di atas, dan juga hadits di bawah (saya tulis yang belum tertulis di artikel lalu) :
Silakan para Pembaca budiman membandingkan perkataannya dengan perkataan Saalim. Justru Saalim sedang mengamalkan apa yang ia pahami tentang hadits fitnah, kemunculan tanduk setan. Ia berbicara tentang hadits itu kepada penduduk ‘Iraaq, bukan selainnya. Adapun perkataannya bahwa perkataan tabi’in tidak menjadi hujjah, maka ini bukan konteksnya. Konteks yang berlaku di sini adalah perkataan Saalim diterima dalam penafsiran hadits. Asal perkataan perawi terhadap hadits yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Ini yang ma’ruf. Lagi pula, apa yang dikatakan Saalim sesuai dengan hadits-hadits shahih yang telah disebut di atas, dan juga hadits di bawah (saya tulis yang belum tertulis di artikel lalu) :
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا ابن نمير حدثنا حنظلة عن سالم
بن عبد الله بن عمر عن ابن عمر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يشير بيده
يؤم العراق ها إن الفتنة ههنا إن الفتنة ههنا ثلاث مرات من حيث يطلع قرن
الشيطان.
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku (Ahmad
bin Hanbal) : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan
kepada kami Handhalah, dari Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari Ibnu ‘Umar, ia
berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berisyarat dengan tangannya menunjuk ke arah ‘Iraaq. (Beliau bersabda) :
“Di sinilah, fitnah akan muncul, fitnah akan muncul dari sini”. Beliau
mengatakannya tiga kali. “Yaitu, tempat munculnya tanduk setan"
[Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/143].
Shahih
sesuai syarat Al-Bukhaariy dan Muslim.
Ibnu
Numair, ia adalah ‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy Abu Hisyaam Al-Kuufiy;
seorang yang tsiqah shaahibul-hadiits dari kalangan Ahlus-Sunnah (w. 199
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no. 3692].
Handhalah,
ia adalah Ibnu Abi Sufyaan bin ‘Abdirrahmaan bin Shafwaan bin Umayyah
Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah lagi hujjah
(w. 151 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 279 no. 1591].
Dan
saya pikir, dalam penshahihan ini tidak ada hubungannya dengan keberatan jika
yang dimaksud daerah kemunculan tanduk setan itu adalah Najd. Sebab para ulama
terdahulu, ratusan tahun sebelum Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab
dilahirkan, telah menjelaskan makna Najd dalam hadits fitan adalah
‘Iraaq.
Adapun
yang lain, silakan merujuk artikel Tanduk Setan.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’,
nJakal, Ngaglik, nJokja].
NB
: Dalam artikel lalu dan ini, saya sengaja tidak membawakan seluruh riwayat dan
hadits yang berbicara tentang tanduk setan, khususnya yang menyebutkan ‘Iraaq
untuk menghemat waktu dan energi. kelanjutan artikel ini, silakan baca : Fitnah Masyriq - Kemunculan Tanduk
Setan.
0 komentar:
Posting Komentar