Kisah Taubatnya 3 Wanita Syiah

Bismillahirrahmaanirrahiem, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi dan Rasul termulia, junjungan kami Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
 
Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung, kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami bertawakkal. Engkaulah Yang Memulai dan Mengulangi, Ya Allah kami berlindung dari kejahatan perbuatan kami dan minta tolong kepada-Mu untuk selalu menaati-Mu, dan kepada-Mu lah kami bertawakkal atas setiap urusan kami.

Semenjak lahir, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak.

Kami memang berasal dari keluarga Syi’ah asli. Kami tidak mengenal tentang mazhab ahlussunnah wal jama’ah kecuali bahwa mereka adalah musuh-musuh ahlulbait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Mereka lah yang merampas kekhalifahan dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib t, dan merekalah yang membunuh Husain.

Akidah ini semakin tertanam kuat dalam diri kami lewat hari-hari “Tahrim”, yaitu hari berkabung atas ahlul bait, demikian pula apa yang diucapkan oleh syaikh kami dalam perayaan Husainiyyah dan kaset-kaset ratapan yang memenuhi laciku.

Aku tak mengetahui tentang akidah mereka (ahlussunnah) sedikitpun. Semua yang kuketahui tentang mereka hanyalah bahwa mereka orang-orang munafik yang ingin menyudutkan ahlul bait yang mulia.
Faktor-faktor di atas sudah cukup untuk menyebabkan timbulnya kebencian yang mendalam terhadap penganut mazhab itu, mazhab ahlussunnah wal jama’ah.

Benar… Aku membenci mereka sebesar kecintaanku kepada para Imam. Aku membenci mereka sesuai dengan anggapan syi’ah sebagai pihak yang terzhalimi. 

Keterkejutan pertama
Ketika itu Aku sedang duduk di sekolah dasar. Di sekolah aku mendengar penjelasan Bu Guru tentang mata pelajaran tauhid. Beliau berbicara tentang syirik, dan mengatakan bahwa menyeru selain Allah termasuk bentuk menyekutukan Allah. Contohnya seperti ketika seseorang berkata dalam doanya: “Hai Fulan, selamatkan Aku dari bencana… tolonglah Aku” lanjut Bu Guru. Maka kukatakan kepadanya: Bu, kami mengatakan “Ya Ali”, apakah itu juga termasuk syirik? Sejenak kulihat beliau terdiam… seluruh murid di sekolahku, dan sebagian besar guru-gurunya memang menganut mazhab syi’ah… kemudian Bu Guru berkata dengan nada yakin: “Iya, itu syirik” kemudian langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku:

“Bukankah doa adalah ibadah?”
“Tidak tahu”, jawabku.
“Coba perhatikan, apa yang Allah katakan tentang doa berikut”, lanjutnya seraya membaca firman Allah:

ÙˆَÙ‚َالَ رَبُّÙƒُÙ…ُ ادْعُونِÙŠ Ø£َسْتَجِبْ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ø¥ِÙ†َّ الَّØ°ِينَ ÙŠَسْتَÙƒْبِرُونَ عَÙ†ْ عِبَادَتِÙŠ سَÙŠَدْØ®ُÙ„ُونَ جَÙ‡َÙ†َّÙ…َ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (Ghaafir: 60).

“Bukankah dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdoa adalah ibadah, lalu mengancam orang yang enggan dan takabbur terhadap ibadah tersebut dengan Neraka?” tanyanya.

Setelah mendengar pertanyaan tersebut, aku merasakan suatu kejanggalan… aku merasa kecewa… segudang perasaan menggelayuti benakku tanpa bisa kuungkapkan. Saat itu aku berangan-angan andaikan aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Lalu kutatap dia untuk kedua kalinya… ia tetap tegar laksana gunung.

Waktu pulang kutunggu dengan penuh kesabaran, Aku berharap barangkali ayah dapat memberi solusi atas permasalahanku ini… maka sepulangku dari sekolah, kutanya ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Bu Guru tadi.

Ayah serta merta mengatakan bahwa Bu Guru itu termasuk yang membenci Imam Ali. Ia mengatakan bahwa kami tidaklah menyembah Amirul Mukminin, kami tidak mengatakan bahwa dia adalah Allah sehingga Gurumu bisa menuduh kami telah berbuat syirik… jelas ayah.

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban ayahku, sebab Bu Guru berdalil dengan firman Allah. Ayah lalu berusaha menjelaskan kepadaku kesalahan mazhab sunni hingga kebencianku semakin bertambah, dan aku semakin yakin akan batilnya mazhab mereka.

Aku pun tetap memegangi mazhabku, mazhab syi’ah; hingga adik perempuanku melanjutkan karirnya sebagai pegawai di Departemen Kesehatan. 

Sekarang, biarlah adikku yang melanjutkan ceritanya… 
Setelah masuk ke dunia kerja, aku berkenalan dengan seorang akhwat ahlussunnah wal jama’ah. Ia seorang akhwat yang multazimah (taat) dan berakhlak mulia. Ia disukai oleh semua golongan, baik sunni maupun syi’ah. Aku pun demikian mencintainya, dan berangan-angan andai saja dia bermazhab syi’ah.

Saking cintanya, aku sampai berusaha agar jam kerjaku bertepatan dengan jam kerjanya, dan aku sering kali bicara lewat telepon dengannya usai jam kerja.

Ibu dan saudara-saudaraku tahu betapa erat kaitanku dengannya, sebab itu aku tak pernah berterus terang kepada mereka tentang akidah sahabatku ini, namun kukatakan kepada mereka bahwa dia seorang syi’ah, tak lain agar mereka tidak mengganggu hubunganku dengannya. 

Permulaan hidayah 
Hari ini, aku dan sahabatku berada pada shift yang sama. Kutanya dia: “Mengapa di sana ada sunni dan syi’ah, dan mengapa terjadi perpecahan ini?” Ia pun menjawab dengan lembut:

“Ukhti, sebelumnya maafkan aku atas apa yang akan kuucapkan… sebenarnya kalianlah yang memisahkan diri dari agama, kalian yang memisahkan diri dari Al Qur’an dan kalian yang memisahkan diri dari tauhid!!”

Kata-katanya terdengar laksana halilintar yang menembus hati dan pikiranku. Aku memang orang yang paling sedikit mempelajari mazhab di antara saudari-saudariku. Ia kemudian berkata:

“Tahukah kamu bahwa ulama-ulama kalian meyakini bahwa Al Qur’an telah dirubah-rubah, meyakini bahwa segala sesuatu ada di tangan Imam, mereka menyekutukan Allah, dan seterusnya…?” sembari menyebut sejumlah masalah yang kuharap agar ia diam karena aku tidak mempercayai semua itu.

Menjelang berakhirnya jam kerja, sahabatku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya seraya mengatakan bahwa itu adalah tulisan saudaranya, berkenaan dengan haramnya berdoa kepada selain Allah. Kuambil lembaran-lembaran tersebut, dan dalam perjalanan pulang aku meraba-rabanya sambil merenungkan ucapan sahabatku tadi.

Aku masuk ke rumah dan kukunci pintu kamarku. Lalu mulailah kubaca tulisan tersebut. Memang, hal ini menarik perhatianku dan membuatku sering merenungkannya.

Pada hari berikutnya, sahabatku memberiku sebuah buku berjudul “Lillaah, tsumma littaariekh” (Karena Allah, kemudian karena sejarah). Sumpah demi Allah, berulang kali aku tersentak membaca apa yang tertulis di dalamnya. Inikah agama kita orang syi’ah? Inikah keyakinan kita?!!

Sahabatku pun semakin akrab kepadaku. Ia menjelaskan hakikat banyak hal kepadaku. Ia mengatakan bahwa ahlussunnah mencintai Amirul Mukminin dan keluarganya.

Benar… aku pun beralih menganut mazhab ahlussunnah tanpa diketahui oleh seorang pun dari keluargaku. Sahabatku ini selalu menghubungiku lewat telepon. Bahkan saking seringnya, ia sempat berkenalan dengan kakak perempuanku. 

Sekarang, biarlah kakakku yang melanjutkan ceritanya…
Aku mulai berkenalan dengan akhwat yang baik ini. Sungguh demi Allah, aku jadi cinta kepadanya karena demikian sering mendengar cerita adikku tentangnya. Maka begitu mendengar langsung kata-katanya, aku semakin cinta kepadanya… 

Permulaan hidayah
Hari itu, aku sedang membersihkan rumah dan adikku sedang bekerja di kantor. Aku menemukan sebuah buku bergambar yang berjudul: “Lillaah, tsumma littaariekh”. 

Aku pun membukanya lalu membacanya… sungguh demi Allah, belum genap sepuluh halaman, aku merasa lemas dan tak sanggup merampungkan tugasku membersihkan rumah. Coba bayangkan, dalam sekejap, akidah yang ditanamkan kepadaku selama lebih dari 20 tahun hancur lebur seketika.

Aku menunggu-nunggu kembalinya adikku dari kantornya. Lalu kutanya dia: “Buku apa ini?”
“Itu pemberian salah seorang suster di rumah sakit”, jawabnya.
“Kau sudah membacanya?” tanyaku.
“Iya, aku sudah membacanya dan aku yakin bahwa mazhab kita keliru”, jawabnya.
“Bagaimana denganmu?” tanyanya.
“Baru beberapa halaman” jawabku.
“Bagaimana pendapatmu tentangnya?” tukasnya.
“Kurasa ini semua dusta, sebab kalau benar berarti kita betul-betul sesat dong”, sahutku.
“Mengapa tidak kita tanyakan saja isinya kepada Syaikh?” pintaku.
“Wah, ide bagus” katanya.

Buku itu lantas kukirimkan kepada Syaikh melalui adik laki-lakiku. Kuminta agar ia menanyakan kepada Syaikh apakah yang tertulis di dalamnya benar, ataukah sekedar kebohongan dan omong kosong?

Adikku mendatangi Syaikh tersebut dan memberinya buku itu. Maka Syaikh bertanya kepadanya:

“Dari mana kau dapat buku ini?”
“Itu pemberian salah seorang suster kepada kakakku” jawabnya.
“Biarlah kubaca dulu” kata Syaikh, sembari aku berharap dalam hati agar kelak ia mengatakan bahwa semuanya merupakan kebohongan atas kaum syi’ah. Akan tetapi, jauh panggang dari api! Kebatilan pastilah akan sirna…

Aku terus menunggu jawaban dari Syaikh selama sepuluh hari. Harapanku tetap sama, barang kali aku mendapatkan sesuatu darinya yang melegakan hati.

Namun selama sepuluh hari tadi, aku telah mengalami banyak perubahan. Kini sahabat adikku sering berbicara panjang lebar denganku lewat telepon, bahkan ia seakan lupa kalau mulanya ia ingin bicara dengan adikku. Kami bicara panjang lebar tentang berabagai masalah.

Pernah suatu ketika ia menanyaiku: “Apa kau puas dengan apa yang kita amalkan sebagai orang syi’ah selama ini?”. Aku mengira bahwa dia adalah syi’ah, dan dia tahu akan hal itu…

“Kurasa apa kita berada di atas jalan yang benar”, jawabku.
“Lalu apa pendapatmu terhadap buku milik adikmu?” tukasnya. Akupun terdiam sejenak… lalu kataku:
“Buku itu telah kuberikan ke salah seorang Syaikh agar ia menjelaskan hakikat buku itu sebenarnya”.
“Kurasa ia takkan memberimu jawaban yang bermanfaat, aku telah membacanya sebelummu berulang kali dan kuselidiki kebenaran isinya… ternyata apa yang dikandungnya memang sebuah kebenaran yang pahit”, jelasnya.
“Aku pun menjadi yakin bahwa apa yang kita yakini selama ini adalah batil” lanjutnya.

Kami terus berbincang lewat telepon dan sebagian besar perbincangan itu mengenai masalah tauhid, ibadah kepada Allah dan kepercayaan kaum syi’ah yang keliru. Tiap hari bersamaan dengan kepulangan adikku dari kantor, ia menitipkan beberapa lembar brosur tentang akidah syi’ah, dan selama itu aku berada dalam kebingungan…

Aku teringat kembali akan perkataan Bu Guru yang selama ini terlupakan. Kuutus adik lelakiku untuk menemui Syaikh dan meminta kembali kitab tersebut beserta bantahannya. Akan tetapi sumpah demi Allah, lagi-lagi Syaikh ini mengelak untuk bertemu dengan adikku. Padahal sebelumnya ia selalu mencari adikku, dan kini adikku yang justru menelponnya. Namun keluarga Syaikh mengatakan bahwa dia tidak ada, dan ketika adikku bertemu dengannya dalam acara Husainiyyah [1] dan menanyakan kitab tersebut; Syaikh hanya mengatakan: “Nanti”, demikian seterusnya selama dua bulan.

Selama itu, hubunganku dengan sahabat adikku lewat telepon semakin sering, dan di sela-selanya ia menjelaskan kepadaku bahwa dirinya seorang sunni, alias ahlussunnah wal jama’ah. Dia berkata kepadaku:

“Jujur saja, apa yang membuat kalian membenci Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Aku sempat ragu sejenak, namun kujawab: “Karena kebencian mereka terhadap Ahlulbait”.
“Hai Ukhti, Ahlussunnah justeru mencintai mereka”, jawabnya.

Kemudian ia menerangkan panjang lebar tentang kecintaan Ahlussunnah terhadap seluruh keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beda dengan Syi’ah Rafidhah yang justeru membenci sebagian ahlul bait seperti isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Benar, kini aku tahu tentang akidah Ahlussunnah wa Jama’ah dan aku mulai mencintai akidah yang sesuai dengan fitrah dan jauh dari sikap ghuluw (ekstrim)… jauh dari syirik… dan jauh dari kedustaan.

Kebenaran yang sesungguhnya mulai tampak bagiku, dan aku pun bingung apakah aku harus meninggalkan agama nenek moyang dan keluargaku? Ataukah meninggalkan agama yang murni, ridha Allah dan Jannah-Nya??

Ya, akhirnya kupilih yang kedua dan aku menjadi seorang ahlussunnah wal jama’ah. Aku kemudian menghubungi akhwat yang shalihah tadi dan kunyatakan kepadanya bahwa hari ini aku ‘terlahir kembali’.

Aku seorang sunni, alias Ahlussunnah wal Jama’ah.

Akhwat tersebut mengucapkan takbir lewat telepon, maka seketika itu meleleh lah air mataku… air mata yang membersihkan sanubari dari peninggalan akidah syi’ah yang sarat dengan syirik, bid’ah dan khurafat…

Demikianlah… dan tak lama setelah kami mendapat hidayah, adik kami yang paling kecil serta salah seorang sahabatku juga mendapat hidayah atas karunia Allah.
____
(Saudari-saudari kalian yang telah bertaubat)

[1] Ritual kaum Syi’ah dalam rangka memperingati syahidnya Imam Husain bin Ali t.



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger