Hujan, antara Nikmat dan Adzab

Oleh: Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali hafizhahullah.


Taqdim
Allah azza wa jalla menjalankan angin atau mendatangkan mendung sebagai tanda akan turunnya hujan. Namun suatu ketika Allah azza wa jalla menakdirkan angin dan mendung itu sebagai ujian dan hukuman bagi manusia.
Untuk itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita bagaimana menyambut datangnya nikmat Allah berupa hujan. Bagaimana ibadah-ibadah di musim tersebut, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui pembahasan ini diharapkan kita tidak salah dalam menyambutnya serta mendapat pahala dari setiap amalan yang kita lakukan.

“Dari Aisyah berkata apabila Rasulullah melihat mendung atau angin (kencang) terlihat (perubahan) di wajahnya, lalu beliau bertanya, “Wahai Rasulullah aku lihat manusia bergembira ketika melihat mendung karena berharap akan turun hujan, tetapi aku lihat engkau ketika melihatnya (mendung) aku mengetahui dari wajahmu engkau tidak menyukainya.” Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Aisyah, tidak ada yang memberi keamanan aku akan datangnya adzab (kecuali Allah) yang telah mengadzab suatu kaum dengan angin (kencang), padahal kaum tersebut melihat adzab itu lali mereka mengatakan, “Ini hanya mendung yang akan menurunkan hujan kepada kami (padahal itu adalah adzab Allah).”

Air Hujan Thohur (Suci dan Menyucikan)

Firman Allah azza wa jalla (yang artinya):
Dan Kami turunkan dari langit air yang suci dan menyucikan.
[QS.al-Furqon (25): 48]
Jika seseorang ragu terhadap sesuatu yang terkena air hujan maka hukum asalnya adalah suci, adapun sekedar keraguan yang muncul di benak seseorang, maka tidak dapat menghilangkan kepastian sucinya yang telah diyakini keberadaannya.

Demikian juga pakaian atau sesuatu yang lain jika terkena lumpur dari air hujan, pakaian tersebut tetap suci tidak wajib dicuci. Dibolehkan sholat dengan bekas lumpur yang ada dipakaian.
  • Para tabi’in mengatakan: “Mereka (para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) terkena air dan lumpur sebab hujan, mereka masuk masjid dan melaksanakan sholat (tanpa berwudhu dan mencuci bekas lumpur air hujan).” [Mushonnaf Abdur Razzaq: 93 dan 96].

Menyempurnakan Wudlu Menghapus Dosa
  • Menyempurnakan wudlu ketika dingin atau musim penghujan termasuk penghapus dosa. Sebagaimana dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Adapun penghapus-penghapus dosa adalah menyempurnakan wudlu saat ‘sabarot’ (sangat dingin)[1] Menunggu shalat setelah shalat, dan melangkahkan kaki menuju (shalat) jama’ah.” [2].
Boleh Mengusap Kaus Kaki Sebagai Pengganti Mencuci Kaki [3]
Musim hujan atau musim dingin terkadang membuat manusia enggan melepas kaus kakinya, maka dalam hal ini dibolehkan bagi yang hendak sholat dengan menggunakan kaus kaki untuk mengusap bagian atasnya saja sebagai ganti mencuci kaki, dan tidak perlu bersusah payah melepaskannya untuk mencuci kakinya, tetapi hal ini disyaratkan ketika memakainya, dia dalam keadaan suci.
  • sebagaimana dalam sebuah hadits (yang artinya):“Dari Mughirah bin Su’bah berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengusap bagian atas dua kaus kakinya.” [HR.Ahmad: 2/252, Abu Dawud: 159, An Nasa'i: 125, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Gholil: 1/137].
Kaum Laki-Laki Boleh Tidak Berjama’ah Di Masid Ketika Hujan
Turunnya hujan menjadi rukhshoh (keringanan)[4] bagi kaum laki-laki untuk tidak shalat berjama’ah di masjid, hal ini lantaran terdapat kesulitan bagi kaum muslimin untuk mendatangi masjid berulang kali ketika hujan.
  • sebagaimana dalam sebuah hadits, Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata (yang artinya):“Kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah, lalu kami mendapati hujan, maka Rasulullah bersabda, “Hendaklah melakukan sholat ditempatnya bagi yang berkehendak.” [HR.Muslim 1636]
  • Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam salah satu bab yang ditulisnya: “Penjelasan bahwa perintah untuk sholat di tempat masing-masing (bukan di masjid) ketika hujan adalah perintah yang bersifat tidak mengikat, dalam artian boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan.”[5].

Tambahan Kalimat Adzan Ketika Hujan
Disunnahkan bagi mu’adzin ketika adzan pada saat turun hujan untuk mengucapkan:
sholluu fi buyutikum
“Shalatlah di rumah-rumah kalian.”
alaa sholluu fir rihaal
“Shalatlah ditempat-tempat kalian.”
  • Hal ini didasari oleh sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada tukang adzannya pada saat hujan turun (yang artinya): “Jika kamu telah mengucap asyhadu anla ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadan Rosulullah, maka jangan kau mengucap hayya ‘alash sholah, tetapi ucapkan sholluu fi buyutikum, lalu sepertinya manusia mengingkari (tambahan) ini, maka beliau berkata, “Apakah kalian heran tentang (tambahan) ini, Sungguh orang yang lebih baik dariku (yaitu Rasulullah) telah melakukan hal ini.” [HR.al-Bukhari: 616 dan Muslim: 699].
  • Dalam hadits lain dijelaskan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata (yang artinya): “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mu’adzinnya ketika (adzan) saat malam yang sangat dingin dan hujan untuk mengucap ala shollu fir rihal, (sholatlah di tempat kalian) pada malam yang sangat dingin atau hujan.” [HR.al-Bukhari: 606].
Kapan Tambahan Adzan Diucapkan?
Ucapan sholluu fi buyutikum atau alaa sholluu fir rihaal, boleh diucapkan pada salah satu dari tiga tempat:
1. Di akhir adzan langsung.
2. Ditengah adzan, pengganti hayya ‘alash sholah.
  • Dua posisi ini telah disebutkan sebagaimana hadits-hadits shohih diatas. Imam an Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits Ibnu Abbas terdapat perintah mu’adzin mengucapkan (lafadz tambahan) ditengah adzan (sebagai pengganti hayya ‘alash sholah), sedangkan hadits Ibnu Umar menunjukkan bahwa beliau mengucapkannya pada akhir setelah adzan. Kedua-duanya boleh dilakukan bahwa beliau mengucakannya pada akhir setelah adzan. Kedua-duanya boleh dilakukan sebagaimana dinyatakan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al-Umm, Kitabul Adzan, dan perkataan ini diikuti oleh kebanyakan pengikut (madzhab) kami, maka boleh mengucapkan kalimat (tambahan) itu setelah adzan atau ditengah adzan karena keduanya telah sah dalam sunnah. Akan tetapi mengucapkannya setelah adzan lebih bagus supaya tidak mengubah alunan adzan yang dikumandangkan.”[7]
3. Boleh juga diucapkan setelah mengucap hayya alash sholah dan hayya alal falah.
  • hal ini didasari oleh sebuah hadits dari Amr bin Aus berkata (yang artinya):“Seorang (sahabat Nabi) dari Tsaqif mengabarkan kami bahwa dia mendengar mu’adzinnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala hujan di malang hari ketika perjalanan, (mu’adzin itu), mengucapkan hayya alash sholah, hayya alal falah, sholluu fi rihalikum.” [HR.an-Nasa'i: 653, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih wa Dho'if Sunan Nasa'i: 2/297].
Boleh Menjamak Dua Shalat Ketika Hujan[8]
Sebagian ulama berpendapat tidak boleh menjamak dua shalat sebab hujan[9] dengan alasan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata (yang artinya), “Aku bersumpah demi Dzat yang tiada Rabb kecuali Dia (Allah), tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat kecuali tepat pada waktunya, kecuali dua kali shalat saja, yaitu menjamak antara Dhuhur dan Ashar di Arofah dan antara Maghrib dengan Isya’ di Muzdalifah.” [HR.al-Bukhari: 1/514].
  • Sedangkan mayoritas ulama berpendapat dibolehkan menjamak dua shalat dengan sebab hujan, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya dilakukan itu ketika hujannya menyulitkan atau tidak menyulitkan manusia. Dan mereka juga berbeda pendapat apakah hanya Magrib dan Isya’ saja yang boleh dijamak, ataukah Dhuhur dan Ashar juga dibolehkan?
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, yaitu dibolehkan menjamak dua shalat sebab hujan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Atsar dan Nafi’ maula Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu (yang artinya): “Sesungguhnya jika para pemimpin menjamak antara Magrib dan Isya’, maka Ibnu Umar ikut menjamak bersama mereka.” [HR.Malik dalam al-Muwatho': 1/145/5, al-Baihaqi dalam Sunan Kubro: 3/168, Ibnul Mundzir dalam al-Ausath: 1157, dishohihkan al-Albani dalam Irwa' al-Gholil: 3/41].
2. Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Tabi’in seperti Abdullah Ibnu Umar, Urwah bin Zubair, Abbas bin Utsman, Abu Salamah bin Abdurrahman, Abu Bakr bin Abdurrahman dan lainnya, mereka menjamak antara Magrib dan Isya’ dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Asrom dan Hisyam bin ‘Urwah berkata: “Tidak seorang pun mengingkari perkara ini pada zaman itu, maka ini pertanda (adanya) kesepakatan di antara mereka (tentang bolehnya menjamak antara sholat Magrib dan Isya’ sebab hujan).” [10].
  • Catatan: Ada pembahasan penting yang menjadikan jumhur ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam masalah ini, sebagian berpendapat boleh dan sebagian yang lain melarang. Masalah itu adalah: Hujan yang membolehkan jamak dua shalat apakah harus hujan deras yang menyulitkan manusia datang ke masjid berulang kali, ataukah semua hujan adalah rukhshoh walaupun hanya gerimis.
  • Pendapat yang lebih hati-hati adalah pendapat yang tidak membolehkan menjamak shalat sebab gerimis atau sebab hujan yang tidak menyulitkan manusia keluar ke masjid berulang kali. Hal ini lantaran asal hukum shalat harus dilakukan pada waktunya, tidak dimajukan atau dimundurkan kecuali ada alasan syar’i (dalil), dan sebab dibolehkannya menjamak dua shalat adalah karena turunnya hujan yang alasan hukumnya tidak lain adalah faktor kesulitan. Adapun gerimis, maka semua orang mengatakan bahwa tidak ada kesulitan didalamnya, buktinya manusia tetap beraktivitas ke pasar, kantor, dan tempat-tempat kerja mereka. Lain halnya ketika hujan deras yang menyulitkan mereka.[11].
Fatwa Lajnah Da’imah[12]
  • “Dibolehkan menjamak antara shalat Magrib dan Isya’ dengan sebab hujan deras yang membasahi baju dan menyulitkan (manusia) untuk berulang kali pergi ke masjid menunaikan shalat Isya’.[Fatwa no.17127, tanggal 11/7/1415H].
  • Dalam fatwa yang lain Lajnah Da’imah menegaskan: “Berdasarkan hal itu, maka barangsiapa tergesa-gesa menjamak shalat disebabkan hanya sekedar mendung, atau gerimis yang tidak menyulitkan (manusia) untuk datang ke masjid atau barangsiapa tergesa-gesa menjamak sholat disebabkan hujan yang telah berlalu yang tidak menyulitkan dengan adanya lumpur becek, maka mereka telah melakukan kesalahan besar dan sholat yang mereka jamak (sholat Isya’) tidak sah, karena mereka menjamak sholat tanpa udzur (alasan) syar’i, dan mereka telah melaksanakan sholat Isya’ sebelum waktunya.” [Fatwa no.18081, tanggal 5/8/1416].

Larangan Shalat Dengan Menutupi Mulut
Hal ini telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
  • Dalam sebuah hadits bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata (yang artinya):“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sadl (menggulungkan kain kebadan dan tidak mengeluarkan tangannya) dan melarang seorang menutupi mulutnya ketika sedang shalat.” [HR.Abu Dawud: 643, at-Tirmidzi: 378, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykatul Mashobih: 764].
Dibalik Angin dan Mendung Ada Nikmat Dan Adzab
Sebelum turun hujan biasanya Allah azza wa jalla mengirimkan angin atau mendung sebagai pertanda akan turunnya hujan yang akan membawa banyak kebaikan.
Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya),
Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira
 sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu,
maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan.
[QS.al-A'rof (7): 57]
Seorang muslim tidak sepatutnya merasa aman dari hembusan angin yang kencang atau datangnya awan yang menghitam, karena suatu ketika Allah azza wa jalla hendak membinasakan suatu kaum atau menguji hamba-Nya dengan angin atau mendung tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat takut jika melihat angin kencang atau mendung yang tiba-tiba merubah langit yang cerah menjadi gelap.
  • Sebagaimana dalam sebuah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata (yang artinya):“Jika langit berubah (tidak cerah), maka berubahlah wajah Rasulullah, dan beliau mondar-mandir keluar masuk rumah (karena takut).” [HR.Muslim: 899]
  • Dalam hadits lain dijelaskan, Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya sebab takutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab: “Aku takut (barangkali) ini adalah adzab yang ditimpakan kepada umatku.” [HR.Muslim: 1495]
  • Dalam hadits lain dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mendung yang datang dari ufuk langit, beliau segera meninggalkan apa yang sedang dilakukan sekalipun sholatnya,sampai beliau menyambutnya seraya berdo’a.[13].

Do’a Ketika Angin Kencang
Jika datang angin kencang, disyariatkan bagi setiap muslim berdo’a sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: Jika angin bertiup kencang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca (yang artinya):
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini,
dan kebaikan yang ada padanya, (aku memohon) kebaikan dari yang diutus dengannya,
dan aku berlindung kepada-Mu dari buruknya angin ini,
dan keburukan yang ada padanya dan (aku berlindung)
dari keburukan yang diutus dengannya.
[HR.Muslim: 899].

Ketika Turun Hujan
Jika yang terjadi setelah angin atau mendung adalah hujan, maka disyariatkan mengucapkan do’a:
allahumma shoyyiban naafi’an
Ya Allah, turunkan hujan yang bermanfaat.
  • [HR.al-Bukhari: 974, dari jalan Aisyah].
atau mengucapkan do’a:

allahumma shoyyiban haniian
Ya Allah turunkan lah hujan yang menyenangkan.
  • [HR.Abu Dawud: 5099, dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih al-Kalim at-Thoyyib: 88/155, dan Silsilah Shohihah: 2757].
Akan tetapi jika Allah azza wa jalla menahan hujan setelah angin atau mendung, maka sepatutnya seorang muslim bersyukur kepada Allah azza wa jalla, karena Dia telah menyelamatkan manusia dari adzab-Nya.
  • Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Jika Allah menyingkap (angin atau mendung) dan menahan hujan, maka beliau bersyukur kepada Allah akan hal itu.” [HR.al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod: 177/686, Abu Dawud: 5099, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya: 10/218, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2757]. Wallahu A’lam.
Supaya Terkena Air Hujan
Jika turun hujan, disunnahkan menyingkap sebagian anggota badan seperti kepala, tangan kaki atau anggota badan lain yang boleh terlihat oleh manusia, supaya air hujan mengenai anggota badan kita,[14].
  • sebagaimana dalam sebuah hadits, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata (yang artinya): Kami bersama Rasulullah mendapati hujan, lalu Rasulullah menyingkap bajunya supaya terkena air hujan, lalu mereka bertanya: Wahai Rasulullah mengapa engkau melakukannya? Rasulullah menjawab: “Karena (air hujan ini) baru datang dari Robbnya (Allah).” [HR.Muslim: 1494].

Note:
[1] Berkata al-Munaqi: as-Sabarot artinya saat yang sangat dingin (Faidhul Qodir: 3/307]
[2] HR.at-Thobroni dalam Mu’jam Kabir: 2/120, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 1802
[3] Hal ini sebagaimana bolehnya mengusap alas kaki seperti sepatu dan semisalnya ketika seseorang hendak sholat mengenakan sepatunya, sebagaimana dalam HR.al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya (lihat penjelasan lebih lengkap dan syarat-syaratnya dalam Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil Marom, dan Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom dan lainnya, semuanya dalam penjelasan Kitab ath-Thoharoh, bab al-Maskh ‘alal Khuffain]
[4] Perkataan “rukhshoh” menjadi isyarat bahwa hukum asal sholat berjama’ah adalah wajib, dan inilah pendapat kuat sebagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin untuk tetap shalat berjama’ah walaupun ada rasa takut yang sangat besar dari serangan musuh secara tiba-tiba [QS.an-Nisa (4): 102], apalagi ketika dalam keadaan aman, maka lebih ditekankan untuk berjama’ah (lihat dalil-dalil wajibnya sholat berjama’ah dalam Taudhihul Ahkam pada muqoddimah bab Sholatul Jama’ah wal Imamah.
[5] al-Fiqh fid-Din Durus wa Masa’il Fiqhiyah bab Ahkamusy Syita’ fis Sunnah al-Muthohharoh hal.271
[6] Syarah Shohih Muslim: 5/307
[7] Tambahan yang diucapkan setelah selesai adzan ini juga berguna untuk menghindari terjadinya fitnah dari orang-orang awam yang tidak mengetahui sunnah ini, karena jika lafadz tambahan tersebut diucapkan di tengah adzan, mereka menyangka bahwa lafadz adzan telah dirubah oleh mu’adzin
[8] Bab ini kami ringkas dari tulisan kami sebelumnya dalam Majalah AL FURQON edisi 6 th.V Muharrom 1427, dalam rubrik Fiqih dengan judul Menjamak Antara Dua Shalat Karena Hujan
[9] Ini adalah pendapat Madzhab Hanafi, Imam al-Auza’i dan ahli kalam (lihat Aunul Ma’bud: 4/78]
[10] Lihat al-Mughni: 2/274
[11] Lihat perkataan Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm: 1/95 dan lihat keterangan Syaikh Abdullah al-Jibrin dalam al-Qoulul Muktabar fi Jam’ish Sholatain lil Mathor dengan lampiran fatwa Syaikh Abdullah al-Jibrin karya Hammad al-Hammad.
[12] Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Ibnu Baz Sebagai ketua, Syaikh Sholih Fauzan, Syaikh Abdullah al-Ghudayyan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid sebagai anggota.
[13] Lihat Silsilah Shohihah: 2757
[14] Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah: 13/30.

Sumber: Diketik ulang dari Majalah AL FURQON Edisi 7 Th.ke-9 1431/2010 hal.30-34
Dipublikasikan kembali oleh : http://alqiyamah.wordpress.com

NB:
- Hadits dari Aisyah (pada Taqdim): Lihat Shahih: Bukhari, 65- At-Tafsir, 46- Surah Al Ahqaaf, 2- Bab (Falamma Ra’auhu Aridhan Mustaqbila Audiyatihim). Muslim : 9 -Kitab Al Istisqa’ 3- Bab At-Ta’awwudz ‘inda ru’yatirrihi wal Ghaimi, hadits 16).

- Artikel terkait (dan bisa dilihat u/ do’a dalam bhs arab):
http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/2795-beberapa-amalan-ketika-turun-hujan.html
http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2805-keringanan-ketika-turun-hujan-dibolehkan-meninggalkan-shalat-jamaah-.html

sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/2010/01/29/hujan-antara-nikmat-dan-adzab-ustadz-abu-ibrahim-muhammad-ali-hafizhahullah/


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger