SYUBHAT KELIMA
Perkataan Imam Syafi’i رحمه الله:
البدعة بدعتان بدعة محمودة و بدعة مذمومة فما واقف السنّة فهو محمود و ما خالف السنّة فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah (terpuji/hasanah) dan bid’ah madzmumah (tercela/dhalalah). Yang sesuai dengan As Sunnah adalah terpuji dan yang menyalahi As Sunnah itu adalah tercela”.
[Hilyatul Auliyaa’ (9/113)]
[Hilyatul Auliyaa’ (9/113)]
Beliau رحمه الله juga mengatakan bahwa:
المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنّة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال و ما أحدث من الخير لا يخالف شيْا من ذلك ڤهذه محدثة غير مذموم
Al Muhdatsaat (perkara-perkara yang baru) itu ada dua macam.
Pertama adalah apa-apa yang baru diadakan yang menyelisihi Al Qur’an atau As Sunnah atau Atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah. Dan yang kedua adalah apa-apa yang diada-adakan yang merupakan sesuatu yang baik yang tidak bertentangan sedikitpun dengan (keempat perkara yang telah disebuktan diatas) itu, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela.
[Manaaqibus Syaafi’i, oleh Al Baihaqi 1/468 dan Al Baa’its oleh Abu Syaamah, hal. 94]
Pertama adalah apa-apa yang baru diadakan yang menyelisihi Al Qur’an atau As Sunnah atau Atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah. Dan yang kedua adalah apa-apa yang diada-adakan yang merupakan sesuatu yang baik yang tidak bertentangan sedikitpun dengan (keempat perkara yang telah disebuktan diatas) itu, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela.
[Manaaqibus Syaafi’i, oleh Al Baihaqi 1/468 dan Al Baa’its oleh Abu Syaamah, hal. 94]
BANTAHAN:
Kita tidak dibenarkan untuk menantang perkataan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dengan perkataan orang lain, siapapun dia. Perkataan Rosululloh صلّى الله عليه و سلّم adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dibantah oleh perkataan orang lain.
Abdullah bin Abbas رضي الله عنه berkata:
ليس أحد إلا و يؤخذ من رأيه و يترك ما خلا النّبيّ صلّى الله عليه و سلم
"Tidak ada seorangpun melainkan perkataanya dapat ditolak dan dapat diterima kecuali perkataan Nabi صلّى الله عليه و سلّم (tidak dapat ditolak perkataan beliau). [Fatawa Asy Syaatib, 1/138 dan beliau berkata: “Perkataan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas dan Imam Malik mengambil perkataan ini dari keduanya sehingga beliau terkenal dengan perkataan ini”.
Kedua:
Bahwa jika kita memperhatikan perkataan Imam Syafi’i dengan seksama, maka tidak kita ragukan lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan “bid’ah mahmudah” itu adalah makna secara bahasa bukan makna menurut syara’ (istilah agama), dengan dalil bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama maka sudah tentu ia akan bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
- Sungguh Imam Syafi’i telah membatasi kata bid’ah mahmudah dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah.
Sedangkan setiap bid’ah yang terjadi terhadap agama pasti menyelisihi firman Alloh سبحانه و تعالى:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (Al Maaidah: 3).
Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi صلّى الله عليه و سلّم :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ. (رواه البخاريّ و مسلم عن عا ئشة رضي الله عنها
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini apa-apa yang bukan dari agama, maka ia tertolak (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah رضي الله عنها)
Dan bertentangan pula dengan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang lain:
- Ibnu Rajab berkata: “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i رحمه الله mengenai apa yang telah kami kemukakan, bahwasanya bid’ah yang tercela adalah apa-apa yang tidak mempunyai asal dalam syari’at sebagai tempat kembali kepadanya, dan inilah yang dimaksud dengan “bid’ah” menurut syari’at. Adapun bid’ah mahmudah (yang baik) yakni yang sesuai dengan sunnah, yaitu apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya, dan yang dimaksudkan oleh beliau tersebut hanyalah merupakan pengertian bid’ah secara bahasa, bukan menurut syara’ sebab ia sesuai sunnah. [Jaami’ul ‘Ulum walhikam 6/28]
- Dan bid’ah menurut bahasa yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i yang beliau katakana “bahwa bid’ah itu mahmudah” seperti penulisan hadits dan shalat tarawih, maka yang demikian ini cocok dinamakan sebagai “bid’ah” menurut bahasa, sebab tidak ada contoh sebelumnya. Adapun secara syari’at, maka tidak benar sebab ia mempunyai asal dari sunnah.
Sebagai kesimpulan bahwasanya setiap “bid’ah” itu dikatakan sebagai “bid’ah” yang mahmudah, terkadang ia bukan merupakan bid’ah akan tetapi ia disangka sebagai bid’ah, atau kemungkinan ia merupakan bid’ah, maka ini pasti sayyi’ah (buruk) sebab bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Ketiga:
Bahwasanya yang diketahui dari imam Syafi’i رحمه الله, bahwasanya beliau adalah orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah صلّى الله عليه و سلم dan sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah صلّى الله عليه و سلم, sebagaimana yang disebutkan dari beliau ketika beliau ditanya tentang masalah tersebut, beliau berkata: “Telah diriwayatkan dalam masalah ini begini dan begini dari Nabi صلّى الله عليه و سلم, maka berkatalah seorang penanya: “Wahai Abu Abdillah apakah kamu mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits tersebut? Maka Imam Syafi’i pun terperanjat dan bergetar seraya berkata:
يا هذا أيّ أرض تقلّني و أيّ سماء تظلني إذا رويت عن رسول الله صلّى الله عليه و سلم حديثا فلم أقل به نعم على السمع و البصر
“Aduhai bumi yang mana lagi yang akan kupijak dan langit mana yang akan menaungiku jika aku meriwayatkan dari Nabi صلّى الله عليه و سلم suatu hadits lalu aku tidak berfatwa dengannya? Tentu aku akan menjunjung tinggi sabda beliau صلّى الله عليه و سلم. [Shifatush Shafwah, 2/256]
Bagaimana mungkin kita berprangsangka terhadap beliau yang telah kita kenal seperti itu komitmennya terhadap sunnah, bahwa beliau akan menyelisihi sabda Nabi صلّى الله عليه و سلم:
كل بدعة ضلالة “Setiap bid’ah itu sesat”. Bahkan sudah sepantasnya untuk kita membawa perkataan beliau kepada kemungkinan yang tidak ada pertentangan dengan ucapan Rasulullah صلّى الله عليه و سلم, yakni bahwa yang beliau maksudkan adalah “bid’ah” dalam makna bahasa.
Sungguh Imam Syafi’i pernah berkata:
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنّة رسول الله صلى الله عليه و سلم فقولوا بها و دعوا ما قلته
"Jika kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rosululloh صلّى الله عليه و سلم maka berkatalah kalian dengan sunnah tersebut dan tinggalkanlah apa yang kukatakan.” [Siyaru A’laamin Nubalaa’ 10/34]
Beliau mengatakan pula:
كل حديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فهو قولي و إن لم تسمعوه مني
"Setiap hadits dari Nabi صلّى الله عليه و سلم adalah perkataanku, sekalipun kalian tidak mendengarnya dariku” [ Siyaru A’laamin Nubalaa’]
Beliau juga mengatakan:
كل ما قلت فكان عن رسول الله صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصحّ فحديث رسول الله صلى الله عليه و سلم أولى و لا تقلّدوني
"Apa saja yang kukatakan lalu datang dari Rosululloh صلّى الله عليه و سلم sesuatu yang shahih yang menyalahi perkataanku maka hadits Rasululloh صلّى الله عليه و سلم lebih utama (dari perkataanku), maka janganlah kalian bertaqlid kepadaku” [Hilyatul Auliyaa’ 9/107 dan Siyar 10/33]
Dan dilain perkataan beliau:
كل مسألة صحّ فيها الخبر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم عند أهل النقل بخلاف ما قلت فإني راجع عنها في حياتي و بعد موتي
“Setiap masalah yang telah shahih khabarnya dari Rasululloh صلّى الله عليه و سلم menurut ahli naql (ulama hadits) yang menyelisihi apa yang kukatakan, maka aku bersedia untuk menanggalkan perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati”. [Tawaalayt Ta’siis hal. 108]
0 komentar:
Posting Komentar