Para
ulama dulu dan sekarang banyak membahas tentang keabsahan shalat tasbiih.
Ada di antara mereka yang menafikkannya, ada pula yang menetapkannya.
Pada
kesempatan kali ini, ijinkanlah saya untuk menulis ringkasan bahasan tentang
status shalat ini. Tentu saja, bahasan tidak akan jauh dari bahasan sanad dan
jalan-jalan riwayat.
Riwayat
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
حدثنا عبد الرحمن بن بشر بن الحكم النيسابوري، ثنا موسى بن عبد
العزيز، ثنا الحكم بن أبان، عن عكرمة، عن ابن عباس : أن رسول اللّه صلى اللّه عليه
وسلم قال للعباس بن عبد المطلب: "يا عباس يا عماه ألا أعطيك؟ ألا أمنحك؟ ألا أحبوك؟
ألا أفعل بك عشر خصالٍ إذا أنت فعلت ذلك غفر اللّه لك ذنبك أوله وآخره، قديمه
وحديثه، خطأه وعمده، صغيره وكبيره، سره وعلانيته عشر خصالٍ: أن تصلي أربع ركعاتٍ
تقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب وسورةً، فإِذا فرغت من القراءة في أول ركعةٍ وأنت
قائمٌ قلت: سبحان اللذه، والحمد للّه، ولا إله إلا اللّه واللّه أكبر خمس عشرة
مرةٍ، ثم تركع فتقولها وأنت راكعٌ عشراً، ثم ترفع رأسك من الركوع فتقولها عشراً، ثم
تهوي ساجداً فتقولها وأنت ساجدٌ عشراً، ثم ترفع رأسك من السجود فتقولها عشراً، ثم
تسجد فتقولها عشراً، ثم ترفع رأسك فتقولها عشراً، فذلك خمسٌ وسبعون في كلِّ ركعةٍ
تفعل ذلك في أربع ركعاتٍ إن استطعت أن تصليها في كلِّ يوم مرةً فافعل، فإِن لم تفعل
ففي كلِّ جمعةٍ مرةً، فإِن لم تفعل ففي كلِّ شهر مرة، فإِن لم تفعل ففي كلِّ سنةٍ
مرةً، فإِن لم تفعل ففي عمرك مرةً".
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam An-Naisaabuuriy[1]
: Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin ‘Abdil-‘Aziiz[2]
: Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Abaan[3],
dari ‘Ikrimah[4],
dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda kepada Al-‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib : "Wahai ‘Abbaas, wahai
pamanku, sukakah paman, aku beri, aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku
ajari sepuluh macam kebaikan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa? Jika paman
mengerjakan hal itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa paman, baik yang awal
dan yang akhir, baik yang telah lalu atau yang akan datang, yang di sengaja
ataupun tidak, yang kecil maupun yang besar, yang samar-samar maupun yang
terang-terangan. Sepuluh macam kebaikan itu ialah : Paman mengerjakan shalat empat raka'at, dan
setiap raka'at membaca Al-Fatihah dan surat, apabila selesai membaca itu, dalam
raka'at pertama dan masih berdiri, bacalah : Subhanallaah wal-hamdulillaah
walaa ilaaha illallah wallahu akbar (Maha suci Allah, segala puji bagi
Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar)
sebanyak lima belas kali, lalu rukuk, dan dalam ruku' membaca bacaan seperti itu
sebanyak sepuluh kali. Kemudian mengangkat kepala dari rukuk (i'tidal)
juga membaca seperti itu sebanyak sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh
kali, setelah itu mengangkat kepala dari sujud (duduk di antara dua sujud) juga
membaca sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, kemudian mengangkat
kepala dan membaca sepuluh kali, sehingga jumlahnya secara keseluruhan ada tujuh
puluh lima kali dalam setiap raka'at. Paman dapat melakukannya dalam empat
raka'at. Jika paman sanggup mengerjakannya sekali dalam sehari, kerjakanlah.
Jika tidak mampu, kerjakanlah setiap jum'at, jika tidak mampu, kerjakanlah
setiap bulan, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap tahun sekali. Dan jika masih
tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup" [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 1297].
Sanad
hadits ini hasan.
Al-Mundziriy
berkata : “Hadits ini telah diriwayatkan dari jalan yang banyak dari sekelompok
shahabat. Misalnya saja hadits ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbaas ini. Telah dishahihkan
oleh sejumlah ulama di antaranya : “Al-Haafidh Abu Bakr Al-Aajurriy,
Syaikhunaa Abu Muhammad ‘Abdurrahiim Al-Mishriy, dan Syaikhunaa
Al-Haafidh Abul-Hasan Al-Maqdisiy rahimahullaahu ta’ala
[At-Targhiib, 1/468].
Ibnu
Hajar semula mendla’ifkannya dimana ia berkata :
وَالْحَقُّ أَنَّ طُرُقَهُ كُلَّهَا ضَعِيفَةٌ وَإِنْ كَانَ
حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ يَقْرُبُ مِنْ شَرْطِ الْحَسَنِ إلَّا أَنَّهُ شَاذٌّ،
لِشِدَّةِ الْفَرْدِيَّةِ فِيهِ وَعَدَمِ الْمُتَابِعِ وَالشَّاهِدِ مِنْ وَجْهٍ
مُعْتَبَرٍ وَمُخَالَفَةِ هَيْئَتِهَا لِهَيْئَةِ بَاقِي الصلوات، وَمُوسَى بْنُ
عَبْدِ الْعَزِيزِ وَإِنْ كَانَ صَادِقًا صَالِحًا فَلَا يُحْتَمَلُ مِنْهُ هَذَا
التَّفَرُّدُ
“Yang
benar, semuanya jalan riwayat ini adalah lemah. Meskpun hadits Ibnu ‘Abbaas
mendekati persyaratan hasan, namun ia syaadz karena kebersendirian dan
ketiadaan mutaabi’ dan syaahid yang mu’tabar. Juga,
adanya penyelisihan terhadap tata cara shalat-shalat yang lainnya. Muusaa bin
‘Abdil-‘Aziiz, meskipun ia seorang yang jujur lagi shaalih, namun
tidaklah diterima riwayatnya karena kebersendiriannya ini” [At-Talkhiish,
2/18-20].
Akan
tetapi kemudian ia meralatnya dengan perkataannya :
فهذا الإسناد من شرط الحسن فإن له شواهد تقويه
“Sanad
hadits ini sesuai persyaratan hasan, karena ia mempunyai syaahid yang
menguatkannya” [Al-Khishaal Al-Mukaffirah, hal. 42 – lihat juga catatan
terhadap kitab At-Talkhiish oleh muhaqqiq,
2/17].
Adapun
penghukuman maudlu’ oleh Ibnul-Jauziy (lihat : Al-Maudluu’aat,
2/145) adalah penghukuman yang berlebih-lebihan tanpa
hujjah.
Az-Zubaidiy
berkata : “Hadits ini shahih ghariib, yang baik (jayyid) sanad dan
matannya” [Syarh Al-Ihyaa’, 3/473].
Hadits
di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1387, Ibnu Khuzaimah no. 1216,
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 11/243-244, Al-Haakim
1/318, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/51-52, dan Al-Mizziy dalam
Tahdziibul-Kamaal 29/103; semuanya dari jalan ‘Abdurrahman bin Bisyr bin
Al-Hakam An-Naisaabuuriy.
Ada
jalan lain dari hadits Ibnu ‘Abbaas ini, namun sanadnya sangat lemah, tidak bisa
dipakai sebagai hujjah.
Hadits
Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu
Telah
menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Ahmad bin ‘Abdillah[5]
: Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash Muhammad bin Al-Haitsam
Al-Qaadliy[6]
: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi Syu’aib Al-Harraaniy[7]
: Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin A’yun[8],
dari Abu Rajaa’ Al-Khuraasaaniy[9],
dari Shadaqah[10],
dari ‘Urwah bin Ruwaim[11],
dari Ibnud-Dailamiy[12],
dari Al-‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……(al-hadits)…..” [Diriwayatkan
oleh Ad-Daaruquthniy dalam Shalaatut-Tasbiih sebagaimana dalam
At-Tarjiih hal. 46 dan dalam Al-Afraad sebagaimana dalam
Al-Khishaal Al-Mukaffirah hal. 43; serta dari jalannya Ibnul-Jauziy dalam
Al-Maudluu’aat, 2/143].
Sanad
riwayat dla’iif, karena kedla’ifan Shadaqah Ad-Dimasyqiy dan
(kekhawatiran adanya) keterputusan antara ‘Urwah dengan
Ibnud-Dailaamiy.
Riwayat
ini bisa dijadikan i’tibar.
Hadits
‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Sufyaan Al-Ubuliy[13]
: Telah menceritakan kepada kami Hibbaan bin Hilaal Abu Habiib[14]
: Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun[15]
: Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Maalik[16],
dari Abul-Jauzaa’[17],
ia berkata : Telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki dari kalangan
shahabat, yang menurutnya ia adalah ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Telah
berkata kepadaku Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…….(al-hadits)….”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1298].
Sanad
hadits ini dla’iif, karena kedla’ifan ‘Amru bin Maalik An-Nukriy. Ia pun
diselisihi Al-Mustamir bin Rayyaan yang meriwayatkan dari Abul-Jauzaa’, dari
‘Abdullah bin ‘Amru secara mauquuf; sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Khallaal dalam Al-‘Ilal – sebagaimana dalam An-Naqdush-Shahiih,
hal. 32 – ia (Al-Khallaal) berkata :
فقال علي بن سعيد : سألتُ أحمد بن حنبل عن صلاة التسبيح، فقال :
ما يصح فيها عندي شيء. فقلتُ : حديث عبد الله بن عمرو ؟. قال : كل يرويه عن عمرو بن
مالك (يعني : فيه مقال). فقلت : قد روه المستمر بن الريان عن أبي الجوزاء. قال : من
حدثك ؟. قلت : مسلم (يعني ابن إبراهيم). فقال : المستمر شيخ ثقة، وكأنه
أعجبه.
“Telah
berkata ‘Aliy bin Sa’iid[18]
: Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang shalat tasbiih. Ia berkata
: ‘Tidak shahih riwayat tentang shalat itu sedikitpun menurutku’. Aku berkata :
‘Hadits ‘Abdullah bin ‘Amru ?’. Ia menjawab :
‘Setiap hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amru bin Maalik terdapat pembicaraan
(fiihi maqaal)’. Aku berkata : ‘Sungguh telah diriwayatkan oleh
Al-Mustamir bin Ar-Rayyaan[19],
dari Abul-Jauzaa’’. Ia berkata : ‘Siapa yang meriwayatkan kepadamu ?’. Aku
berkata : ‘Muslim (yaitu Ibnu Ibraahiim)[20].
Ia menjawab : ‘Al-Mustamir seorang syaikh yang tsiqah’. Sepertinya
ia kagum terhadapnya” [selesai].
Abu
Daawud (no. 1298) mengatakan bahwa riwayat Al-Mustamir dari Abul-Jauzaa’, dari
‘Abdullah bin ‘Amru ini mauquuf. [21]
Sanad
riwayat ini shahih, dan inilah yang mahfudh dari hadits Abul-Jauzaa’ dari
‘Abdullah bin ‘Amru[22].
Meskipun sanad ini mauquf, akan tetapi dihukumi marfuu’, karena
tidak ada ruang bagi ijtihaad atas pensyari’atan dan penjelasan
kaifiyah shalat.
Hadits
Al-Anshaariy
حدثنا أبو توبة الربيع بن نافع، ثنا محمد بن مهاجر، عن عروة بن
رويم، قال: حدثني الأنصاري : أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال لجعفر بهذا
الحديث فذكر نحوهم.
Telah
menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabii’ bin Naafi’[23]
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhaajir[24],
dari ‘Urwah bin Ruwaim, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Al-Anshaariy[25]
: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata
kepada Ja’far tentang hadits ini, kemudian beliau menyebutkan hadits yang
semisalnya [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1299].
Sanad
hadits ini hasan.
Kesimpulan
Hadits
ini adalah shahih dengan keseluruhan jalannya. Adalah tidak
benar pendapat yang menyatakan kedla’ifannya.
[Ada
banyak jalan hadits lain yang tidak dituliskan di sini. Namun jalan-jalan hadits
di atas sudah cukup memberikan keterangan bagi kita bahwa hadits tentang shalat
tasbiih bukanlah hadits dla’iif].
Di
antara ulama ahli hadits yang menguatkan hadits tentang shalat tasbih ini
antara lain : Al-Mundziriy, Al-Aajurriy, Abu Muhammad ‘Abdurrahiim Al-Mishriy,
Abul-Hasan Al-Maqdisiy (sebagaimana telah disebutkan di atas dalam perkataan
Al-Mundziriy), Ad-Daaruquthniy[26]
(sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam At-Talkhiish 2/16), Al-Haakim[27]
(dalam Al-Mustadrak 1/318-320), Abu ‘Aliy bin Sakan (sebagaimana dinukil
Ibnu Hajar dalam At-Talkhiish), Ad-Dailamiy[28]
(dalam Musnad Firdaus, sebagaimana dalam Al-Laali’ 2/43),
An-Nawawiy[29]
(dalam Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat 3/144), Ibnu Hajar (dalam
Al-Khishaal Al-Mukaffirah, hal. 42), As-Subkiy (dalam Al-Futuuhaat
4/319), Al-‘Alaaiy[30]
(dalam An-Naqdush-Shahiih hal. 30), Ibnu Naashiruddiin (dalam kitabnya
At-Tarjiih fii Shalaatit-Tasbiih), As-Suyuuthiy [31](dalam
Al-Laali’ 2/38-45), Ibnu Hajar Al-Haitamiy[32]
(Al-Fataawaa Al-Kubraa 1/19), Abul-Hasan As-Sindiy (dalam Haasyiyyah
‘alaa Sunan Ibni Maajah 1/420), Al-Mubarakfuuriy (dalam
Tuhfatul-Ahwadziy 1/351), Ahmad Syaakir (dalam ta’liq-nya terhadap
Jaami’ At-Tirmidziy 2/352), Al-Albaaniy (dalam Shahiihul-Jaami’
6/299), Syu’aib Al-Arna’uth (dalam ta’liq-nya terhadap
Syarhus-Sunnah 4/157), ‘Abdul-Qaadir Al-Arna’uth (dalam ta’liq-nya
terhadap Al-Adzkaar hal. 157, 158), dan yang
lainnya.
Adapun
pendla’ifan Ahmad bin Hanbal, maka dalam riwayat ‘Abdullah bin ‘Amru sebagaimana
dinukil Al-Khallal di atas menunjukkan bahwa beliau rujuk dan
menshahihkan/menghasankan riwayat shalat tasbiih.
Inilah
pendapat pilihan yang menurut kami raajih, didukung para ulama ahli
hadits mutaqaddimiin dan muta’akhkhiriin.
Wallaahu
ta’ala a’lam.
[abul-jauzaa’
– wonogiri, 30-08-2010 – banyak mengambil manfaat dari At-Tanqiih limaa Jaa-a
fii Shalaatit-Tasbiih oleh Jaasim bin Sulaimaan Ad-Duusariy; Daarul-Basyaair
Al-Islaamiyyah, Cet. 2/1407].
[1]
‘Abdurrahmaan bin Bisyr bin
Al-Hakam bin Habiib bin Mihraan Al-‘Abdiy Abu Muhammad An-Naisaabuuriy; seorang
yang tsiqah (w. 262 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 571 no.
3834].
[2]
Muusaa bin ‘Abdil-‘Aziiz
Al-Yamaaniy Al-‘Adaniy Abu Syu’aib Al-Qinbaariy (w. 175 H); para ulama
berselisih tentangnya. Ibnu Ma’iin berkata : “Aku berpendapat tidak mengapa
dengannya”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan
memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Kadangkala keliru”. Ibnu
Syaahiin memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : Telah berkata Abu
Bakr bin Abi Daawud : “Hadits yang paling shahih tentang shalat tasbiih
adalah hadits ini”. Ibnul-Madiiniy berkata : “Dla’iif”. As-Sulaimaaniy
berkata : “Munkarul-hadiits” [Tahdziibul-Kamaal, 29/101-104 no. 6279 dan
Tahdziibut-Tahdziib 10/356]. ‘Abdurrazzaaq pernah ditanya tentangnya, dan
ia pun memujinya [Al-Mustadrak, 1/319]. Tiga orang perawi tsiqaat
telah meriwayatkan darinya, yaitu : ‘Abdurrahmaan bin Bisyr bin Al-Hakam
An-Naisaabuuriy (At-Taqriib, no. 571), Bisyr bin Al-Hakam An-Naisaabuuriy
(At-Taqriib, no. 689), dan Muhammad bin Asad Al-Khuusyiy Al-Isfiraaiiniy
(Mishbaahul-Ariid no. 22490). Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, akan
tetapi jelek hapalannya” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 983 no. 7037].
Al-Albaaniy berkata : “Dla’iif dari sisi hapalannya”
[Misykaatul-Mashaabih, 1/419].
Kesimpulan
: Ia adalah seorang yang jujur (shaduuq), akan mempunyai beberapa
kekeliruan. Penghukuman As-Sulaimaaniy bahwa ia seorang yang
munkarul-hadiits adalah penghukuman yang berlebihan mengingat penetapan
ta’dil para ulama lainnya yang diberikan kepadanya. Adapun pendla’ifan
Ibnul-Madiiniy, maka besar kemungkinannya disebabkan dari sisi hapalannya, namun
itu tidaklah menjatuhkannya dari derajat hasan. Wallaahu
a’lam.
[3]
Al-Hakam bin Abaan Al-‘Adaniy Abu
‘Iisaa (80-154 H); para ulama berselisih tentangnya. Ibnu Ma’iin dan An-Nasaa’iy
berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Shaalih”. Al-‘Ijliy
berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Aku
tidak melihat seorangpun yang semisal Al-Hakam bin Abaan”. Ibnul-Mubaarak
mendla’ifkannya. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata
: “Kadangkala keliru”. Al-‘Uqailiy mendla’ifkannya seraya berkata : “Ia tidak
ada mutaba’ah-nya”. Ibnu Khalfuun menghikayatkan adanya pentautsiqan dari
Ibnu Numair, Ibnul-Madiiniy, dan Ahmad bin Hanbal. Ibnu Khuzaimah berkata dalam
Shahih-nya : “Para ulama hadits memperbincangkannya tentang kehujjahan
haditsnya” [Tahdziibul-Kamaal, 7/86-88 no. 1422 dan
Tahdziibut-Tahdziib, 2/423]. Al-Bazzaar berkata : “Tidak mengapa
dengannya” [Kasyful-Astaar no. 3456]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah,
shaahibus-sunnah” [Al-Kaasyif, 1/343 no. 1172]. Ibnu Hajar berkata :
“Shaduuq lagi ‘aabid (ahli ibadah), akan tetapi mempunyai beberapa
kekeliruan” [Taqriibut-Tahdziib, 261 no. 1447]. Al-Albaaniy berkata :
“Dla’iif, dari sisi hapalannya” [Al-Misykaah,
1/419].
Kesimpulannya
: Ia seorang yang shaduuq, dan bahkan mendekati tsiqah. Ia telah
ditsiqahkan oleh jumhur ulama.
[4]
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy
maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi
‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no.
4707].
[5]
‘Utsmaan bin Ahmad bin ‘Abdillah
bin Yaziid bin As-Sammaak Abu ‘Umar Ad-Daqqaaq, seorang yang tsiqah lagi
tsabat (w. 344 H) [Taariikh Baghdaad, 13/190-192 no.
6045].
[6]
Muhammad bin Al-Haitsam bin Hammaad
bin Waaqid Ats-Tsaqafiy Al-Baghdaadiy Abul-Ahwash Al-‘Uqbariy Al-Qaadliy;
seorang imam, tsiqah, haafidh, lagi tsabat (w. 279) [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 13/156-157 no.
88].
[7]
Ahmad bin ‘Abdillah bin Abi Syu’aib
Al-Harraaniy Abul-Hasan; seorang yang tsiqah (w. 233 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 92 no.
57].
[8]
Muusaa bin A’yun Al-Jazriy Abu
Sa’iid; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 175/177 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 987 no.
6993].
[9]
‘Abdullah bin Waaqid bin Al-Haarits
bin ‘Abdillah bin Arqaam bin Ziyaad Al-Hanafiy Abu Rajaa’ Al-Harawiy
Al-Khuraasaaniy; seorang yang tsiqah (w. setelah tahun 160-an H)
[idem, hal. 555 no. 3708].
[10]
Shadaqah bin ‘Abdillah bin As-Samiin
Abu Mu’aawiyyah/Muhammad Ad-Dimasyqiy; seorang yang dla’iif (w. 166 H)
[idem, hal. 451 no. 2929].
[11]
‘Urwah bin Ruwaim Al-Lakhmiy
Abul-Qaasim Asy-Syaamiy; seorang yang shaduuq, namun banyak melakukan
irsal (w. 135 H) [idem, hal. 674 no.
4592].
[12]
Fairuuz Ad-Dailamiy atau
Ibnud-Dailamiy, salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (w. setelah tahun 50-an H) [idem, hal. 787 no.
5479].
[13]
Muhammad bin Sufyaan bin Abiz-Zurad
Al-Ubuliy; seorang yang shaduuq [idem, hal. 849 no.
5955].
[14]
Hibbaan bin Hilaal Al-Baahiliy Abu
Habiib Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 216 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 216
no. 1077].
[15]
Mahdiy bin Maimuun Al-Azdiy
Al-Mi’waliy Abu Yahyaa Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 172 H).
Dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 976
no. 6981].
[16]
‘Amru bin Maalik An-Nukriy; para
ulama berbeda pandangan tentangnya (w. 129 H).
Ibnu
Ma’iin berkata : “Tsiqah” [Suaalaat Ibni Junaid, hal. 202 no.
754].
Ibnu
Hibbaan berkata : “Aku mendapati hal-hal yang diingkari (manaakir) dalam
hadits-haditsnya dari riwayat anaknya darinya. Dan ia adalah seorang yang
berlisan jujur (shaduuqul-lahjah)” [Masyaahiru ‘Ulamaa Al-Amshaar,
hal. 155]. Pernyataan bahwa ia berlisan jujur bukanlah pernyataan yang
menunjukkan haditsnya hasan – sebagaimana telah diketahui – ; karena ia
tidak menunjukkan keberadaan sifat dlabth. Perkataan
shaduuqul-lahjah tidaklah sama dengan shaduuq dalam ilmu
al-jarh wat-ta’diil. Hal ini dikuatkan oleh perkataan Ibnu Hibbaan yang
lain : “Haditsnya dijadikan i’tibar selain riwayat anaknya
darinya” [Ats-Tsiqaat, 7/228]. Telah dimaklumi bahwa i’tibar itu
ditujukan kepada riwayat perawi dla’iif. Adapun perawi tsiqah,
maka ia dijadikan hujjah secara mutlak, bukan sebagai
i’tibar.
Ahmad
telah mendla’ifkannya, sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad : “Tidak shahih
shalat tasbiih, karena sanadnya berselisihan sehingga hal itu tidak shahih
menurutku” – (‘Abdullah berkata) : ‘seakan-akan ia (Ahmad) mendla’ifkan ‘Amru
bin Maalik An-Nukriy [lihat Al-Masaail, hal. 89 – melalui perantaraan
At-Tanqiih limaa Jaa’a fii Shalaatit-Tasbiih oleh Jaasim Ad-Duusariy,
hal. 71]. Al-Khallaal telah membawakan riwayat – sebagaimana dalam
An-Naqdush-Shahiih oleh Al-‘Alaa’iy (hal. 32) – dari ‘Aliy bin Sa’iid, ia berkata : Aku bertanya kepada
Ahmad bin Hanbal tentang shalat tasbih, lalu ia menjawab : “Hal itu tidak shahih
sedikitpun menurutku”. ‘Aliy melanjutkan : “(Bagaimana dengan) hadits ‘Abdullah
bin ‘Amru (bin Al-‘Aash) ?”. Ia menjawab : “Setiap hadits yang diriwayatkan oleh
‘Amru bin Maalik terdapat pembicaraan (fiihi maqaal)” [selesai]. Di sini
terdapat penunjukkan yang sangat jelas pendla’ifan Ahmad terhadap An-Nukriy;
karena saat ia ditanya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, maka ia mendla’ifkannya dengan
alasan ‘Amru bin Maalik (An-Nukriy).
Adz-Dzahabiy
berkata : “Shaduuq, termasuk orang Bashrah” [Taariikhul-Islaam
5/118]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, mempunyai beberapa kekeliruan”
[At-Taqriib, hal. 744 no. 5139].
Kesimpulan
atas ‘Amru bin Maalik An-Nukriy ini adalah ia seorang perawi dla’iif dari
sisi hapalannya, terutama, riwayatnya yang berasal dari Abul-Jauzaa’ yang besar
kemungkinan tidak mahfudh sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
‘Adiy.
[17]
Aus bin ‘Abdillah Ar-Rib’iy
Abul-Jauzaa’ Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan
irsal (w. 83 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[At-Taqriib, hal. 155 no. 582].
[18]
‘Aliy bin Sa’iid bin Jariir
An-Nasaa’iy; seorang yang tsiqah (w. 257 H) [lihat biografinya dalam
Tahdziibut-Tahdziib, 7/326].
[19]
Al-Mustamir bin Ar-Rayyaan
Al-Iyaadiy Az-Zahraaniy Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 934 no.
6635].
[20]
Muslim bin Ibraahiim Al-Azdiy Abu
‘Amru Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun (w. 222 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 937
no. 6660].
[21]
Jadi sanad mauquuf tersebut
adalah : Telah berkata Al-Khallaal, dari ‘Aliy bin Sa’iid, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Muslim bin Ibraahiim, dari Al-Mustamir bin Ar-Rayyaan,
dari Abul-Jauzaa’, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu
‘anhumaa.
[22]
Ada jalan-jalan lain dalam hadits
Abul-Jauzaa’ dari ‘Abdullah bin ‘Amru, akan tetapi jalan-jalan tersebut tidakah
shahih.
[23]
Ar-Rabii’ bin Naafi’ Abu Taubah
Al-Halabiy; seorang yang tsiqah, hujjah, lagi ‘aabid (w.
241 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 321 no. 1912].
[24]
Muhammad bin Muhaajir bin Abi Muslim
Al-Anshaariy Asy-Syaamiy; seorang yang tsiqah (w. 170 H). Dipakai Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 900 no.
6371].
[25]
Al-Anshaariy, salah seorang shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berbeda pendapat tentang
siapa dia. Al-Mizziy menguatkan bahwa ia adalah Jaabir bin ‘Abdillah. Akan
tetapi Ibnu Hajar dalam Al-Amaaliy – sebagaimana dalam Al-Futhaat
Ar-Rabbaaniyyah 4/314 - merajihkan bahwa ia bernama Abu Kabsyah
Aal-Anmaariy. Apapun itu, ia adalah seorang shahabat yang tidak melemahkan
hadits yang ia bawa.
[26]
Ad-Daaruquthniy berkata :
أَصَحُّ شَيْءٍ فِي فَضَائِلِ سُوَرِ الْقُرْآنِ {قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ} [الاخلاص:1] وَأَصَحُّ شَيْءٍ فِي فَضْلِ الصَّلَاةِ صَلَاةُ
التَّسْبِيحِ.
“Riwayat
yang paling shahih tentang keutamaan surat Al-Qur’an adalah Qul-huwallaahu
ahad (QS. Al-Khlash), dan riwayat yang paling shahih tentang keutamaan
shalat adalah shalat tasbiih” [selesai].
[27]
Al-Haakim berkata
:
ومما يستدل نه على صحة هذا الحديث : استعمال الأئمة من أتباع
التابعين إلى عصرنا هذا إياه....
“Dan
yang termasuk hal yang menunjukkan keshahihan hadits ini : (Shalat tasbih
tersebut) telah diamalkan oleh para imam dari kalangan atbaa’ut-taabi’iin
hingga jaman kita ini…” [selesai].
[28]
Ad-Dailamiy berkata
:
صلاة التسبيح أشهر الصلوات، وأصحها إسنادا.
“Shalat
tasbiih termasuk shalat-shalat (sunnah) yang paling masyhuur dan paling
shahih sanadnya” [selesai].
[29]
An-Nawawiy berkata
:
وقد جاء فيها حديث حسن في كتاب الترمذي وغيره، وذكرها المحاملي
وصاحب التتمة وغيرهما من أصحابنا، وهي سنة حسنة، وقد أوضحتها أكمل إيضاح، وسأزيدها
أيضاحا في شرح المهذب مبسوطة إن شاء الله تعالى...
“Dan
telah ada padanya hadits hasan dalam kitab At-Tirmidziy dan yang lainnya.
Al-Muhaamiliy, penulis kitab At-Tatimmah, dan yang lainnya dari kalangan
shahabat kami menyatakan bahwasannya shalat tasbih itu termasuk sunnah yang baik
(sunnah hasanah). Dan kami telah menjelaskannya dengan penjelasan yang
lengkap, dan akan kami tambah lagi penjelasannya dalam Syarh
Al-Muhadzdzab secara luas insya Allahu ta’ala”
[selesai].
Namun
ternukil bahwa ia mendla’ifkannya dalam Al-Adzkaar dan
Al-Majmuu’.
[30]
Al-‘Alaaiy berkata
:
حديث صلاة التسبيح حديث حسن صحيح.
“Hadits
tentang shalat shalat tasbiih adalah hadits hasan shahih”
[selesai].
[31]
Dalam (2/42-43) As-Suyuthiy
menambahkan para ulama yang menshahihkan hadits shalat tasbiih
:
وممن صحح هذا الحديث وحسنه غير من تقدم : ابن مندة - وألف فيه
كتابا - والآجري والخطيب وأبو سعد السمعاني وأبو موسى المديني وأبو الحسن بن المفضل
والمنذري وابن الصلاح والنووي في تهذيب الأسماء واللغات والسبكي
وآخرون.
“Di
antara ulama yang menshahihkan dan menghasankan hadits (shalat tasbiih) selain
yang telah disebutkan sebelumnya : Ibnu Mandah – dan ia menulis satu kitab
khusus tentangnya - , Al-Aajurriy, Al-Khathiib, Abu Sa’d As-Sam’aaniy, Abu
Muusaa Al-Madiiniy, Abul-Hasan Al-Mufadldlal, Al-Mundziriy, Ibnush-Shalaah,
An-Nawawiy dalam Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat, As-Subkiy, dan yang
lainnya” [selesai].
[32]
Ibnu Hajar Al-Haitamiy berkata
:
الحق في صلاة التسبيح أنه حسن لغيره....
“Yang
benar dalam permasalahan shalat tasbiih, statusnya adalah hasan
lighirihi….”[selesai].
0 komentar:
Posting Komentar