Oleh Abu Muhammad Herman.
Jarang sekali suatu kehidupan rumah tangga luput dari hantaman badai perselisihan dan terpaan angin pertengkaran. Terkadang perselisihan menjadi BUMBU keharmonisan di dalam rumah tangga, namun adakalanya pula menjadi DURI yang menimbulkan petaka jika hal itu tidak disikapi dengan bijak.
Allah Ta'ala telah memuliakan manusia, menjadikan bagi mereka pasangan dari diri mereka sendiri supaya cenderung kepadanya serta merasa tentram dengannya.
Allah Ta'ala juga telah mensyari'atkan perkawinan dan menjadikan di antara pasangan suami-istri RASA CINTA dan KASIH SAYANG untuk membangun keluarga yang sakinah dan kehidupan yang kokoh, yang merupakan pilar inti ketentraman masyarakat dan umat.
Islam telah mewajibkan kepada segenap pasangan suami-istri agar menunaikan HAK dan KEWAJIBAN masing-masing. Di antara kemaslahatan yang dikehendaki fithrah, dikuatkan syara' dan dibenarkan akal adalah bahwa masing-masing pihak dari keduanya harus mengerahkan segenap usaha dan upayanya untuk menciptakan dan mewujudkan rasa cinta, kasih sayang, saling membantu, saling toleran, dan ikhlas dalam menghadapi segala kekurangan dari pasangannya, tentunya dalam koridor yang disyari'atkan-Nya.
Allah Ta'ala berfirman: Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala. Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan.
Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” berupa perselisihan dan percekcokan.
Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan istri adalah harus lebih dahulu saling introspeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya.
Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun istri untuk mendamaikan keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.
Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, surat an-Nisaa’ ayat 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajibannya selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizing suaminya), hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq kepada suami-istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (An Nisaa': 34-35).
Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum thalaq (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan. Adapun hadits yang mengatakan bahwa: “Perkara halal yang dibenci Allah adalah thalaq (cerai).” Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018) dan al-Hakim (II/196) adalah HADITS LEMAH. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam kitabnya al-‘Ilal, dilemahkan juga oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2040).
Meskipun thalaq (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, akan tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan thalaq (cerai), ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, istrinya dan anak-anaknya, serta tanggung-jawabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat.
Kemudian bagi istri, bagaimana pun kemarahannya kepada suami, hendaknya ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada istri yang minta cerai disebabkan masalah kecil karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya.
Dalam agama Islam dibolehkan poligami dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zhalim kepada wanita, akan tetapi disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Allah Yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu, setiap suami dan istri wajib nenunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.
Semoga bermanfaat..
-Sahabatmu-
sumber : http://www.facebook.com/groups/115813878445038/#!/note.php?note_id=10150767448005175
Jarang sekali suatu kehidupan rumah tangga luput dari hantaman badai perselisihan dan terpaan angin pertengkaran. Terkadang perselisihan menjadi BUMBU keharmonisan di dalam rumah tangga, namun adakalanya pula menjadi DURI yang menimbulkan petaka jika hal itu tidak disikapi dengan bijak.
Allah Ta'ala telah memuliakan manusia, menjadikan bagi mereka pasangan dari diri mereka sendiri supaya cenderung kepadanya serta merasa tentram dengannya.
Allah Ta'ala juga telah mensyari'atkan perkawinan dan menjadikan di antara pasangan suami-istri RASA CINTA dan KASIH SAYANG untuk membangun keluarga yang sakinah dan kehidupan yang kokoh, yang merupakan pilar inti ketentraman masyarakat dan umat.
Islam telah mewajibkan kepada segenap pasangan suami-istri agar menunaikan HAK dan KEWAJIBAN masing-masing. Di antara kemaslahatan yang dikehendaki fithrah, dikuatkan syara' dan dibenarkan akal adalah bahwa masing-masing pihak dari keduanya harus mengerahkan segenap usaha dan upayanya untuk menciptakan dan mewujudkan rasa cinta, kasih sayang, saling membantu, saling toleran, dan ikhlas dalam menghadapi segala kekurangan dari pasangannya, tentunya dalam koridor yang disyari'atkan-Nya.
Allah Ta'ala berfirman: Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala. Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir."
(Ar-Ruum: 21).
Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” berupa perselisihan dan percekcokan.
Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan istri adalah harus lebih dahulu saling introspeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya.
Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun istri untuk mendamaikan keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.
Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, surat an-Nisaa’ ayat 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
- Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata: “Apabila masalah antara suami-istri semakin memanas, hendaknya keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain. Apabila suami marah sementara istri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah, berwudhu’ dan shalat dua raka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaknya yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah Allah semata.” (Fiqhut Ta’amul bainaz Zaujaini, hal. 37).
- Di tempat lain beliau berkata, “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terbengkalai (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut)
apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya.
Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya
kecuali dengan izin Allah.”
(Al Baqarah: 102).
- Dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemudian ia mengirimkan bala-tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah yang paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka dating dan berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab, ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, ‘Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata,‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku telah berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya.’ Beliau melanjutkan, ‘Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata, ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.” (HR. Muslim).
Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami-istri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak istri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah.
Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah (syari’at dan hukum-hukum-Nya) di antara keduanya, yaitu istri tak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak istrinya, serta batas-batas Allah menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti yang Allah firmankan: “Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunian-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 130).
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajibannya selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizing suaminya), hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq kepada suami-istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (An Nisaa': 34-35).
Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum thalaq (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan. Adapun hadits yang mengatakan bahwa: “Perkara halal yang dibenci Allah adalah thalaq (cerai).” Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018) dan al-Hakim (II/196) adalah HADITS LEMAH. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam kitabnya al-‘Ilal, dilemahkan juga oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2040).
Meskipun thalaq (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, akan tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan thalaq (cerai), ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, istrinya dan anak-anaknya, serta tanggung-jawabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat.
Kemudian bagi istri, bagaimana pun kemarahannya kepada suami, hendaknya ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada istri yang minta cerai disebabkan masalah kecil karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya.
- Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si istri masih terus menuntut cerai, maka HARAM ATASNYA AROMA SURGA, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:[Hadits shahiah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2226), at-Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), ad-Darimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 1320), ath-Thabari dalam Tafsiir-nya (no. 4843-4844), al-Hakim (II/200), al-Baihaqi (VII/316), dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu].
“Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya surga.”.
Dalam agama Islam dibolehkan poligami dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zhalim kepada wanita, akan tetapi disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Allah Yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu, setiap suami dan istri wajib nenunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.
Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar’i.
Kepada suami-istri,
hendaknya selalu melaksanakan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan selalu berdo’a kepada Allah agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang shalih dan shalihah:
“Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa
qurrata a’yuniw waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa.”.
(Al Furqaan: 74).
Semoga bermanfaat..
-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman.
(Dikutip dari buku “Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah”, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Pustaka At-Taqwa).
(Dikutip dari buku “Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah”, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Pustaka At-Taqwa).
sumber : http://www.facebook.com/groups/115813878445038/#!/note.php?note_id=10150767448005175
0 komentar:
Posting Komentar