LDII : Nasehat Untuk Kembali ke Manhaj Salafus Sholih (1)

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badr.

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, semoga Allah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya kepada kita semua.

Berikut adalah diskusi antara ustadz Muhammad Arifin Badri dengan Abu Altov membahas mengenai beberapa permasalahan yang padanya kaum LDII menyelisihi ajaran islam yang diajarkan oleh Rasululullah shollallahu’alaihiwasallam.

Mudah-mudahan kita semua dapat mengambil pelajaran dari dialog ini dan semakin menambah keyakinan kita bahwa kebenaran itu adalah satu dan tidak berbilang, yaitu islam yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan dipahami oleh para sahabatnya, dan bukan yang selainnya. Semoga ini menjadi nasehat kepada kaum LDII untuk kembali kepada islam yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.

***

Ustadz Muhammad Arifin bertanya:
Dari yang saya ketahui, tentang dasar beragama LDII bahwa mereka mengharuskan agar ilmunya mangkul (dinukilkan langsung) dari seorang guru. Bukankah demikian?


Abu Altov menjawab:
Yang saya ketahui benar demikian, Bapak. Bila Bapak Muhammad Arifin pernah belajar alquran dan hadits dari siapapun entah ulama mekah madinah atau ulama disini dan apa yang dikatakan bapak dengan guru bapak tidak beda demikian pula yang dikatakan guru bapak tidak beda dengan gurunya, terus demikian dan terus demikian, sampai kepada para ulama salav, para sahabat dan rosulullooh SAW, Insya Allooh sayapun akan belajar kepada Bapak. Karena ilmu ini sangat asing dan jarang (sesuatu yang asing dan jarang pasti tidak mudah didapat dan dipahami) dan pasti suatu saat akan meninggalkan kita.


Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat, tinggallah generasi kita yang hanya mengikuti kitab-kitab karangan, kitab-kitab terjemahan. kitab-kitab cetakan, ucapan-ucapan si A, Si B, si C dan hal ini sekarang ilmu ini siap-siap akan berpindah kenegara lain, selain mekah madinah. Sehingga yang disini Insya Allooh sebagian akan hijrah pula, bila Allah mengizinkan saya dan keluargapun ingin hijrah. Karena pada dasarnya kita hanyalah lembaran putih yang kosong yang belum terisi oleh goresan pena, sebagaimana para ulama terdahulu, seperti ahli membaca quran para ahli hadits, mereka sebagaimana gelas kosong yang belum terisi oleh air. Sedikit demi sedikit mendapat ilmu dengan belajar kepada ulama yang menjadi guru mereka.

Ustadz Muhammad Arifin:
Pada penggalan komentar saudara Abu Altov di atas ada beberapa hal yang ingin saya komentari dan menurut hemat saya merupakan titik permasalahan yang menjadi pembeda antara paham LDII dan kaum muslimin secara umum:


Pertama:
Saudara Abu Altov telah membuat suatu kaidah dan prinsip besar yang menurut hemat saya ini adalah prinsip yang layak untuk ditulis dengan tinta emas dan dijadikan sebagai pedoman hidup setiap muslim. Suatu keyakinan dan aqidah yang indah dan benar-benar mencerminkan akan kecintaan kepada kebenaran dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.


Kaidah tersebut tersurat dengan jelas dan gamblang pada ucapan Saudara kita Abu Altov berikut ini: “Bila Bapak Muhammad Arifin pernah belajar alquran dan hadits dari siapapun entah ulama mekah madinah atau ulama disini dan apa yang dikatakan bapak dengan guru bapak tidak beda demikian pula yang dikatakan guru bapak tidak beda dengan gurunya, terus demikian dan terus demikian, sampai kepada para ulama salav, para sahabat dan Rosulullooh SAW, Insya Allooh sayapun akan belajar kepada Bapak.”.

Inilah pedoman hidup yang semestinya dipegang erat-erat dan diamalkan oleh setiap muslim, yaitu senantiasa mengamalkan agama islam yang murni bersih dari noda kesyirikan atau bid’ah. Yaitu syari’at islam yang pernah diamalkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, dan yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnaah-sunnah beliau shollallahu’alaihiwasallam.

Dan inilah wasiat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kepada ummatnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh sahabat Irbadh bin Sariyyah rodiallahu’anhu:

قال: (صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة)

“Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan agar senantiasa setia mendengar dan taat, walaupun ia (pemimpin/penguasa) adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah kholifah-kholifah yang telah mendapat petunjuk lagi cerdik. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat.” (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll).

Inilah wasiat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, yaitu senantiasa menjalankan syari’at Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam yang murni bersih dari noda-noda bid’ah dan juga kesyirikan. Wasiat beliau ini sering beliau sampaikan kepada ummatnya, agar umatnya senantiasa ingat dan tidak melalaikannya. Dalam berbagai kesempatan beliau mengulang-ulangnya dengan teks yang berbeda-beda, akan tetapi kandungannya sama, diantaranya ketika beliau beliau menyampaikan khutbah hari arafah pada haji wada’:

وقد تركت فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله. رواه مسلم

“Sungguh aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian, satu hal yang bila kalian berpegang teguh dengannya, niscaya selama-lamanya kalian tidak akan tersesat, bila kalian benar-benar berpegang teguh dengannya, yaitu kitab Allah (Al Qur’an).” (Muslim).

Dari wasiat ini kita dapat menarik suatu prinsip dan sekaligus standar kebenaran dalam agama islam. Prinsip dan standar tersebut ialah: “Al Qur’an dan As Sunnah dengan pengamalan yang selaras dengan pengamalan yang pernah diterapkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam beserta para sahabatnya, yang diantaranya oleh khulafa’ ar rasyidun“. Sehingga jelaslah bahwa setiap yang menyelisihi prinsip ini adalah sesat dan menyesatkan.

Berdasarkan prinsip ini, syari’at Islam tidak membenarkan adanya kultus terhadap seseorang sepeninggal Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dan tidak ada orang yang ma’shum (terlindung dari kesalahan) selain Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, yang demikian ini karena Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam seperti yang dinyatakan dalam ayat berikut:

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى

“Dan ia tidaklah mengucapkan menurut hawa nafsunya, ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najem: 3-4).

Adapun selain beliau shollallahu’alaihiwasallam pasti memiliki kesalahan, kekurangan, dosa, kekhilafan dan kelalaian, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut:

كل ابن آدم خطاء وخير الخطائين التوابون. رواه أحمد والترمذي والدارمي والحاكم وغيرهم

“Setiap anak keturunan Adam adalah pelaku kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah orang yang banyak bertaubat.” (Riwayat Imam Ahmad, At Tirmizy, Ad Darimy Al Hakim dll).

Berdasarkan ini Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah menyatakan:

كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم

“Setiap orang pasti boleh diambil ucapannya dan juga boleh ditinggalkan selain ucapan penghuni kuburan ini (yakni Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam.” (Siyar A’alam An Nubala’ 8/93).

Imam As Syafi’i rahimahullah juga berwasiat kepada kita semua dengan berkata:

ذا صح الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت قولا فأنا راجع عن قولي وقائل بذلك

“Bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya dari Rasulillah shollallahu’alaihiwasallam, kemudian aku berpendapat (menyelisihinya), maka aku telah meninggalkan pendapatku tersebut, dan mengikuti hadits tersebut.” (Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Asbahany 9/107).

Beliau (imam Syafi’i rohimahullah -ed) juga berpesan:

إذا وجدتم لرسول الله صلى الله عليه و سلم سنة فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد

“Bila kamu telah mendapatkan suatu hadits dari Rasulillah shollallahu’alaihiwasallam, maka ikutilah, dan janganlah engkau menoleh ke pendapat siapapun.” (Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Asbahany 9/107).

Imam Syafi’i sering sekali mengulang-ulang wasiat ini, dan saking banyaknya ucapan beliau yang semakna dengannya, sampai-sampai As Subky -salah seorang ulama’ mazhab As Syafi’i – menuliskan karya ilmiyyah dengan judul:

معنى قول الإمام المطلبي : إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Makna ucapan Imam Al Muthalliby (As Syafi’i): ‘Bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya, maka itulah mazhabku/pendapatku.’
Bila hal ini telah jelas bagi kita, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk hidup dalam dunia sempit bak katak dalam tempurung dalam beragama, sehingga senantiasa beranggapan bahwa kebenaran hanya milik kelompok tertentu atau guru tertentu atau aliran tertentu.

Kedua:
Abu Altov kemudian berkata:
Karena ilmu ini sangat asing dan jarang (sesuatu yang asing dan jarang pasti tidak mudah didapat dan dipahami) dan pasti suatu saat akan meninggalkan kita. Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat.”.


Saya amat heran dengan komentar dan keterangan saudara Abu Altov. Dari manakah sumber dan apakah dalil ucapannya ini?!

Ucapannya ini jelas-jelas menyelisihi realita, sebab Al Qur’an dan As Sunnah yang merupakan sumber ilmu telah merata dan menyebar luas di masyarakat, setiap orang dapat membacanya dan mengkajinya. Sehingga ilmu itu tidak jarang dan juga tidak asing. Yang asing adalah pemahaman dan pengamalannya, betapa banyak yang membaca Al Qur’an, akan tetapi berapakah dari mereka yang paham artinya?

Dan dari yang paham artinya, berapakah yang paham akan kandungannya?
Dan dari yang paham akan kandungannya, berapakah yang mengamalkannya? Dari yang mengamalkannya, berapakah yang menyerukan dan mengajarkannya kepada orang lain dengan baik dan benar? Inilah yang jarang dan sedikit.

Adapun Ilmu agama, maka telah merata dan banyak, yaitu dengan dibukukannya Al Qur’an dan hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam.

Oleh karena itu saya heran terhadap ucapan saudara Abu Altov ini, apakah maksudnya dan kandungan apa yang sedang ia siratkan dari ucapannya ini?

Apakah yang ia maksud adalah ilmu yang terkandung dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang sekarang ada di rumah-rumah umat islam (selain warga LDII) atau di toko-toko kitab, pesantren-pesantren, perpustakaan para ulama’, ustadz, kiyai, muballigh, dan santri-santri tidak sah karena tidak disampaikan oleh guru LDII?! Ataukah LDII memiliki sumber ilmu (baca: Al Qur’an dan hadits-hadits) yang tidak dimiliki oleh masyakat umum di luar kelompoknya?

Ditambah lagi, anggapan bahwa ilmu agama itu tidak mudah dipahami, adalah suatu anggapan dan doktrin yang sesat lagi menyesatkan, sebab menyelisihi dan mendustakan berbagai dalil, diantaranya firman Allah Ta’ala:

فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.” (QS. Ad Dukhan: 57), dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya Kami telah mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 17).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan berkata: “Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an ini yang telah Kami turunkan, sehingga menjadi mudah, jelas, gamblang dengan menggunakan bahasamu (bahasa arab) yang merupakan bahasa yang paling fashih (jelas), gamblang, indah dan tinggi.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/147).

Ucapan Abu Altov ini menurut hemat saya adalah suatu doktrin yang amat buruk sekali yang mungkin ini adalah belenggu yang telah dililitkan oleh tokoh-tokoh LDII di leher setiap pengikutnya, agar mereka tidak mendengar dan membaca dari selain kelompoknya. Dan ucapan ini -menurut hemat saya- adalah salah satu bukti nyata akan kebenaran sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين . رواه البيهقي

“Yang (layak) memikul ilmu ini (ilmu agama) pada setiap generasi adalah orang-orang yang berkredibilitas tinggi. Mereka akan menepis penyelewengan orang-orang yang ekstrim (berlebih-lebihan) dan ajaran orang-orang sesat, dan takwil orang-orang bodoh.” (Riwayat Al Baihaqy).

Adapun diangkatnya ilmu, maka itu adalah suatu hal yang telah menjadi sunnatullah (ketentuan/takdir Allah) sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits berikut:

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس
 رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. متفق عليه

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para ulama’, hingga bila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’-pun, niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan mereka pun menjawab dengan tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih).

Dan mungkin fakta diangkatnya ilmu inilah yang menjadikan kelompok LDII senantiasa eksklusif, dan takut bila ajarannya diketahui oleh khalayak umum secara terbuka. Alasan sikap mereka ini hanya ada satu, yaitu seperti yang ditegaskanoleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:

إذا رأيت قوما يتناجون في دينهم بشيء دون العامة فاعلم أنهم على تأسيس ضلالة. رواه اللالكائي وابن أبي عاصم.

“Bila engkau mendapatkan suatu kaum yang berbicara tentang agama mereka dengan suatu hal yang dirahasiakan dari masyarakat umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis kesesatan.” (Riwayat Al Lalaka’i dan Ibnu Abi ‘Ashim).

Ketiga:
Saudara Abu Altov berkata:
“Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat, tinggallah generasi kita yang hanya mengikuti kitab-kitab karangan, kitab-kitab terjemahan. kitab-kitab cetakan, ucapan-ucapan si A, Si B, si C.”.


Menangislah dan bersedihlah, karena antum telah beranggapan bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah ilmu langka. Dan menangislah serta selalu bersedihlah, karena antum telah mengganggap bahwa kebenaran (Al Qur’an dan As Sunnah) yang ada di masyarakat sudah tidak ada harganya, sehingga antum merasa kesulitan untuk mendapatkan ilmu, dan kesulitan untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.

Teruslah menangis dan bersedih, karena ternyata sebagian orang yang berada disekitar antum termasuk orang-orang yang digambarkan oleh ibnu Abbas dalam kisah berikut:

عمر بن الخطاب رضي الله عنه ذات يوم يحدث نفسه، فأرسل إلى ابن عباس فقال: كيف تختلف هذه الأمة ونبيها واحد وكتابها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال ابن عباس: يا أمير المؤمنين إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا فيم أنزل، وإنه سيكون بعدنا أقوام يقرأون القرآن ولا يعرفون فيم نزل، فيكون لكل قوم فيه رأي، فإذا كان لكل قوم فيه رأي اختلفوا، فإذا اختلفوا اقتتلوا، فزبره عمر وانتهره، فانصرف ابن عباس ثم دعاه بعد فعرف الذي قال، ثم قال إيه أعد علي. رواه سعيد بن منصور

“Pada suatu hari Umar bin Al Khatthab rodiallahu’anhu sedang merenung, kemudian ia memanggil Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya: Bagaimana umat ini dapat berselisih, padahal nabinya satu, kitab sucinya satu dan qiblatnya juga satu? Maka Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an diturunkan kepada kita, kemudian kita membacanya, dan kita mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan. Dan sesungguhnya setelah zaman kita nanti, akan ada orang-orang yang membaca Al Qur’an dan tidak mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan, sehingga masing-masing kelompok akan memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentangnya. Dan bila setiap kelompok telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri, niscaya mereka akan berselisih. Dan bila mereka telah berselisih, niscaya mereka akan saling berperang. Maka Umar menariknya dengan kuat dan memarahinya, lalu Ibnu Abbas berpaling dan pergi. Kemudian selang beberapa saat, Umar memanggilnya lagi dan ia telah memahami (menyetujui) jawabannya, kemudian ia berkata: Ulangilah sekali lagi jawabanmu itu.” (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam kitabnya As Sunnan 1/176, no: 42).

Keempat:
Saudara Abu Altov berkata:
sekarang ilmu ini siap-siap akan berpindah kenegara lain, selain mekah madinah. Sehingga yang disini Insya Allooh sebagian akan hijrah pula, bila Allah mengizinkan saya dan keluargapun ingin hijrah.”.


Apakah dalil antum dalam sangkaan dan dakwaan ini, darimanakah antum mengetahui hal gahib?! Apa indikasi/pertanda berpindahnya ilmu dari negri Mekkah dan Madinah? Menurut antum, ilmu akan berpindah ke negri mana?

Bukankah dakwaan antum ini bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ وهو يأرز بين المسجدين كما تأرز الحية إلى جحرها. رواه مسلم

“Sesungguhnya agama Islam datang (turun) dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana ketika datang pertama kali, dan Islam itu akan kembali ke antara dua masjid (Masjid Haram dan Masjid Nabawi) layaknya seekor ular kembali ke lubangnya.” (Riwayat Muslim).

Ustadz Muhammad Arifin bertanya:
Bukankah orang yang membaca Al Quran kemudian membaca tafsirnya yang telah dibukukan oleh para ulama’ misalnya tafsir at thabari, Ibnu Katsir dll berarti telah mengambil ilmunya dengan cara mangkul?


Abu Altov menjawab:
Kalau demikian saya tidak tahu. Tetapi, adakah hal ini sesuai dengan penyampaian ilmu dari guru kepada murid? kalau iya berarti saya cukup membeli buku saja dan terus saya amalkan, siapa gurunya? ya buku dan pencetaknya itu, namanya manusia tempat salah terlebih bila cetakannya salah bagaimana mengamalkan ibadah, siapa yang salah, siapa yang bertanggungjawab karena ilmu ini adalah ilmu masalah akhirot.”.


Mengomentari penggalan ucapan Abu Altov ini saya hendak mengatakan: Allah Ta’ala telah memudahkan Al Qur’an sehingga dapat dipahami dengan mudah, oleh karena itu dalam setiap ayat atau hadits, yang memerintahkan manusia untuk membaca, merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Allah tidak disebutkan persyaratan harus dibimbing oleh seorang guru, apalagi dari kelompok tertentu, apalagi dari kelompok LDII saja.

Diantara dalil-dalil tersebut ialah firman Allah Ta’ala berikut:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيراً

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa’: 82).

Saya yakin orang-orang LDII tidak akan dapat menyebutkan satu ayat atau hadits yang mensyaratkan belajar harus dari guru, bila tidak maka ilmu yang ia peroleh tidak sah atau tidak benar.

Memang benar dan saya setuju bahwa belajar dari guru yang telah menghabiskan umur dan waktunya dalam mengkaji dan mempelajari ilmu akan lebih baik hasilnya dan lebih cepat daripada belajar sendiri, serta akan lebih sedikit kesalahannya. Akan tetapi hal itu tidak berati tidak sah dan tidak boleh membaca Al Qur’an langsung dari Mushaf dan tanpa ada guru yang membimbing atau membaca hadits dari kitab-kitab hadits serta syarahnya dengan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang guru. Apalagi harus dari kelompok tertentu, misalnya LDII, maka jelas lebih tidak ada dalilnya, lha wong LDII baru ada kemaren sore…

Sebagai salah satu dalil yang meruntuhkan doktrin dan belenggu LDII ini ialah kisah berikut:

عن أبي جحيفة قال: قلت لعلي رضي الله عنه : هل عندكم شيء من الوحي إلا ما في كتاب الله؟ قال:
والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما عندنا إلا ما في القرآن إلا فهما يعطيه الله رجلا في القرآن. رواه البخاري.

“Dari Abu Juhaifah, ia berkata: Aku pernah berkata kepada sahabat Ali (bin Abi Thalib): Apakah anda memiliki wahyu selain yang tercantum dalam Kitabullah (Al Qur’an)? Beliau menjawab: Sungguh demi Dzat Yang Telah Membelah biji-bijian, dan Yang Telah Menciptakan Manusia, aku tidak mengetahui wahyu selain yang termaktub dalam Al Qur’an,kecuali pemahaman yang Allah karuniakan kepada seseorang terhadap Al Qur’an.” (Riwayat Al Bukhari)
Pada kisah ini sahabat dan sekaligus Khalifah Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa ia tidak memiliki wahyu yang dikhususkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk beliau atau yang hanya diketahui oleh beliau saja. Beliau hanya memiliki pemahaman terhadap Al Qur’an yang mungkin tidak dimiliki oleh orang muslim lainnya. Pernyataan beliau ini membuktikan bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an tidak mesti ditimba dari guru, bahkan beliau menyatakan bahwa bisa saja Allah membukakan hati atau melimpahkan pemahaman kepada seseorang tanpa harus mendapatkan pemahaman tersebut dari seorang guru.

Kesimpulan saya ini selaras dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

نضَّر الله أمرأً سمع منا حديثا فحفظه حتى يبلغه غيره، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه،
ورب حامل فقه ليس بفقيه. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والدارمي وغيرهم

“Semoga Allah melimpahkan kebahagiaan kepada orang yang mendengarkan suatu hadits (sabda) dari kami kemudian ia menghafalnya hingga ia sampaikan kepada orang lain. Bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu kepada orang yang lebih faham (faqih) dari dirinya, dan bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu sedangkan dia tidak faqih (tidak paham).” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ad Darimy dan lainnya).

Pada hadits ini Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menyebutkan sebagian realita para pengemban ilmu, dan diantara yang beliau sebutkan ialah:
  1. Kadang kala orang yang menghafal sesuatu ilmu (Al Qur’an & hadits) kemudian ia mengajarkannya kepada murid-muridnya, dan ternyata muridnya lebih bagus dan luas pemahamannya terhadap ayat atau hadits yang disampaikan oleh gurunya tersebut.
  2. Dan kadang kala ada guru yang menyampaikan ilmu (Ayat & Hadits) kepada murid-muridnya, akan guru tersebut tidak memahami ayat dan hadits tersebut, dan murid-muridnya justru memahaminya dengan baik.
Dari kedua fenomena ini, kita simpulkan bahwa suatu pemahaman terhadap ayat atau hadits bila itu sesuai dengan metode yang ilmiyyah sehingga pemahaman tersebut benar, maka pemahaman itu dapat diamalkan dan sah, walaupun pemahaman tersebut tidak diperoleh dari seorang guru, apalagi dari LDII. Dan pemahaman murid yang tidak didapatkan dari gurunya tersebut oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dibenarkan dan tidak disalahkan, karena hadits di atas bermaknakan pujian terhadap seluruh macam orang yang disebutkan di dalamnya.

Bila hal ini telah jelas, maka belenggu “mangkul” yang dipasang di leher setiap anggota LDII tidak lagi ada artinya. Atau dengan kata yang lebih lugas, amat dimungkinkan bahwa guru-guru LDII adalah bagian dari sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:

ورب حامل فقه ليس بفقيه

“…Dan bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu sedangkan dia tidak faqih (tidak paham).”

Bila demikian maka tidak ada bedanya belajar dari guru dengan belajar dari membaca kitab dengan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Sama-sama memiliki kemungkinan salah: salah paham, salah cetak.
  2. Bisa saja guru perannya tak ubah sebuah kitab, bisanya hanya sebatas membacakan, akan tetapi ia tidak paham.
  3. Belenggu “mangkul” ala LDII tidak lagi berlaku dan sesat lagi menyesatkan, sebab menyelisihi berbagai dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits atau naluri sehat.

Abu Altov berkata:
“Berhubung keterbatasan waktu, tempat, keadaan diri saya yang sangat tidak memungkinkan, maka dalam mencari ilmu agama yang terkait sangat erat sekali dengan masalah ibadah, masalah pahala, masalah surga, saya tidak macam-macam cukup sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat syahnya ilmu itu yaitu guru menerangkan, menjelaskan secara langsung dan baik dari alquran maupun hadits (bukhori, muslim, nasai, ibnu majah dan hadits lainnya) yang penting bukan hasil karangan dan muridpun menyimak baik apa yang disampaikan guru baik yang membawa kitab maupun yang tidak.”.


Ustadz Muhammad Arifin Badri:
Mengomentarai perkataan Abu Altov ini, saya katakan: persyaratan ini hanyalah belenggu yang dililitkan oleh tokoh-tokoh LDII kepada setiap anggotanya, proteksi agar mereka tidak terbuka dan mencari kebenaran dengan menggunakan metode yang ilmiyyah, yaitu berfikir, merenungkan dan membandingkan berbagai pendapat, manakah yang lebih dekat atau bahkan selarasa dengan Al Qur’an dan As Sunnah.


Dan pada kesempatan ini saya ingin bertanya:
Menurut doktrin LDII, sahkah keislaman orang kafir yang telah mengucapkan 2 kalimat syahadat akan tetapi pengucapannya tersebut tidak dibimbing oleh seorang guru baik dari LDII atau lainnya, melainkan dari hasil belajar sendiri?

Bila LDII menyatakan tidak sah, maka berarti LDII menentang dan mengkufuri sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:

عن عبادة بن الصامت قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
 وأنَّ محمَّداً عبدُهُ ورسُولُهُ، وأَنَّ عيسى عبد الله ورسُولُهُ، وكلمَتُهُ ألقَاهَا إلى مريم وروحٌ منه،
 والجنَّة حقٌّ والنَّارُ حقٌّ، أدخلَهُ اللهُ الجنَّةَ على ما كان من العمل.

Dari sahabat Ubadah bin As Shomit menuturkan: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Barang siapa yang bersaksi bahwa tiada yang berhaq disembah selain Allah semata, Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya, dan ‘Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang Ia campakkan kepada Maryam, dan roh daripada-Nya (roh dari roh-roh yang Ia ciptakan), dan (bersaksi) bahwa surga itu benar-benar ada dan neraka itu benar-benar ada, niscaya Allah akan memasukkannya kedalam surga, apapun amalannya.” (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim).

(إِنَّ اللهَ حَرَّم عَلَى النَّار من قَالَ: لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بذلك وجهَ اللهِ)

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan “La Ilaha IllaAllah” (Tiada yang berhaq disembah selain Allah), dengan penuh mengharap Wajah Allah (rasa keikhlasan).” (Muttafaqun ‘alaih).

Bila keislaman orang tersebut sah,maka runtuhlah belenggu “mangkul” ala LDII. Dan runtuhlah persyaratan sahnya ilmu yang Abu Althof sebutkan dalam ucapannya di atas. Akan tetapi dari fenomena dan ulah anggota LDII, dapat dipahami bahwa mereka tidak mengakui keislaman orang tersebut, oleh karena itu mereka senantiasa membasuh apapun yang tersenggol atau disentuh oleh selain kelompoknya. Mereka beranggapan bahwa orang yang ilmunya tidak mangkul maka tidak sah, dan bila tidak sah maka kesilamannya juga tidak sah, dan bila keislamannya tidak sah berarti ia kafir, dan orang kafir adalah najis, berdasarkan firman Allah Ta’ala berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrikin itu adalah najis.” (QS. At Taubah: 28).

LDII memahami kata “najis” pada ayat ini sebagai najis layaknya kotoran manusia, babi, anjing dll. Padahal arti sebenarnya yang dimaksud dengan “najis” pada ayat ini adalah najis maknawi, maksudnya orang-orang musyrikin itu hatinya, keyakinannya, dan amalannya najis (sesat). Adapun badannya, maka tidak ada bedanya dengan selain mereka, bila telah bersuci dengan mandi dll, maka badannya suci tidak najis.

Sebagai buktinya: Allah Ta’ala dan Rasul-Nya membenarkan bagi orang islam untuk memakan makanan ahlul kitab (yahudi dan nasrani) padahal mereka adalah orang-orang musyrikin dan kafir. Seandainya yang dimaksud dengan najis adalah najis bak kotoran manusia, niscaya tidak akan boleh memakan makanan yang mereka buat, sebab dalam proses pembuatannya pasti mereka menyentuhnya dengan kedua tangannya. Bahkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab dibolehkan, ini membuktikan pemahaman LDII terhadap ayat di atas adalah salah dan menyesatkan, Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
 مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ
 فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al Maidah: 5).

Perilaku nyleneh LDII ini tidak mungkin ditafsiri sebagai sikap berhati-hati, karena mungkin orang selain LDII tidak dapat membersihkan najis dari dirinya dengan baik, sebab Nabi shollallahu’alaihiwasallam sering bersinggungan dengan orang-orang yahudi dan nasrani, bahkan pernah memakan makanan mereka tanpa harus membasuhnya terlebih dahulu. Perilaku ini hanya ada satu penafsiran, yaitu mereka mengganggap bahwa selain anggotanya adalah kafir dan najis. Perilaku ini adalah bukti nyata bahwa LDII adalah generasi penerus khowarij yang senantiasa mengkafirkan selain kelompoknya, dan menganggap bahwa surga itu sempit sehingga tidak cukup untuk selain kelompoknya saja.
Bila ada yang bertanya: mengapa LDII dan nenek moyang mereka (kaum khowarij) bersikap demikian?

Jawabannya ada pada ucapan sahabat Ibnu Umar rodiallahu’anhu berikut:

إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين

“Sesungguhnya mereka itu biasa membawakan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir, kemudian menerapkannya pada orang-orang mukminin.” (Riwayat At Thobary dan Al Bukhary).

Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua, dan melindungi kita dari para penyeru ke pintu-pintu neraka. Dan membebaskan kita semua dari belenggu-belenggu bid’ah dan kesesatan.

اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك
 فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب،
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami -atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan padanya, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.”.

***

sumber : http://ibnuramadan.wordpress.com/2008/05/14/ldii-nasihat-untuk-kembali-ke-manhaj-salafus-sholih-1/


3 komentar:

Anonim mengatakan...

"Pada hari Kami memanggil
tiap-tiap manusia dengan Imam mereka." (Q.S.Al-Isra':71)

“Sesungguhnya orang-orang yang berbai’at kepadamu sesungguhnya mereka berbaiat kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang mengingkari bai’atnya niscaya akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati bai’atnya, maka Allah akan memberikan pahala yang besar.” (Q.S. Al Fath : 10).

“Barangsiapa melepas tangan dari taat akan bertemu dengan Allah pada hari kiyamat dengan tidak punya alasan. Dan barangsiapa mati sedang tidak ada ikatan bai’at pada lehernya maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh : II/136)

“Tiga macam orang yang Allah tidak akan berkata kata kepada mereka pada hari kiyamat dan tidak akan membersihkan (memaafkan), dan bahkan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka itu adalah: 1) Orang yang mempunyai kelebihan air di tengah jalan tetapi menolak permintaan orang yang dalam keadaan bepergian, 2) Orang yang berbai’at pada seorang imam, tetapi tidaklah ia berbai’at kecuali karena dunia, jika diberi menepati bai’atnya dan jika tidak diberi (ditolak tuntutannya) ia tidak menepatinya, 3) Orang yang menjual barang pada orang lain setelah ‘Ashar dan bersumpah dengan nama Allah, sungguh akan diberikan dengan ketentuan begini dan begini, lalu ia membenarkannya dan hendak mengambilnya, tetapi ia tidak memberikannya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam: IX/99, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204, At-Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi IV/128 No: 1595. Lafadz Al-Bukhari)

“Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: ”Apa yang tuan perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204. Lafadz Muslim)

Anonim mengatakan...

“Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).” (HR. Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/137)

“Dan barangsiapa membai’at imam dengan berjabat tangan dan kesungguhan hati, maka haruslah ia mentaatinya semampunya. Maka jika datang orang lain akan merebutnya, maka pukullah leher orang tersebut.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/467, An-Nasai, Sunan An-Nasai VII/153-154. Lafadz Muslim)

“Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sungguh ia taat kepada Allah dan barangsiapa yang memaksiati aku maka sungguh ia telah memaksiati Allah. Barangsiapa yang mentaati amirku maka sungguh ia telah mentaati aku dan barangsiapa yang memaksiati amirku maka sungguh ia telah memaksiati Aku.” (HR.Al-Bukhari dari Abi Hurairah, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam: IX/77. Dalam Riwayat Ibnu Majah)

“Dan barangsiapa yang mentaati imam maka sungguh ia telah mentaatiku dan barang siapa yang memaksiati imam maka sung guh ia telah memaksiatiku.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah dalam bab Tha’atul Imam : II/201)

“Barangsiapa yang melihat amirnya melaksanakan sesuatu yang ia membencinya maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya tidaklah seseorang itu memisahkan diri dari Al-Jama’ah wala pun sekedar sejengkal, lalu ia mati kecuali ia mati laksana kematian Jahiliyyah.” (HR.Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam : IX/78, Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi: II/241)

“Sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habsyi yang rumpung hidungnya, wajib kamu mendengar dan mentaatinya selama ia memimpin kamu dengan Kitabullah.” (HR.Ibnu Majah dari Ummul Hushain dalam bab Tha’atul Imam: II/201, Muslim, Shahih Muslim: II/130, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi: IV/181 No.1706. Lafadz Ibnu Majah)

“Akan memimpin kepadamu setelahku orang-orang yang mematikan sunnah melaksanakan bid’ah dan mengakhirkan shalat dari waktunya. Maka saya bertanya: “Ya Rasulullah, jika aku mendapati mereka bagaimana aku harus berbuat?” Beliau bersabda: “Kamu bertanya kepadaku wahai Ibnu Ummi abdin tentang bagaimana kamu harus berbuat, maka tidak ada ketaatan pada seseorang yang memaksiati Allah.” (HR.Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas’ud, Sunan Ibnu Majah dalam bab Laa Tha’ata fi Ma’shiyatillah: II/202)

“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam hal yang ia sukai maupun yang dibenci kecuali apabila diperintah dengan maksiat. Maka jika diperintah dengan maksiat janganlah didengar dan ditaati.” (HR.Al-Bukhari dari Ibnu Umar, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam: IX/78, Muslim, Shahih Muslim: II/131, At-Tirmidzi: IV/182 No.1707. Lafadz Al-Bukhari)

“Ya Abdurrahman bin Samuroh, janganlah kamu meminta kepemimpinan, maka jika kamu diberinya atas suatu permintaan, kamu akan dibebaninya, tetapi jika kamu diberinya bukan atas permintaanmu kamu akan dibantu. Dan jika kamu telah bersumpah atas sesuatu kemudian kamu melihat pada yang lebih baik maka laksanakanlah yang baik itu dan tebuslah sumpahmu.” (HR.Al-Bukhari dari Samuroh bin Jundub, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam:IX/79, Muslim, Shahih Muslim:II/133, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud:III/130 Lafadz AlBukhari)--(Alm.Bambang H sangat menginginkan posisi tertinggi, karena salah niat, maka di lengserkan oleh Alloh)

Anonim mengatakan...

“Saya dan dua orang dari kaumku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka salah seorang dari keduanya berkata: “Ya Rasulullah, jadikanlah kami sebagai amir.” Dan yang lainnya pun berkata demikian. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya kami tidak memberikan keamiran ini kepada seseorang yang memintanya dan yang menginginkannya (ambisi).” (HR.Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam: IX/80)

“Ya Rasulullah alangkah baiknya engkau memberikan kepemimpinan kepadaku.” Beliau memukul pundakku seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu itu lemah dan kepemimpinan itu adalah amanat, di hari Qiyamat kelak akan menjadi kesedihan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambil hak kepemimpinannya dan melaksanakan kewajibannya.” (HR.Muslim, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/124).

“Sesungguhnya Allah itu ridho kepada kamu pada tiga perkara dan benci kepada tiga perkara. Adapun (3 perkara) yang menjadikan Allah ridho kepada kamu adalah: 1). Hendaklah kamu memperibadati-Nya dan janganlah mempersekutukannya dengan sesuatu apapun, 2). Hendaklah kamu berpegang teguh dengan tali Allah seraya berjama’ah dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh, 3). Dan hendaklah kamu senantiasa menasihati kepada seseorang yang Allah telah menyerahkan kepemimpinan kepadanya dalam urusanmu. Dan Allah membenci kepadamu 3 perkara; 1). Dikata kan mengatakan (mengatakan sesuatu yang belum jelas kebenarannya), 2). Menghambur-hamburkan harta benda, 3). Banyak bertanya (yang tidak ber faidah).” (HR.Ahmad dari Abi Hurairah, Musnad Abi Hurairah dan Muslim, II/61).

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger