Prolog
:
Tulisan ini sebenarnya adalah dialog saya (dalam bentuk tulisan) bersama
seseorang beberapa tahun lalu dalam pembahasan seputar kuburan dan masjid.
Terpikir kemudian untuk me-repro di
blog ini dialog tersebut dengan beberapa perbaikan dan koreksi seperlunya.
Semoga ada manfaatnya.
Salah
satu keyakinan Ahlusunah yang mempunyai dasar dalil al-Quran, as-Sunnah dan
prilaku Salaf Saleh yang dituduhkan sebagai prilaku syirik oleh kelompok Wahaby
(Salafy) adalah tentang diperbolehkannya
membangun masjid di sisi kuburan para rasul, nabi dan waliyullah. Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah –yang kemudian diikuti
(secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahaby- sebagaimana yang tercantum
dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah
halaman 22. Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi melarang menjadikan kuburannya
sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada waktu-waktu shalat
untuk mendatangi, shalat dan berdoa di sisi kuburan-nya, walaupun dengan maksud
beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu dikarenakan tempat-tempat semacam itu
menjadi sarana untuk perbuatan syirik. Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan
seseorang melakukan doa dan shalat untuk ahli kubur dengan mengagungkan dan
menghormatinya. Atas dasar itu maka membangun masjid di sisi kuburan para
waliyullah merupakan perbuatan haram. Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid
itu sendiri merupakan sesuatu yang ditekankan namun dikarenakan perbuatan
seperti tadi dapat menjerumuskan seseorang ke dalam prilaku syirik maka hukumnya
secara mutlak haram”.
Saya
heran kepada Saudara yang tidak segan-segan mengklaim bahwa keyakinan tentang masyru’-nya membangun masjid di kubur
merupakan keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang berlandaskan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Larangan membangun masjid di sisi kuburan ini tidaklah hanya
dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah - yang kemudian diikuti
oleh kaum “Wahabi”. Banyak ulama semisal dengan beliau memperingatkan hal yang
sama.
O
iya,…. sebelumnya, ada analisis yang keliru antara apa yang diomongkan dengan
kenyataan yang ada di lapangan. Saudara dengan begitu percaya dirinya mengatakan
bahwa apa yang dilakukan oleh para pengagum kubur itu adalah membangun masjid di sisi kuburan saja. Tapi pada
kenyataannya lebih dari sekedar itu !! Bahkan benar-benar membangun masjid di atas kubur ! Tidak usah kita
pungkiri dan kita tutup-tutupi kenyataan ini. Beberapa masjid di dalam dan luar
Indonesia pun membuktikannya. Mudah
kita cari informasinya. Di internet pun banyak. Ada
pula diantaranya yang meletakkan kuburan di kiblat masjid (persis di depan
mihrab imam). Saya kira saya tidak perlu menyebutkan satu persatu contohnya di
sini.
Apa
dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah di atas? Memang Ibnu Taimiyah menyandarkan
fatwanya tadi dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dalam beberapa kitab
Ahlusunah. Namun sayangnya ia tidak memiliki analisa dan penerapan yang tepat
dan bagus dalam memahami hadis-hadis tadi sehingga menyebabkannya terjerumus ke
dalam kejumudan (kaku) dalam menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah
terhadap hadis-hadis tadi terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat
al-Quran, as-Sunnah dan prilaku Salaf Saleh.
Ibnu
Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadis-hadis
seperti:
Pertama:
Rasulullah bersabda: “Allah melaknat kaum
Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya
sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111
dalam kitab al-Jana’iz (jenazah-jenazah), hadis serupa juga dapat ditemukan
dalam kitab Sunan an-Nas’i jilid 2 halaman 871 kitab
al-Jana’iz)
Kedua:
Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulullah dan berbincang-bincang
tentang tempat ibadah (baca: gereja) yang pernah dilihatnya di Habasyah, lantas
Rasul bersabda: “Mereka adalah kaum yang
setiap ada orang saleh dari mereka yang meninggal niscaya mereka akan membangun
tempat ibadah di atasnya dan mereka pun menghadapkan mukanya ke situ. Mereka di
akherat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. (lihat kitab
Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid)
Ketiga:
Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku mendengar lima hari
sebelum Rasul meninggal, beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian
terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.
Namun janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada
kalian”. (lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman
378)
Keempat:
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat kepada Allah swt dengan
mengatakan: “Ya Allah, jangan Kau jadikan
kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan
kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Musnad Ahmad bin
Hanbal jilid 2 halaman 246.
Ini
adalah riwayat-riwayat yang dijadikan dalil para pengikut Wahaby untuk
mengatakan syirik terhadap kaum Ahlusunah –termasuk di Indonesia- yang ingin
membangun masjid di sisi kubur para kekasih Allah (waliyullah). Di Indonesia
para Salafy gadungan tadi mengejek dan menghinakan kuburan para sunan (dari Wali
Songo) yang rata-rata di sisi kubur mereka terdapat bangunan yang disebut
masjid. Lantas apakah benar bahwa hadis-hadis itu mengandung larangan pelarangan
pembuatan masjid di sisi kubur para waliyullah secara mutlak? Di sini kita akan
kita telaah dan kritisi cara berdalil kaum Wahaby dalam menggunakan hadis-hadis
sahih tadi sebagai sandarannya.
Perlu
Saudara diketahui bahwa bukan hanya itu saja yang dijadikan dalil tentang
pengharaman membangun masjid di atas atau di sisi kubur. Akan saya sebut secara
lebih lengkap :
1. Hadits
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم في مرضه الذي لم يقم منه : "لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم
مساجد " . قالت : فلو لا ذاك أبرز قبره غير أنه خُشي أن يتخذ مسجداً
Dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau sakit dan dalam keadaan berbaring : “Allah telah melaknat Yahudi dan Nashrani
yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. Aku
(‘Aisyah) berkata : “Kalau bukan karena takut (laknat) itu, niscaya kuburan
beliau ditempatkan di tempat terbuka. Hanya saja beliau takut kuburannya itu
akan dijadikan sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1330, Muslim
no. 529, Ahmad 6/80 & 121 & 255, Ibnu Abi Syaibah 2/376, Abu ‘Awaanah
1/399, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah
no. 508, Al-Khathiib dalam Taariikh
Baghdaad 13/52 & 183, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 7730, dan yang
lainnya].
2. Hadits
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
:
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (قاتل
الله اليهود، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)
Dari
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Semoga Allah memerangi (mengutuk)
orang-orang Yahudi dimana mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai
masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 437, Muslim no. 530, Abu Dawud no.
3227, An-Nasa’iy 4/95, Abu Ya’laa no. 5844, Ahmad 2/284, dan yang
lainnya].
3. Hadits
‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhum :
عن عائشة وعبد الله بن عباس قالا: لما نزل رسول الله صلى الله
عليه وسلم، طفق يطرح خميصة له على وجهه، فإذا اغتم بها كشفها عن وجهه، فقال وهو
كذلك: (لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد). يحذر ما
صنعوا.
Dari
‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, mereka berdua berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
kesehatannya menurun pada saat-saat akhir hidupnya, beliau menutupkan kain
khamishah-nya (selimut wolnya) pada
wajahnya, namun beliau melepas kain tersebut dari wajahnya ketika bapasnya
semakin terganggu seraya bersabda : “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan
Nashrani dimana mereka telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”.
Aisyah berkata : “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa
yang mereka lakukan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 435 & 436, Muslim no.
531, Ibnu Hibban no. 6619, Abu ‘Awaanah 1/399, An-Nasa’i 1/115; dan yang
lainnya].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata
tentang hadits di atas :
وكأنه صلى الله عليه وسلم علم أنه مرتحل من ذلك المرض ، فخاف أن
يعظم قبره كما فعل من مضى ، فلعن اليهود والنصارى إشارة إلى ذم من يفعل
فعلهم
“Seakan-akan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah mengetahui bahwa beliau akan wafat melalui sakit yang beliau derita,
sehingga beliau khawatir kubur beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah
dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang
Yahudi dan Nashrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang yang
berbuat seperti perbuatan mereka” [Fathul-Baariy,
1/532].
4. Hadits
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : لما كان مرض النبي صلى الله عليه
وسلم تذاكر بعض نسائه كنيسة بأرض الحبشة يقال لها : مارية ـ وقد كانت أم سلمة وأم
حبيبة قد أتتا أرض الحبشة ـ فذكرن من حسنها وتصاويرها قالت: [ فرفع النبي صلى الله
عليه وسلم رأسه ] فقال :" أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً ،
ثم صوروا تلك الصور ، أولئك شرار الخلق عند الله [ يوم القيامة ]
Dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jatuh
sakit, maka beberapa orang istri beliau sempat membicarakan tentang sebuah
gereja yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia) yang diberi nama : Gereja
Maria – dimana Ummu Salamah dan Ummu Habibah pernah mendatangi negeri Habasyah
-, kemudian mereka (sebagian istri Nabi) membicarakan keindahan gereja dan
gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. ‘Aisyah bercerita : “(Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat kepalanya) seraya bersabda :
‘Mereka itu adalah orang-orang yang apabila orang shalih mereka meninggal dunia,
maka mereka membangun masjid di atas kuburnya tersebut, lalu menggambar dengan
gambar-gambar tersebut. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah
pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 434, Muslim 528, Abu
‘Awaanah 1/400-401, Ibnu Hibban no. 3181, An-Nasa’i 2/41, Al-Baihaqiy 4/80; dan
yang lainnya].
5. Hadits
Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu
:
عن جندب بن عبد الله البجلي أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم
قبل أن يموت بخمس وهو يقول : " قد كان لي فيكم إخوة وأصدقاء ، وإني أبراء إلى الله
أن يكون لي فيكم خليل ، وإن الله عز وجل قد اتخذني خليلاً كما تخذ إبراهيم خليلاً ،
ولو كنت متخذا من أمتي خليلاً ، لاتخذت أبا بكر خليلاً ، ألا [ وإن ] من كان قبلكم
[ كانوا ] يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد ،
فإني أنهاكم عن ذلك "
Dari
Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya dia
pernah mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum hari wafatnya : “Aku memiliki beberapa saudara dan teman di
antara kalian. Dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari memiliki
kekasih (khalil) di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan
diriku sebagai kekasih sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.
Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar
sebagai kekasih. Dan ketahuilah, (sesungguhnya) orang-orang sebelum kalian telah
menjadikan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih diantara mereka sebagai
masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku
melarang kalian melakukan hal itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 532 dan Abu
‘Awanah 1/401].
6. Hadits
Al-Harits An-Najrani radliyallaahu
‘anhu :
عن الحارث النجراني قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم قبل أن
يموت بخمس وهو يقول : "ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم
مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك "
Dari
Al-Harits An-Najrani dia bercerita : Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan wasiat lima hari sebelum wafat : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian telah menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang shalih di
antara mereka sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai
masjid. Sesunguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/374-375; shahih sesuai persyaratan
Muslim].
7. Hadits
Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhuma
:
عن أسامة بن زيد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في مرضه
الذي مات فيه : " أدخلوا علي أصحابي". فدخلوا عليه وهو متقنع ببردة معافريّ ، [
فكشف القناع ] فقال : " لعن الله اليهود [ والنصارى ] اتخذوا قبور أنبيائهم
مساجد"
Dari
Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ketika menderita sakit yang menyebabkan wafatnya beliau : “Masuklah wahai para shahabatku”. Maka
mereka masuk sedangkan beliau dalam keadaan tertutup selimut mu’afir. (Lalu beliau membukanya) dan
bersabda : “Allah telah melaknat
orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka
sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 669; Ahmad 5/204;
Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir no. 393 & 411, Ibnu Sa’d 2/241, Al-Haakim
4/194, dan yang lainnya; hasan dengan syawaahid-nya].
8. Hadits
Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah radliyallaahu
‘anhu :
عن أبي عبيدة قال : آخر ما تكلم به النبي صلى الله عليه وسلم
اخرجوا يهود أهل الحجاز وأهل نجران من جزيرة العرب واعلموا ان شرار الناس الذين
اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Dari
Abu ‘Ubaidah ia berkata : “Kalimat terakhir yang diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah :
‘Usirlah kaum Yahudi Hijaz dan Najran
dari Jazirah ‘Arab. Ketahuilah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang
menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad
1/195 no. 1691 & 1694; Al-Bukhari dalam At-Taariikh Al-Kabiir 4/57, Ibnu Abi
‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy
no. 235-236, Abu Ya’laa Ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar 4/13; Abu Ya’la
no. 872, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar 4/12, dan yang lainnya; shahih].
9. Hadits
Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhu
:
عن زيد بن ثابت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لعن الله
اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Dari
Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Allah
telah melaknat orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka
sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/184 & 186 dan ‘Abd bin Humaid
no. 244; shahih dengan syawahid-nya].
10. Hadits
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم : اللهم لا تجعل قبرى
وثنا لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (beliau bersabda) : “Ya Allah,
janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala. Allah melaknat kaum yang
menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad
2/246, Al-Humaidiy no. 1020, Ibnu Sa’d 2/241-242, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 5/43-44, Al-Bukhari dalam At-Taariikh Al-Kabiir 3/47, dan yang
lainnya; shahih].
Al-Haafidh
Ibnu Rajab Al-Hanbaly menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah dalam kitab Al-Kawaakibud-Daraari :
الوثن الصنم ، يقول : لا تجعل قبري صنماً يصلى ويسجد نحوه ويعبد
، فقد اشتد غضب الله على من فعل ذلك ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحذر
أصحابه وسائر أمته من سوء صنيع الأمم قبلهم ، الذين صلوا إلى قبور أنبيائهم ،
واتخذوها قبلة ومسجداً ، كما صنعت الوثنية بالأوثان التي كانوا يسجدون إليها
ويعظمونها ، وذلك الشرك الأكبر ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخبرهم بما في
ذلك من سخط الله وغضبه ، وأنه مما لا يرضاه ، خشية عليهم من امتثال طرقهم ، وكان
صلى الله عليه وسلم يحب مخالفة أهل الكتاب وسائر الكفار ، وكان يخاف على أمته
اتباعهم ، ألا ترى إلى قوله صلى الله عليه وسلم على جهة التعبير والتوبيخ " لتتبعن
سنن الذين كانوا من قبلكم حذوا النعل بالنعل ، حتى إن أحدهم لو دخل جحر ضب لدخلتموه
؟".
“Al-Watsan
itu maknanya patung. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Janganlah Engkau jadikan kuburku
sebagai patung/berhala yang menjadi kiblat shalat, tempat bersujud, juga tempat
beribadah”. Dan Allah sangat murka kepada orang yang melakukan hal tersebut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sendiri telah memperingatkan para shahabat dan seluruh umatnya
tentang perbuatan buruk umat-umat terdahulu, karena mereka shalat menghadap
kuburan para Nabi mereka serta menjadikannya sebagai kiblat dan masjid.
Sebagaimana penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai objek sesembahan
yang diagungkan. Perbuatan tersebut merupakan syirik akbar. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
memberitahukan bahwa perbuatan tersebut mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah
ta’ala dan Dia tidak akan pernah
meridlainya. Hal tersebut disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena
beliau khawatir umatnya akan meniru perbuatan mereka. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa
memperingatkan umatnya agar tidak menyerupai Ahlul-Kitaab dan orang-orang kafir.
Dan beliau juga khawatir bila umatnya akan mengikuti jejak mereka. Tidakkah
engkau mengetahui sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengungkaokan celaan dan kemarahan : “Sungguh kalian akan mengikuti jejak-jejak
orang sebelum kalian sama persis, setapak demi setapak; sehingga salah seorang
dari mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan memasukinya pula”
[Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab
Al-Hanbaly 2/90/65 – melalui perantaraan Tahdziirus-Saajid].
11. Hadits
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu
‘anhu :
عن عبد الله قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ان
من شرار الناس من تدركه الساعة وهم أحياء ومن يتخذ القبور مساجد
Dari
Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya sejelek-jelek manusia
adalah orang yang menjumpai hari kiamat saat masih hidup, dan juga orang yang
menjadikan kubur sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/405 & 435,
Ath-Thabaraniy no. 10413, Ibnu Abi Syaibah 3/345, Al-Bazzaar no. 3420, Abu
Ya’laa no. 5316, Ibnu Khuzaimah no. 789, Ibnu Hibbaan no. 6847, dan yang
lainnya; hasan].
12. Hadits
‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu
‘anhu :
عن علي بن أبي طالب قال : " لقيني العباس فقال : يا علي انطلق
بنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فإن كان لنا من لأمر شئ وإلا أوصى بنا الناس ،
فدخلنا عليه ، وهو مغمى عليه ، فرفع رأسه فقال : " لعن الله اليهود اتخذوا قبور
لأنبياء مساجد " . زاد في رواية : " ثم قالها الثالثة " . فلما رأينا ما به خرجنا
ولم نسأله عن شئ
Dari
Ali bin Abi Thalib radliyallaahu
‘anhu ia berkata : Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu pernah menemuiku
seraya berkata : ‘Wahai ‘Ali, mari ikut kami mengunjungi para Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin
ada sesuatu hal yang perlu kita tanyakan. Kalau tidak, beliau akan memberikan
wasiat kepada orang-orang melalui kita’. Kemudian kami masuk menemui beliau,
sedangkan beliau dalam keadaan berbaring karena sakit. Lalu beliau mengangkat
kepalanya : “Allah telah melaknat
orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid
“. Dalam sebuah riwayat ditambahkan : “Kemudian beliau mengatakan yang
ketiga kalinya. Dan ketika kami melihat apa yang terjadi pada beliau, maka kami
pun keluar dan tidak menanyakan sesuatu pun kepada beliau” [HR. Ibnu Sa’ad 4/28
dan Ibnu ‘Asaakir 12/172/2; hasan].
13. Hadits
Ummahatul-Mukminin radliyallaahu
‘anhunna :
عن أمهات المؤمنين أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا
: كيف نبني قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ أنجعله مسجداً ؟ فقال أبو بكر
الصديق : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لعن الله اليهود والنصارى
اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Dari
Ummahatul-Mukminiin : Bahwasannya para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bertanya : “Bagaimana kami harus membangun kubur Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, apakah
kami boleh menjadikannya sebagai masjid ?”. Maka Abu Bakar menjawab : “Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah
melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para Nabi
mereka sebagai masjid” [HR. Ibnu Zanjawaih dalam kitab Fadlaailush-Shiddiq sebagaimana
disebutkan dalam Al-Jamii’ul-Kabiir
3/147/1].
Itu
diantara hadits-hadits yang terkait dengan larangan keras membangun masjid di
atas kuburan atau menjadikan kuburan sebagai masjid. Masih ada hadits lain yang
akan dituliskan di bawah. Jika kita perhatikan dengan seksama, sangat jelas
menunjukkan hadits-hadits tersebut di atas berisi larangan sekaligus celaan
siapa saja yang membangun masjid di sisi/atas kubur.
Ada
beberapa poin yang harus diperhatikan dalam mengkritisi dalil kaum Wahaby yang
menjadikan hadis-hadis tadi sebagai pelarangan pembangunan kubur di sisi kubur
waliyullah secara mutlak:
(A)
Untuk memahami hadis-hadis tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan
kaum Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia saleh
mereka tadi. Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani dalam
membangun tempat ibadah di sisi kuburan itulah maka keluarlah larangan Rasul.
Dari hadis-hadis tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan
Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia saleh dari mereka bukan
hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Ke
arah kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud. Hakekat
prilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan
itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasululah Muhammad
saw.
Jadi
jika seorang muslim membangun masjid di sisi kuburan seorang waliyullah sekedar
untuk mengambil berkah (Tabarruk) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan
shalat tidak ada niatan sedikitpun untuk mengagungkan kubur tadi maka hal ini
tidak bertentangan dengan hadis-hadis di atas tadi,
terkhusus hadis dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan
kaum Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur manusia saleh dari mereka sebagai
tempat ibadah.
Al-Baidhawi
dalam mensyarahi hadis tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan
Nasrani selalu mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud dan
menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum
muslimin dilarang untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini
merupakan perbuatan syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi
kuburan seorang hamba saleh dengan niatan ber-tabarruk (mencari berkah) maka
pelarangan hadis tadi tidak dapat diterapkan padanya”. Hal serupa juga
dinyatakan oleh As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman
41 dimana ia menyatakan: “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang
mirip prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka,
baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan maupun
arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu
ibadah”.
Dalam
pernyataan di atas secara eksplisit
Saudara telah mengakui dua yang telah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nashrani
terkait membangun masjid di atas kubur :
1. Dijadikan
sebagai tempat ibadah
2. Dijadikan
sebagai kiblat (arah ibadah)
Ini
tergambar jelas dalam perkataan Saudara : ” Dari hadis-hadis tadi dapat diambil suatu
pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan
manusia saleh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus
sebagai kiblat (arah ibadah)”.
Dua
hal inilah yang menjadi sebab pelarangan. [sebenarnya larangan ini tidaklah
sebatas pada arah kiblat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian]. Kemudian alasan
Saudara bahwa perbuatan itu diperbolehkan dengan alasan tabarruk, maka saya tanggapi sebagai
berikut :
Tabarruk (Mencari Berkah)
Al-barakah (اْلبَرَكَةُ) yang bentuk jamaknya al-barakaat (اْلبَرَكَاتُ) maknanya adalah kebaikan yang melimpah
(كََثْرَةُ اْلخَيْرِ) [1]. Adapun
tabarruk (التَّبَرُّكُ) merupakan mashdar
dari تَبَرَّكَ - يَتَبَرَّكُ , yang artinya adalah mengharapkan barakah (طَلَبُ اْلبَرَكَةَ). Dan tabarruk dengan
sesuatu artinya adalah mengharapkan keberkahan dengan perantaraan sesuatu
tersebut.
Sesungguhnya
kebaikan dan barakah ada di tangan Allah ta’ala. Dia memberi kekhususan kepada
sebagian makhluk-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya untuk mendapatkan
kebaikan, keutamaan, karunia, dan keberkahan dari-Nya; seperti para Rasul, Nabi,
Malaikat, dan sebagian orang-orang shalih.
Beberapa
point penting yang terkait dengan tabarruk (mencari barakah) yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Sesungguhnya
semua barakah itu berasal dari Allah, sebagaimana halnya rizki, pertolongan, dan
kesehatan. Dia memberi kekhususan kepada sebagian makhluk-Nya sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya untuk mendapatkan kebaikan, keutamaan, karunia, dan keberkahan
dari-Nya; seperti para Rasul, Nabi, Malaikat, dan sebagian orang-orang
shalih.
Allah
ta’ala berfirman
:
إِنّ اللّهَ اصْطَفَىَ آدَمَ وَنُوحاً وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ
عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya
Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi
segala umat (di masa mereka masing-masing)”
[QS. Ali-‘Imran : 33].
تِلْكَ الرّسُلُ فَضّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىَ بَعْضٍ مّنْهُمْ
مّن كَلّمَ اللّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
الْبَيّنَاتِ وَأَيّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ
“Rasul-rasul
itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara
mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah
meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam
beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus”
[QS. Al-Baqarah : 253].
وَبَشّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيّاً مّنَ الصّالِحِينَ *
وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَىَ إِسْحَاقَ
“Dan
Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk
orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas
Ishaq.”
[QS. Ash-Shaaffat : 112-113].
Kita
tidak boleh meminta barakah kecuali dari Allah, karena Dia-lah pemberi barakah.
Allah ta’ala berfirman
:
قُلِ اللّهُمّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ
وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمّنْ تَشَآءُ وَتُعِزّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلّ مَن تَشَآءُ
بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنّكَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah:
"Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
[QS. Ali-‘Imran : 26].
عن عبد الله قال: كنا نعد الآيات بركة، وأنتم تعدونها تخويفا،
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فقل الماء، فقا: (اطلبوا فضلة من
ماء). فجاؤوا بإناء فيه ماء قليل، فأدخل يده في الإناء ثم قال: (حي على الطهور
المبارك، والبركة من الله). فلقد رأيت الماء ينبع من بين أصابع رسول الله صلى الله
عليه وسلم...
Dari
Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Kami menganggap ayat-ayat Allah sebagai suatu barakah,
sedangkan kalian menganggapnya sebagai satu hal yang menakutkan. Kami pernah
bersama-sama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan bepergian. Kami kekurangan air.
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ‘Carilah kelebihan
air’. Para shahabat lain datang dengan membawa sebuah bejana berisikan air
yang cuma sedikit. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memasukkan tangannya ke dalam bejana itu kemudian bersabda : ‘Hai, inilah air yang sangat suci dan
dibarakahi, dan barakah itu berasal dari Allah’. Aku kemudian melihat bahwa
air itu keluar dari jari-jari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3579].
2. Benda-benda,
ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan yang oleh syara’ diperbolehkan untuk dipakai
mencari kebarakahan, tidak lain itu semua hanyalah merupakan sarana saja. Ia
bukanlah yang memberikan barakah. Sama seperti obat. Ia hanyalah merupakan
sarana penyembuh saja. Dan yang yang menyembuhkan pada
hakikatnya adalah Allah ta’ala. Hal
itu sebagaiamana diterangkan dalam salah satu doa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk
orang sakit :
أذهب الباس رب الناس، واشف أنت الشافي، لا شفاء إلا شفاؤك، شفاء
لا يغادر سقماً
“Hilangkanlah
kesengsaraan, wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah karena Engkaulah Dzat yang bisa
menyembuhkan. Tidak ada penyembuh melainkan Engkau. Suatu penyembuhan yang tidak
lagi meninggalkan sakit”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5750].
Adapun
beberapa hadits seperti :
إن في الحبة السوداء شفاء من كل داء إلا
السام
“Sesungguhnya dalam habbatus-saudaa’ itu terdapat penyembuh bagi
seluruh penyakit, kecuali as-saam (kematian)”
[HR. Muslim no. 2215];
maka
harus dipahami bahwa habbatus-saudaa’
hanyalah sebagai sarana saja. Ia dapat menyembuhkan sesuai dengan ijin Allah.
Ketika berobat dengan habbatus-saudaa’, maka kita pun harus
memohon kesembuhan pada Allah.
Begitu
pula,…. ketika ada penisbatan barakah pada seseorang, maka ia bukanlah sebagai
hakikat pemberi barakah. Hal ini sebagaimana perkataan 'Aaisyah sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam terhadap Ummul-Mukminin Juwairiyyah radliyallaahu ‘anhumaa :
فما أعلم امرأة كانت أعظم بركة على قومها منها
“Aku
tidak pernah melihat seorang wanita yang begitu besar barakahnya bagi kaumnya
melebihi Juwairiyyah”
[HR. Ahmad 6/277; hasan].
Juwairiyah
bukanlah orang yang memberi barakah, melainkan hanyalah sebagai sebab keberadaan
barakah saja. Hal itu diketahui ketika para shahabat mengetahui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi
Juwairiyyah, maka mereka saling berlomba dalam memerdekakan tawanan wanita dari
kaumnya, yaitu Bani Musthaliq. Dengan pernikahan tersebut, Bani Musthaliq
menjadi besan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Tidak kurang seratus orang dari kaumnya dimerdekakan oleh
para shahabat. Ini adalah barakah yang sangat besar dari Allah ta’ala yang
penyebabnya tidak lain adalah Juwairiyyah bin Al-Harits.
3. Sesungguhnya
mencari barakah terhadap sesuatu adalah dengan sesuatu yang padanya memang
terdapat barakah. Dan ini menuntut penunjukkan pada nash/dalil.
Bukan pada perasaan dan prasangka semata. Akal sehat tentu tidak akan menerima
jika seseorang mencari keberkahan dari seekor sapi sebagaimana umat musyrik
Hindu melakukannya.
Selain
itu, seseorang yang mencari barakah pada sesuatu yang pada asalnya (sesuai
nash/dalil) mempunyai barakah, maka harus dilakukan dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh syari’at. Misalnya, dalam hadits dikatakan bahwa makan sahur
itu terdapat barakah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
:
تسحروا فإن في السحور بركة
“Sahurlah
kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat barakah” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095].
Barakah
makan sahur hanya akan kita dapatkan bila kita memakan makanan yang baik lagi
halal. Sebaliknya, barakah tidak akan kita dapatkan jika kita makan atau minum
yang diharamkan oleh Allah ta’ala
(misalnya : makan daging babi, minum khamr, dan
merokok).
Kembali
pada pokok bahasan,…. Saudara telah menyatakan bahwa seseorang shalat di masjid
yang berada di komplek kuburan adalah mengharap keberkahan kubur seseorang (yang
dianggap sebagai wali Allah). Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan
pencermatan :
a) Jika
shalat di masjid yang ada kuburnya itu dianggap sebagai usaha memperoleh
barakah, apakah memang ada dalil shahih yang menyatakan bahwa kubur seseorang
(walau ia seorang ulama atau orang shalih) terdapat barakah ? Ini sama saja
mengatakan bahwa masjid mendapatkan barakah tambahan dengan sebab keberadaan kubur yang ada
padanya.
b) Jikalau
orang-orang shalih tersebut dianggap mempunyai barakah ketika ia hidup, maka
apakah barakah itu masih tetap ada padanya setelah ia meninggal dan dikuburkan
?
c) Terkait
point a, jika Saudara menyatakan bahwa masjid juga mendapatkan barakah dengan
sebab keberadaan kubur tersebut, maka dengan ini secara tidak langsung Saudara
menyatakan bahwa shalat dan beribadah lainnya di pekuburan merupakan ibadah masyru’ yang dapat mengantar sebab
perolehan barakah, termasuk di antaranya shalat. Ada pernyataan Saudara yang
kontradiktif satu dengan yang lainnya. Ingat, sebelumnya Saudara telah
mengatakan larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam itu berkaitan dengan perbuatan kaum Yahudi dan Nashrani
yang menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.
Tanggapan
atas tiga hal tersebut dirangkum sebagai berikut
:
Tempat
yang ditunjukkan oleh dalil sebagai tempat ber-tabarruk (mencari barakah) adalah
:
a. Masjid
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أحب البلاد
إلى الله مساجدها وأبغض البلاد إلى الله أسواقها
Dari
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Negeri
(tempat) yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjidnya, dan negeri
(tempat) yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya” [HR. Muslim
no. 671].
Mencari
barakah pada masjid tentu bukan dengan mengusap-usap dindingnya, mengambil
sebagian debunya/pasirnya sebagai jimat, dan yang semisalnya. Namun, mencari
barakah melalui masjid adalah dengan melakukan peribadahan yang disyari’atkan di
dalamnya seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, adzan, atau mengadakan
halaqah ilmu.
Diantara
masjid-masjid yang mempunyai keutamaan dan barakah lebih banyak dibandingkan
dengan masjid-masjid lainnya adalah : Masjidil-Haram, Masjid Nabawiy,
Masjidil-Aqsha, dan Masjid Quba’.
b. Makkah,
Madinah, Syaam, dan Yaman.
Allah
berfirman :
سُبْحَانَ الّذِي أَسْرَىَ بِعَبْدِهِ لَيْلاً مّنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَىَ الْمَسْجِدِ الأقْصَى الّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya”
[QS.
Al-Israa’ : 1].
عن عبد الله بن زيد بن عاصم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال إن إبراهيم حرم مكة ودعا لأهلها وإني حرمت المدينة كما حرم إبراهيم مكة وإني
دعوت في صاعها ومدها بمثلى ما دعا به إبراهيم لأهل مكة
Dari
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan
(memuliakan) Makkah dan mendoakan penduduknya. Dan sesungguhnya aku telah
mengharamkan (memuliakan) Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Makkah.
Dan aku juga mendoakan penduduk Madinah sebagaimana Ibrahim telah mendoakan
penduduk Makkah” [HR. Muslim no. 1360].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
berdoa :
اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا
“Ya
Allah, berkahilah bagi kami negeri Syaam kami dan Yaman kami….”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1037].
Ber-tabarruk atas tempat ini bisa berupa
mencari penghidupan di sana, bermukim, menolak fitnah, atau berbuat kebajikan
secara umum. Tidak bisa dikatakan tabarruk yang syari’i atas tempat ini jika ada
seseorang yang mengusap-usap batu dan tanahnya, membawa air atau debunya untuk
dibawa pulang buat kesembuhan [2],
dan lain sebagainya.
Maka
dari itu, tidak ada satu pun dalil shahih yang menyatakan kuburan mempunyai
barakah khusus. Bahkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menegaskan bahwa kuburan (dan komplek pekuburan) bukanlah tempat untuk melakukan
shalat (ibadah) secara umum[3].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
لا تجعلوا بيوتكم مقابر. إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ
فيه سورة البقرة
“Janganlah
engkau menjadikan rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya syaithan itu akan
lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan Surat Al-Baqarah”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 780, Ahmad 2/284 & 337 & 387 & 388,
At-Tirmidzi no. 2877, An-Nasa’I dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 965, Ibnu
Abi Syaibah 2/256, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu].
Al-Hafidh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata
(dengan diringkas) :
استنبط من قوله في الحديث :(لا تتخذوها قبوراً ) أن القبور ليست
بمحل للعبادة ،فتكون الصلاة فيها مكروهة ، وقد نازع الاسماعيلي المصنف في هذه
الترجمة فقال :الحديث دال على كراهة الصلاة في القبر لا في المقابر
“Dari
sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits : Janganlah kalian menjadikannya (rumah)
sebagai kuburan”; dapat disimpulkan bahwa kuburan bukan tempat untuk
beribadah, sehingga shalat di sana menjadi makruh. Al-Isma’ily telah menyanggah
Penulis (yaitu Al-Imam Bukhari) dalam pembuatan bab ini, dimana ia mengatakan :
‘Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya shalat di satu kubur, bukan di pekuburan”
[Fathul-Baariy,
1/529].
Jadi
di sini menunjukkan bahwa pada asalnya kubur dan komplek pekuburan bukanlah
tempat untuk beribadah dan mencari barakah.
Tidak ada korelasinya antara masjid dan kubur dalam masalah tabarruk.
Mungkin
saja Saudara akan menyanggah hal ini dengan perkataan : "Yang menjadikan kuburan tersebut mempunyai
barakah bukanlah semata-mata karena kuburannya, namun orang yang dikubur di sana
yang termasuk orang-orang shalih”.
Dijawab
:
Alasan
Saudara sangat lemah. Dalam hadits sebelumnya telah disebutkan bahwa
Ummul-Mukminin Juwairiyyah adalah seorang wanita yang paling banyak barakahnya
terhadap kaumnya. Bahkan ini ditegaskan melalui lisan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah
meninggalnya Juwairiyyah, apakah ternukil dalam riwayat shahih dari mereka (para
shahabat) dan juga kaumnya (Bani Musthaliq) bahwa mereka mendatangi kubur
Juwairiyyah untuk ber-tabarruk
(mencari barakah) dengannya ? Tidak ada satu riwayat shahih pun yang
menunjukkannya. Para shahabat juga tidak pernah ber-tabarruk terhadap kubur Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman, ataupun ‘Ali radliyallaahu ‘anhum; padahal mereka
adalah empat orang shahabat yang utama. Bahkan, kepada orang yang lebih tinggi
dari mereka – yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam –, para
shahabat tidak pernah ber-tabarruk
dengan kubur beliau kecuali ziarah dan mengucapkan salam serta shalawat
kepada diri beliau. Padahal kita ketahui bahwa badan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengandung barakah dan diperbolehkan ber-tabarruk dengannya. Hal ini seperti
dijelaskan pada beberapa hadits di antaranya :
عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى
الغداة جاء خدم المدينة بآنيتهم فيها الماء فما يؤتى بإناء إلا غمس يده فيها فربما
جاءه في الغداة الباردة فيغمس يده فيها
Dari
Anas bin Malik ia berkata : “Setiap kali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak
melakukan shalat shubuh, para pelayan Madinah datang dengan membawa
bejana-bejana mereka yang berisi air. Setiap kali didatangkan bejana, beliau
memasukkan tangan beliau ke dalamnya. Terkadang beliau mendatangi beliau di pagi
hari yang dingin. Tetapi tetap saja beliau berkenan memasukkan tangannya ke
bejana yang berisikan air yang mereka bawa tersebut” .
Dalam
riwayat lain Anas mengatakan :
لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم والحلاق يحلقه وأطاف به
أصحابه فما يريدون أن تقع شعرة إلا في يد رجل
“Aku
pernah menyaksikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tengah
dicukur oleh seorang tukang cukur. Beliau dikelilingi oleh para shahabatnya.
Mereka tidak menginginkan sehelai rambut pun jatuh percuma tanpa didapatkan oleh
orang di antara mereka” [HR. Muslim no. 2325].
عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يدخل بيت أم
سليم فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها
هذا النبي صلى الله عليه وسلم نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع
عرقه على قطعة أديم على الفراش ففتحت عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في
قواريرها ففزع النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما تصنعين يا أم سليم فقالت يا رسول
الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت
Dari
Anas bin Malik ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada suatu
hari pernah masuk ke rumah Ummu Sulaim. Beliau lalu tidur di atas alas tidur
Ummu Sulaim ketika ia tidak ada di rumah. Pada hari lainnya beliau juga datang
dan melakukan hal yang sama. Ketika Ummu Sulaim datang, ada yang melapor bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidur di alas tidur di rumahnya. Segera saja Ummu Sulaim masuk dan mendapati
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersimbah keringat yang sangat banyak sehingga mengenai sepotong kulit yang
berada di dekat alas tidur tersebut. Kemudian Ummu Sulaim menyeka keringat
tersebut lalu memerasnya ke dalam botol-botol yang terbuat dari kaca. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terbangun
dan merasa kaget. Beliau bertanya : “Apa
yang sedang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim ?”. Ia menjawab : “Wahai
Rasulullah, kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami”. Maka beliau
berkata : “Engkau benar” [HR. Muslim
no. 2331].
Kita
tidak memungkiri tentang masyru’-nya
bertabarruk pada tubuh dan semua atsar (bekas) beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini
dikarenakan karena tubuh beliau yang mengandung barakah. Dan ini adalah
kekhususan beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam yang tidak terdapat pada selain beliau. Atsar (bekas) peninggalan
beliau ini tetap mempunyai barakah walaupun beliau telah meninggal dunia. Namun,
semua peninggalan beliau tersebut (berupa rambut, pakaian, dan yang lainnya)
telah hilang.[4]
Maka, bertabarruk dengan atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah
tidak bisa dilakukan lagi.
Kemudian,…..
ada sebagian dari kaum muslimin [5]
yang berusaha mencari barakah dengan beberapa beberapa tempat yang secara khusus
tidak ditunjukkan dengan dalil. Tempat-tempat tersebut biasanya terkait dengan
tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa historis tertentu. Misalnya ada orang yang
ber-tabarruk dengan tempat-tempat
yang pernah dilewati beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, gua Hira (tempat turun wahyu pertama), gua Tsur, dan yang
lainnya. Termasuk kuburan orang-orang shalih sebagaimana yang Saudara diklaim
itu……………
Banyak
dalil yang menunjukkan pengingkaran terhadap aqidah semacam ini. Silakan
diperhatikan beberapa diantaranya :
1. Atsar
‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
‘anhu tentang hajar aswad
:
عن عمر رضى الله تعالى عنه أنه جاء إلى الحجر الأسود فقبله فقال
إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يقبلك
ما قبلتك
Dari
‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia mendatangi Hajar
Aswad dan menciumnya. Kemudian ia berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau hanyalah
sebuah batu biasa yang tidak memberi mudlarat dan manfaat. Kalau aku tidak
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menciumnya, niscaya aku tidak akan
sudi menciummu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
1597].
Hampir
semua umat muslimin tentu tahu bahwa Hajar Aswad adalah batu hitam yang sudah
ada semenjak jaman Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam. Ia adalah batu yang
disentuh, diusap, dan dicium oleh para Nabi (dalam ibadah haji), termasuk Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Namun apa yang menjadi i’tiqad Umar dalam hal ini ? Apakah ia
mencium Hajar Aswad karena ‘Umar berkeyakinan bahwa Hajar Aswad mempunyai barakah dzatiyyah (sehingga ia ber-tabarruk dengannya) ? Tidak ! ‘Umar
mencium Hajar Aswad (dalam ibadah haji) semata-mata hanya karena ittiba’ beliau terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang juga
menciumnya. Perkataan ‘Umar : “Kalau aku
tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menciumnya, niscaya aku tidak
akan sudi menciummu” ; menunjukkan bahwa Hajar Aswad tidaklah mempunyai barakah dzatiyyah secara khusus
sebagaimana Masjidil-Haram atau Masjid Nabawy. Sehingga dalam hal ini Ibnu Hajar
berkomentar :
وفي قول عمر هذا التسليم للشارع في أمور الدين وحسن الأتباع
فيما لم يكشف عن معانيها وهو قاعدة عظيمة في أتباع النبي صلى الله عليه وسلم فيما
يفعله ولو لم يعلم الحكمة فيه
“Bahwa
apa yang dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab tersebut adalah penyerahan diri
secara total kepada Syaari’ (Pembuat
Syari’at, yaitu Allah) dalam urusan agama dan melakukan ittiba’ dengan
sebaik-baiknya terhadap sesuatu yang ia sendiri belum mengerti makna-makan yang
terkandung di dalamnya. Itulah kaidah besar dalam hal ittiba’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ia
melakukan sesuatu kendati ia tidak mengetahui hikmah apa yang terkandung di
dalamnya” [Fathul-Baari
3/370].
2. Diriwayatkan
oleh Ibnu Wadhdhah yang berasal dari Marwan bin Suwaid Al-Asadi ia berkata :
“Aku keluar bersama Amirul-Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu keluar kota Makkah
menuju Madinah. Ketika memasuki waktu pagi, beliau shalat bersama kami di pagi
hari itu. Kemudin orang-orang melihat pergi ke suatu tempat. Beliau bertanya :
“Kemana mereka pergi ?”. Ada yang menjawab : “Wahai Amirul-Mukminin, mereka
pergi ke masjid dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di
sana. Berbondong-bondong mereka mendatangi untuk shalat di sana. Beliau berkata
:
بلك إنما هلك من كان قبلكم بمثل هذا يتبععون آثار الأنبيئهم
فيتخذونها كنائس وبيعا أدركته الصلاة في هذا مسجد فليصلي و من لا فليمض و لا
يعتمدها.
“Sesungguhnya
orang sebelum kamu menjadi binasa disebabkan hal seperti ini. Mereka begitu
memperhatikan peninggalan-peninggalan Nabi-nya lalu menjadikannya sebagai
gereja-gereja dan tempat ibadah. Barangsiapa yang kebetulan melewati masjid ini
dan telah tiba waktu shalat, maka hendaklah ia shalat di sini. Dan kalau tidak,
hendaklah ia berlalu dan janganlah mendatangi dengan sengaja”
[Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anha oleh Ibnu
Wadhdhah hal. 41].
3. Masih
dari Ibnu Wadldlah ia berkata :
سمعت عيسى بن يونس يقول : أمر عمر بن الخطاب ـ رضي الله عنه
بقطع الشجرة التي بويع تحتها النبي صلى الله عليه وسلم فقطعها لأن الناس كانوا
يذهبون فيصلون تحتها ، فخاف عليهم الفتنة .
“Aku
mendengar ‘Isa bin Yunus mengatakan : “Umar bin Al-Khaththab radlyallaahu ‘anhu memerintahkan untuk
menebang pohon yang Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menerima baiat kesetiaan di bawahnya (Bai’atur-Ridlwan). Ia menebangnya karena
banyak manusia yang pergi ke sana dan shalat di bawahnya, lalu hal itu
membuatnya khawatir akan terjadi fitnah (bahaya kemusyrikan) terhadap mereka”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/376 dan Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 42; shahih. Lihat Fathul-Majid hal. 233, Maktabah
Taufiqiyyah].
Di
sini malah begitu jelas bahwa tempat singgah (petilasan) Nabi itu tidak
mempunyai barakah secara khusus. Bahkan termasuk juga masjidnya. Artinya,…..
shalat di masjid yang pernah disinggahi dengan yang belum adalah sama saja dalam
hal keutamaannya. Tidak ada yang membedakan dan tidak ada keistimewaan khususnya
kecuali jika didatangkan dalil, seperti empat masjid sebagaimana yang telah
lalu. ‘Umar melarang orang untuk menyengaja datang di tempat yang pernah
disinggahi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Apa yang dilakukan ‘Umar jika melihat apa yang dilakukan oleh
orang-orang belakangan yang mencari barakah dengan petilasan (atsar) orang-orang
(yang mereka anggap ) shalih yang tentu kedudukannya lebih rendah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya ?
Nah,….
jika masjid saja yang secara umum mempunyai keutamaan (barakah) diingkari
mempunyai keutamaan khusus/tambahan (yaitu barakah khusus selain dari barakah
umum) dengan sebab pernah disinggahi oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam;
maka bagaimana dengan kubur yang bahkan tidak ada keutamaan umumnya ?
Jawaban di point ini terkait dengan jawaban di point
selanjutnya.
Sebagian hadis di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid “di
atas” kuburan, bukan di sisi (baca: samping) kuburan. Letak perbedaan redaksi
inilah yang kurang diperhatikan oleh kaum Wahaby dalam
berdalil.
Justru Saudara dan orang-orang yang setipe dengan Saudara lah yang tidak
mencermati dalil dan penjelasan ulama. Coba kita perhatikan dengan seksama dari
13 (tiga belas) hadits yang telah ditulis (dan sebenarnya masih beberapa lagi).
Hampir
semua menggunakan lafadh {اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد} “menjadikan kubur para
Nabi mereka sebagai masjid”. Hanya satu saja yang memakai lafadh ‘alaa (di atas) yaitu hadits nomor 4
dari Ummul-Mukminin ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa.
Apa
makna larangan : “Menjadikan Kubur Sebagai Masjid { اتخاذ القبور مساجد } ?
Para
ulama telah menjelaskan bahwa kalimat tersebut mencakup tiga makna, yaitu
:
1. Larangan
shalat di atas
kubur.
Ibnu
Hajar Al-Haitami berkata:
واتخاذ القبر مسجداُ معناه الصلاة عليه ، أو
إليه
“Menjadikan kubur sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau
dengan menghadap ke arahnya” [Az-Zawaajir, 1/121].
Makna
ini diperkuat oleh hadits :
لا تصلوا إلى قبر ، ولا تصلوا على قبر
“Janganlah
kalian shalat menghadap ke arah kubur dan jangan pula shalat di
atasnya”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir;
shahih].
2. Larangan
sujud dengan menghadap ke arahnya serta menjadikannya sebagai kiblat shalat dan
doa.
Al-Imam
Al-Munawi rahimahullah berkata
:
أي اتخذوها جهة قبلتهم ، مع اعتقادهم الباطل ، وإن اتخاذها
مساجد ، لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وهذا بين به سبب لعنهم لما فيه من
المغالاة في التعظيم . قال القاضي ( يعني البيضاوي ) : لما كانت اليهود يسجدون
لقبور أنبيائهم تعظيماً لشأنهم ، ويجعلونها قبلة ، ويتوجهون في الصلاة نحوها ،
فاتخذوها أوثاناً لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه …
"
“Artinya,..
mereka menjadikan kubur para nabi itu sebagai arah kiblat mereka akibat
keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan kubur itu sebagai masjid menuntut
konsekuensi pembangunan masjid di atasnya, dan juga sebaliknya. Hal demikian itu
menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung
sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadli (yaitu Al-Baidlawi) mengatakan :
‘Orang-orang Yahudi bersujud kepada kubur para Nabi sebagai pengagungan terhadap
mereka dan menjadikannya sebagai kiblat. Mereka juga menghadap ke kubur itu
dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya. Sehingga dengan demikian, mereka
telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah
melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut” [selesai – Faidlul-Qadiir Syarh Al-Jamii’
Ash-Shaghiir – melalui perantara Tahdziirus-Saajid halaman 21; Maktabah
Meshkat].
Al-Haafidh
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata
:
قيل معناه النهي عن السجود على قبور الأنبياء وقيل النهي عن
اتخاذها قبلة يصلى إليها
“Dikatakan
maknanya adalah larangan terhadap sujud di atas kubur para Nabi. Dan juga
dikatakan bahwa maknanya adalah larangan untuk menjadikannya sebagai kiblat
dimana ia shalat menghadapnya” [Tanwiirul-Hawaalik Syarh Muwaththa’
Malik no. 414; Maktabah Sahab].
Makna
ini dikuatkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
:
لا تجلسوا على القبور ، و لا تصلوا إليها
“Janganlah
kalian duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadap ke
arahnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim 3/62; Abu Dawud no. 3229; Ahmad 4/135; An-Nasa’iy
2/67, At-Tirmidzi no. 1050; dan yang lainnya. Sanad hadits ini jayyid
(baik)].
3. Larangan
mendirikan masjid di atas kubur dan tujuan mengerjakan shalat di
dalamnya.
Pengertian
ini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Bukhari ketika memberikan bab
dalam kitab Shahih-nya :
{ باب ما يكره من اتخاذ القبور مسجداً على
القبور} “Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kubur”.
Makna ini adalah sebagaimana yang terambil dalam hadits
:
أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره
مسجداً
“Mereka
itu adalah orang-orang yang apabila orang shlih mereka meninggal dunia, maka
mereka membangun masjid di atas kuburnya tersebut”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 434, Muslim 528,
Abu ‘Awaanah 1/400-401, Ibnu Hibban no. 3181, An-Nasa’i 2/41, Al-Baihaqiy 4/80;
dan yang lainnya].
Dari
ketiga makna ini – wallahi – hampir
semua dikerjakan oleh para pecinta kubur ! Banyak sekali di antara mereka –
dengan alasan tabarruk dan tawassul – melakukan doa dan shalat di
samping atau menghadap kubur. Betapa banyak masjid di Indonesia ini yang
terdapat kuburannya baik di dalam, di arah kiblat, atau di samping masjid ?
Lihatlah di Cirebon, Ampel, atau daerah-daerah sekitar Madura. Dan saya pribadi
pernah “terperosok” sewaktu shalat shubuh di Masjid Agung Kabupaten Temanggung
Jawa Tengah yang ternyata di arah kiblatnya ada makam “wali”-nya. Inilah
budaya/kultur yang dipelihara oleh pecinta kubur masyarakat kita.
Sebagai
tambahan,…. larangan shalat dan mendirikan masjid itu bukan hanya jika kubur itu
terletak di dalam atau di depan masjid ! Namun secara umum, termasuk di samping
atau belakang masjid (selama kuburan tersebut masih berada di komplek masjid).
Dalilnya adalah sebagai berikut :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : ( الارض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
Dari
Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Bumi ini
secara keseluruhan adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan
kamar mandi” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83 & 96, Abu Dawud no. 492,
At-Tirmidziy no. 317, Ibnu Majah no. 745, Abu Ya’laa no. 1350, Ibnu Khuzaimah
no. 791-792, dan yang lainnya; shahih].
Al-Maqbarah
{المقبرة} adalah isim makan
(tempat) yang bentuk jamaknya Al-Maqaabir {المقابر}; yang artinya setiap tanah yang ditanam/dikuburkan seorang
mayit. Adalah salah jika ada orang yang menganggap bahwa al-maqaabir ini merupakan bentuk jamak
dari al-qubr (القبر).
Maka
larangan untuk melakukan shalat (dan juga tentunya mendirikan masjid) di sini
berlaku untuk kubur satu orang atau lebih (seperti di daerah pekuburan); baik
menghadap kubur atau membelakangi, di sebelah kanan atau di sebelah kirinya. Ini
semua terlarang, sebab dua hadits di atas lafadhnya adalah mutlak (yaitu larang
shalat di kubur dan juga di antara kubur).
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Ahmad rahimahumallah dalam permasalahan ini
:
وليس في كلام أحمد و عامّة أصحابه هذا الفرق ، بل عموم كلامهم و
تعليلهم و استدلالهم يوجب منع الصّلاة عند قبرٍ واحدٍ من القبور، وهو الصواب ،
والمقبرة كل ما قبر فيه ، لا أنه جمع قبر . وقال أصحابنا : وكل ما دخل في اسم
المقبرة مما حول القبور ، لا يصلّى فيه ، فهذا يعين أن المنع يكون متناولاً لحرمة
القبر المنفرد ، و فنائه المضاف إليه
“Tidak
ada perbedaan pendapat antara Ahmad dan shahabat-shahabatnya (yaitu para ulama
Hanabilah) dalam permasalahan ini. Akan tetapi keumuman perkataan, ta’lil, dan istidlal mereka adalah menetapkan
pelarangan shalat di samping kubur, walau itu satu kuburan saja[6].
Dan itulah yang benar. Dan yang disebut Al-Maqbarah adalah setiap tanah dibuat
untuk mengubur (mayat). Al-Maqbarah
bukanlah bentuk jamak dari Qabr
(kubur). Dan telah berkata sebagian shahabat-shahabat kami : “Setiap yang masuk
dalam definisi Al-Maqbarah adalah
setiap sesuatu yang berada di sekitar kubur yang tidak boleh digunakan untuk
shalat”. Dan ini menentukan bahwa larangan tersebut mencakup lingkup kuburan
yang terpencil bersama halaman sekitarnya” [Al-Ikhtiyaaratul-‘Ilmiyyah hal. 25
melalui perantaraan Al-Qaulul-Mubiin fii
Akhthaail-Mushallin hal. 32, Maktabah Al-Misykah dan Tamamul-Minnah hal. 298
Daarur-Rayah].
Al-Muhaqqiq
Muhammad Yahya Al-Kandahlawi Al-Hanafi rahimahullah berkata : “Adapun membangun
kubur termasuk tasyabbuh (meniru)
perbuatan Yahudi dan menjadikan kubur para Nabi dan para tokoh sebagai masjid
termasuk pengagungan terhadap mayit dan meniru para penyembah berhala meskipun
masjid itu berada di samping kubur. Jika kubur berada di arah kiblat, maka lebih
dibenci daripada di samping kanan atau kiri. Jika berada di belakang orang-orang
shalat, maka itu lebih ringan namun tidak lepas dari hukum makruh” [Al-Kawaakibud-Daraari ‘alaa
Jamii’it-Tirmidzi hal. 153].
(C) Tidak jelas apakah pelarangan dalam hadis itu menjurus kepada hukum
haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal
itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih
al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadis-hadis itu ke
dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan”
(Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan
bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya
dihindari, bukan mutlak haram.
Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat as-Saniyah halaman 427
disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam menjelaskan hadis di atas tadi
mengatakan: “Hadis tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak melakukan ibadah di
atas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan kubur mereka. Ini terjadi
jika posisi kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka
melaksanakan shalat di situ tidak haram hukumnya”
Perlu
diketahui bahwa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah ketika menuliskan “Maa Yukrahu….” (Apa-Apa yang
Dimakruhkan….) dalam kitab Shahih-nya, bisa mengandung dua
pengertian, yaitu : 1) bermakna bukan tahrim; dan 2) bermakna tahrim.
Saya
contohkan bab yang ditulis beliau rahimhullah dengan makna pertama
:
1. Bab
Apa-Apa yang Dimakruhkan Tidur Sebelum ‘Isya’ { باب ما يكره من النوم قبل
العشاء }
2. Bab
Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Meninggakan Shalat Malam Bagi Mereka yang Telah
Biasa Mengerjakannya { باب ما يكره من ترك قيام الليل لمن كان
يقومه }
3. dan
lain-lain.
Adapun
yang makna kedua (tahrim/pengharaman)
:
1. Bab
Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Niyahah
(Meratap) terhadap Mayit { باب ما يكره من النياحة على
الميت }
2. Bab
Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Shalat Jenazah terhadap Orang-Orang Munafik dan
Meminta Ampunan terhadap Orang-Orang Musyrik { باب ما يكره من الصلاة على المنافقين
والاستغفار للمشركين }
3. Bab
Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Namimah
(Mengadu Domba) { باب ما يكره من النميمة}
4. dan
lain-lain.
Lantas,….
bagaimana dengan menjadikan kubur sebagai masjid ? Tidak diragukan lagi bahwa
yang dimaksudkan makruh dalam
perkataan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah
adalah bermakna tahrim (pengharaman). Apa
indikasinya ? Indikasinya adalah bahwa lafadh hadits yang dibawakan oleh
Al-Imam Bukhari rahimahullah dalam Bab Maa Yukrahu Min-Ittikhaadzil-Masaajidi
‘alal-Qubuur merupakan lafadh-lafadh laknat. Sesuai dengan
kaidah Ushul-Fiqh bahwa lafadh laknat
mempunyai konsekuensi pada pengharaman [lihat Badai’ul-Fawaaid 4/5-6].
Contohnya
adalah firman Allah :
إِنّ الّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ
الْمُؤْمِناتِ لُعِنُواْ فِي الدّنْيَا وَالاَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ
Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar,
[QS. An-Nuur : 23]
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة
Dari
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda : “Allah telah melaknat wanita yang
menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya; juga wanita yang
mentato dan yang minta ditato” [HR. Bukhari no.
5589].
Dan
perlu diketahui bahwa kalimat “makruh/karahah” dalam syari’at banyak
yang menunjukkan pada makna haram (dan ini adalah madzhab ulama mutaqaddimiin). Misalnya : Setelah Allah
menyebutkan tentang larangan berbuat syirik, larangan durhaka kepada dua orang
tua, larangan bersikap boros, dan yang lainya [7],
maka Allah menutupnya dengan :
ذَلِكَ كَانَ سَيّئُهُ عِنْدَ رَبّكَ مَكْرُوهاً
“Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi
Tuhanmu” [QS. Al-Israa’ : 38].
Juga Allah berfirman :
وَلَـَكِنّ اللّهَ حَبّبَ إِلَيْكُمُ الأِيمَانَ وَزَيّنَهُ فِي
قُلُوبِكُمْ وَكَرّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ
وَالْعِصْيَانَ
“Tetapi
Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah
di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan,
dan kedurhakaan”.
[QS. Al-Hujuraat : 7].
Makna
makruh dalam dua ayat di atas adalah
haram. Kecuali,…. bila Saudara mengatakan syirik, durhaka pada orang tua,
kefasikan, kemaksiatan, dan sikap boros itu hanya sebatas makruh dimana orang
yang meninggalkannya mendapat pahala dan yang mengerjakannya tidak dibebani
dosa…….
Oleh
karena itu, perkataan makruh ulama di
bawah juga menunjukkan pengharaman.
وقال أبو بكر الأثرم : سمعت أبا عبد الله – يعني أحمد – يُسأل
عن الصلاة في المقبرة ، فكره الصلاة في المقبرة ، فقيل له : (المسجد يكون بين
القبور ، أيصلى فيه ؟) ، فكره ذلك . قيل له : (إنه مسجد ، وبينه وبين القبور حاجز)
، فكره أن يصلى فيه الفرض ، ورخص أن يصلى فيه على الجنائز ، وذكر حديث أبي مرثد
الغنوي عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا تصلوا إلى القبور ، وقال : إسناد
جيد
Telah
berkata Abu Bakr Al-Atsram : Aku mendengar Abu ‘Abdillah – yaitu Ahmad – ditanya
tentang shalat yang dilakukan di kuburan (maqbarah), maka ia me-makruh-kannya. Lalu ditanyakan kepadanya
: “Bagaimana tentang masjid yang berada di antara kubur ?”. Ia pun me-makruh-kannya hal itu juga” [Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab,
3/195].
والذي عليه الأكثر من أهل العلم ؛ كراهية الصلاة في المقبرة ،
لحديث أبي سعيد رضي الله عنه، وكذلك نقول .
“Pendapat
yang dipegang oleh kebanyakan ahli ilmu/ulama adalah makruh mengerjakan shalat di kuburan,
berdasarkan hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu. Dan begitulah yang
menjadi pendapat kami” [Al-Ausath,
2/185].
Kesimpulan di point ini adalah bahwa menjadikan kubur sebagai masjid dan
shalat di dalamnya adalah haram.
Begitu pula apa yang dinyatakan oleh salah seorang ulama Ahlusunah lain
yang bermazhab Hanafi yang bernama Abdul Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh
ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan: “Jika sebuah masjid dibangun di
sisi kuburan (makam) orang saleh ataupun di samping kuburannya yang hanya
berfungsi untuk mengambil berkahnya saja, tanpa ada niatan untuk mengagungkannya
maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kubur Ismail as terletak di Hathim di
dalam Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk
melaksanakan shalat”.
Di sini saya tidak akan membantah pada hal tabarruk (karena telah terjawab pada
paragraph di atas), namun hanya akan mengomentari perkataan bahwa kubur Isma’il
di Masjidil-Haram adalah sebaik-baik tempat untuk
shalat.
Saya jawab secara ringkas bahwa perkataan ini adalah perkataan palsu
yang tidak bersumber pada satupun riwayat shahih. Bahkan riwayat dla’if tentang hal itu pun tidak
tertulis dalam Al-Kutubus-Sittah, Musnad Ahmad, Mu’jam Thabarani (Kabiir, Shaghiir, dan Ausath), dan yang lainnya dari kitab
hadits yang populer.
Apa yang dikatakan oleh Saudara dan orang yang Saudara nukil itu (yaitu
Abdul-Ghani An-Nablusi) bersumber pada atsar-atsar mu’dlal dengan sanad-sanad yang dla’if dan mauquf yang disebutkan oleh Al-Azraqi
dalam Akhbaarul-Makkah (hal. 39, 219,
dan 220). Selain itu, penukilan kubur Isma’il ini juga beraneka cerita. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari, seorang ahli
hadits kenamaan madzhab Hanafiyyah berkata :
وذكر غيره أن صورة قبر إسماعيل عليه السلام في الحجر تحت
الميزاب ، وأن في الحطيم بين الحجر الأسود وزمزم قبر سبعين نبياً
“Dan yang lain mengatakan bahwa wujud kubur Isma’il ‘alaihis-salaam itu ada di Hijr di bawah
pancuran air hujan. Dan ada pula yang mengatakan terletak di Hathim antara Hajar
Aswad dan Zamzam, yang terdapat kuburan 70 orang Nabi…….” [Mirqaatul-Mafaatih
1/456].
Jika memang dianggap bahwa kubur itu terdapat di sana, maka hal itu
tidak terdapat lagi wujudnya. Sudah menjadi kesepakatan bahwa kubur yang sudah
tidak ada bekasnya (tidak nampak tanda-tanda kuburan) adalah tidak mengapa
(tidak terkena larangan dalam hadits).
Adapun anggapan bahwa shalat di Hathim itu adalah sebaik-baik tempat
untuk melaksanakan shalat dikarenakan adanya kubur Isma’il, maka perkataan ini
adalah perkataan khayal yang
dikatakan tanpa landasan nash.
Allamah Badruddin al-Hautsi pun menyatakan hal serupa dalam kitab Ziarah
al-Qubur halaman 28: “Arti dari menjadikan kuburan sebuah masjid adalah
seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya
dilaksanakan peribadatan”.
Bahkan, ada tiga makna sebagaimana telah dituliskan
sebelumnya.
Dalil lain yang dijadikan oleh kaum Wahaby (Salafy gadungan) –terkhusus
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah- adalah kaidah Sadd adz-Dzarayi’ dimana kaidah itu
menyatakan: “Jika sebuah perbuatan secara
dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan melalui perbuatan
itu menjadikan seseorang mungkin orang tadi terjerumus ke dalam perbuatan haram
maka untuk menghindari hal buruk tersebut -agar orang tadi tidak terjerumus ke
dalam jurang tersebut- perbuatan itupun lantas dihukumi haram”. (lihat
kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman 148).
Dalil di atas tadi secara ringkas dapat kita jawab bahwa; Dalam
pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya mukadimah untuk pelaksanaan perbuatan
wajib yang menjurus secara langsung kepada kewajiban itu saja yang juga dihukumi
wajib” seperti kita tahu kewajiban wudhu karena ia merupakan mukadimah langsung
dari shalat yang wajib. Begitu juga dengan “mukadimah yang menjurus langsung
kepada hal haram, hukumnya pun haram”, jadi tidak mutlak semua mukadimah. Atas
dasar ini maka membangun masjid di sisi kuburan manusia mulia (para nabi atau
waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik maka tidak menjadi apa-apa (boleh).
Dan terbukti mayoritas mutlak masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut
dengan niatan penghambaan terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan Allah /
Syirik). Kalaupun ada seorang muslim yang berniat melakukan syirik, itu
merupakan hal yang sangat jarang (baca: minim) sekali.
Aneh
ya,….. gara-gara Al-Haafidh Ibnul-Qayyim sejalan dengan Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdil-Wahhab rahimahumallah, lantas
beliau dicap sebagai Wahabi. Nanti bila saya sebutkan Ibnu Katsir, Ibnu Hajar,
Ath-Thabari, atau yang lainnya, jangan-jangan Saudara juga mencap mereka sebagai
Wahabi. Ini namanya membabi buta dalam kebencian sehingga menutup mata terhadap
fakta. Alangkah aneh,…. Ibnul-Qayyim yang hidup di abad 7 Hijriyyah (wafat tahun
751 H) lekat dengan stigma Wahabi. Ini namanya stigma bersifat “flash back” ………….
Adapun
penjelasan kaidah Ushul-Fiqh yang
Saudara sebutkan itu tidak nyambung dengan pokok bahasan kaidah Saddudz-Dzara’i yang sedang dikritisi.
Saddudz-Dzara’i adalah kaidah agung
yang dijelaskan oleh para ulama dalam penghukuman hal-hal yang memicu satu
keharaman terjadi. Kaidah ini menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat memicu
terjadinya keharaman atau diduga kuat menyebabkan keharaman, maka sesuatu itu
hukumnya juga haram. Kaidah ini merupakan kaidah agung dalam upaya preventif
menutup jalan-jalan yang menyebabkan terjadinya kemunkaran sebelum kemunkaran
tersebut benar-benar terjadi. Dalil yang melandasi kaidah ini adalah
:
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزّنَىَ إِنّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ
سَبِيلاً
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk”
[QS. Al-Israa’ : 32].
Perhatikan
ayat di atas ! Sesungguhnya kemunkaran yang dituju pada ayat tersebut adalah
“zina”, karena Allah telah menjelaskan bahwa zina merupakan suatu perbuatan yang
keji lagi buruk. Namun, penekanan Allah tidak hanya pada “zina” saja. Bahkan
Allah telah menutup dan mengharamkan semua jalan menuju “zina” dengan kalimat :
{ وَلاَ تَقْرَبُواْ
الزّنَىَ} “Dan
janganlah kamu mendekati zina”.
Kalimat nahyi (larangan) itu
mengandung konsekuensi bahwa semua hal yang dapat membuka jalan menju zina, maka
hukumnya pun haram. Maka, mengumbar pandangan, mengkhayal, berkhalwat,
bersentuhan tanpa ada kebutuhan dlaruriy hukumnya haram. Semua perbuatan
ini merupakan muqaddimah menuju zina
yang sebenarnya. Inilah Saddudz-Dzara’i.
Saya
merasa heran kepada Saudara yang dengan ‘enteng’-nya mengatakan bahwa praktek
yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang menyepakati pendapat Saudara
jarang sekali terjerembab pada kesyirikan. Betapa banyak akhirnya orang-orang
meminta kesembuhan dan dikabulkannya hajat pada orang yang ada di dalam kubur
yang mereka anggap sebagai Waliyyullah itu ? Betapa banyak orang
shalat di masjid yang ada kuburnya itu sekedar formalitas saja dengan tujuan
utama malah ingin mendapat ‘restu’ si penghuni kubur agar cepat punya keturunan
(misalnya) ? Ia pun menjadi takut dan gembira karena penghuni kubur yang telah
berkalang tanah….
Kubur
pun dijadikan perayaan. Lebih ramai dari karnaval 17-an Agustus. Diperingatilah
ulang tahun kematian si penghuni kubur secara terus-menerus. Masjid yang ada di
atas/samping kubur itu pun dijadikan alat propaganda syi’ar kesyirikan dan
kebid’ahan.
Peringatan
kepada umat untuk tidak membangun masjid di atas/samping/sisi kubur karena
berpotensi membawa ke pintu kesyirikan (sebagaimana telah terjadi pada
kenyataannya) bukan hanya dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah.
Allah
berfirman :
قَالَ نُوحٌ رّبّ إِنّهُمْ عَصَوْنِي وَاتّبَعُواْ مَن لّمْ
يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاّ خَسَاراً * وَمَكَرُواْ مَكْراً كُبّاراً *
وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً وَلاَ
يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً * وَقَدْ أَضَلّواْ كَثِيراً
Nuh
berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah
mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya
melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat besar." Dan mereka
berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu
dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan
pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr”. Dan sesudahnya mereka menyesatkan
kebanyakan (manusia).
[QS. Nuh : 21-24].
Terkait
ayat di atas, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan satu hadits
dalam Shahih-nya
:
عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما صارت الأوثان التي كانت في قوم
نوح في العرب بعد أما ود كانت لكلب بدومة الجندل وأما سواع كانت لهذيل وأما يغوث
فكانت لمراد ثم لبني غطيف بالجوف عند سبأ وأما يعوق فكانت لهمدان وأما نسر فكانت
لحمير لآل ذي الكلاع أسماء رجال صالحين من قوم نوح فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى
قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون أنصابا وسموها بأسمائهم ففعلوا فلم
تعبد حتى إذا هلك أولئك وتنسخ العلم عبدت
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma (ia
berkata) : “Patung-patung yang ada di kaum Nuh menjadi sesembahan orang Arab
setelah itu. (Patung) Wadd menjadi sesembahan bagi Bani Kalb di Dumatul-Jandal,
(patung) Suwaa’ bagi Bani Hudzail, (patung) Yaghuuts bagi Bani Murad dan Bani
Ghuthaif di Al-Jauf sebelah Saba’, Ya’uuq bagi Bani Hamdaan, dan Nasr bagi Bani
Himyar dan kemudian bagi keluarga Dzul-Kalaa’. Mereka adalah nama orang-orang
shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, maka syaithan membisikkan kepada
kaum mereka (yaitu kaum Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka dalam
majelis-majelis dimana kaum Nuh biasa mengadakan pertemuan, sekaligus memberi
nama patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun
melakukannya. Patung tersebut tidaklah disembah pada waktu itu. Akhirnya setelah
generasi pertama mereka meninggal dan ilmu telah dilupakan, maka patung-patung
tersebut akhirnya disembah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
4920].
Al-Imam
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah
menukil perkataan Muhammad bin Qais dalam Tafsir-nya sebagai berikut
:
كانوا قوما صالحين من بني آدم, وكان لهم أتباع يقتدون بهم, فلما
ماتوا قال أصحابهم الذين كانوا يقتدون بهم: لو صوّرناهم كان أشوق لنا إلى العبادة
إذا ذكرناهم, فصوّروهم, فلما ماتوا, وجاء آخرون دبّ إليهم إبليس, فقال: إنما كانوا
يعبدونهم, وبهم يُسقون المطر فعبدوهم.
“Mereka
(Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) adalah kaum
shalih dari bani Adam yang mempunyai banyak pengikut. Ketika mereka meninggal,
maka berkatalah shahabat-shahabat dari kalangan pengikut mereka : ‘Jika kita membuat gambar-gambar mereka,
maka kita akan semakin tekun beribadah ketika mengingat mereka’. Maka mereka
pun membuat gambar mereka. Ketika mereka (generasi pertama) meninggal, datanglah
generasi berikutnya dimana Iblis mulai melakukan tipu daya kepada mereka. Iblis
berkata : ‘Orang-orang sebelum kamu
membuat gambar-gambar tersebut tidak lain hanyalah untuk menyembah orang-orang
shalih tersebut yang dengannya mereka meminta diturunkan hujan’. Akhirnya
mereka pun menyembahnya” [Tafsir
Ath-Thabari, QS. Nuh : 23-24].
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata
:
وإنما صور أوائلهم الصور ليتأسوا بها ويتذكروا أعمالهم الصالحة
، فيجتهدوا كاجتهادهم ، ويعبدوا الله عند قبورهم ، ثم خلفهم قوم جهلوا مرادهم ووسوس
لهم الشيطان أن أسلافهم كانوا يعبدون هذه الصور ويعظمونها . فحذر النبي صلى الله
عليه وسلم عن مثل ذلك ، سداً للذريعة المؤدية إلى ذلك
“Mula-mula
para pendahulu mereka membuat patung orang-orang shalih itu adalah agar dapat
meneladani mereka dan mengenang mengingat perbuatan-perbuatan shalih mereka,
sehingga dapat memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka.
Karenanya, mereka menyembah Allah di sisi kuburan mereka. Kemudian setelah
mereka meninggal, datanglah generasi generasi yang tidak mempunyai pengetahuan
cukup terhadap agama sehingga tidak mengerti maksud pendahulu mereka, lalu
syaithan membisikkan pada mereka bahwa pendahulu mereka tersebut menyembah
patung-patung itu dan mengagungkannya. Oleh karena itulah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang
terjadinya hal demikian untuk menutup rapat-rapat segala hal yang dapat mengarah
ke perbuatan tersebut (Saddu
lidz-Dzari’ah)” [Lihat Fathul-Majiid hal. 218 – Maktabah
Taufiqiyyah, Cairo].
Dalam kesempatan lain Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah juga berkata
:
وكل ذلك لقطع الذريعة المؤدية إلى عبادة من فيها كما كان
السبب في عبادة الأصنام
"Semua itu dimaksudkan untuk memutus jalan yang menjurus kepada
ibadah terhadap orang yang ada di dalam kubur tersebut. Sebagaimana
halnya yang terjadi pada orang-orang yang menyembah berhala" [idem, hal. 220].
Al-Imam
Ibnu Baththal rahimahullah ketika
menjelaskan hukum menjadikan kubur kaum muslimin sebagai masjid/tempat ibadah,
menukil perkatan Al-Muhallab :
وإنما نهى عن ذلك، والله أعلم، قطعًا للذريعة ولقرب عبادتهم
الأصنام واتخاذ القبور والصورة آلهة
“Sesungguhnya
termasuk larangan dari hal itu wallaahu
a’lam. Yaitu dikarenakan untuk memutuskan perantara dan pendekatan diri
mereka dalam beribadah kepada berhala, serta memutuskan upaya menjadikan
gambar dan patung sebagai tuhan” [8]
[Syarhul-Bukhari li-Ibni Baththal
Al-‘Ukbari 3/96].
Al-Imam
As-Suyuthi dalam Ad-Durrul-Mantsur
(6/269) berkata : Diriwayatkan oleh ‘Abdun bin Humaid dari Abu Muthahhir, dia
bercerita di sisi Abu Ja’far (yaitu Al-Baqir) Yazib bin Al-Muhallab, dia
bercerita : “Sesungguhnya dia telah terbunuh di permukaan bumi yang menjadi
tempat penyembahan selain Allah”. Kemudian dia menyebutkan Wadd. Dia menyebutkan
bahwa Wadd adalah seorang muslim yang sangat dicintai kaumnya. Ketika meninggal
dunia, kaumnya berkumpul di sekitar kuburnya di tanah Babil. Dan mereka pun
merasa kasihan padanya. Ketika Iblis mengetahui kesedihan mereka padanya, Iblis
tersebut kemudian berpakaian menyerupai manusia dan kemudian berkata,”Aku tahu
rasa sedih kalian terhadap orang ini. Apakah kalian mau aku buatkan gambar
sesuatu yang mirip dengannya, sehingga dengan tetap berada di perkumpulan
kalian, kalian bisa mengingatnya ?”. Mereka menjawab : “Mau”. Lalu Iblis membuat
gambar yang mirip dengan orang shalih tersebut (Wadd), kemudian mereka
meletakkannya di tempat perkumpulan mereka sambil mengingat-ingatnya. Setelah
mereka selalu mengingat-ingatnya Iblis pun berkata,”Apakah kalian mau aku
buatkan patung yang menyerupai wajahnya di rumah masing-masing kalian ?”. Mereka
menjawab : “Mau”. Lalu Iblis pun membuatnya lagi setiap rumah satu patung yang
menyerupai orang shalih tersebut. Mereka pun menyambutnya dan terus-menerus
mengingat orang tersebut melalui patung itu”. Kemudian ia (Al-Baqir)
menceritakan : “Anak-anak mereka pun mengetahui hal itu seraya melihat yang
mereka kerjakan dengan patung itu. Hingga akhirnya mereka melahirkan banyak
keturunan. Lalu, anak-anak mereka pun mempelajari cara mengingat orang shalih
tersebut melalui patung itu, hingga akhirnya mereka menjadikannya sebagai ilah
selain Allah” [selesai].
Dari
riwayat tersebut, para ulama telah menjelaskan bahwa sebenarnya generasi pertama
kaum Nuh bukanlah penyembah berhala. Namun kemudian mereka tertipu oleh
Iblis/syaithan untuk membuat hal-hal yang mereka anggap dapat menyempurnakan
ibadah mereka, namun ternyata malah membuka jalan ke pintu kesyirikan. Sama
halnya dengan pembangunan masjid di kuburan yang diniatkan untuk ber-tabarruk dan mengenang orang-orang
shalih yang telah meninggal. Mereka menganggap bahwa beribadah di masjid
tersebut lebih afdlal dan lebih
sempurna karena keberadaan orang shalih yang ada di liang kubur itu,
dibandingkan masjid lainnya. Alasan ini mirip dengan alasan generasi pertama
kaum Nuh dimana mereka membuat patung-patung hanya untuk mencari barakah dan agar mereka semakin giat
dalam beribadah. Begitulah cara syaithan menjerumuskan manusia ke lembah
kesyirikan. Mereka memulai dari hal-hal yang dipandang remeh di mata sebagian
manusia. Bagaikan kerbau yang digembala - sedikit-demi sedikit syaithan membawa
manusia ke masuk ke pintu syubhat dan bid’ah hingga akhirnya benar-benar masuk
kepada kesyirikan yang nyata.
Sangatlah
tepat apa yang dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berikut :
“Oleh
karena itu Allah dan Rasul-Nya melarang mendirikan masjid di atas kuburan.
Inilah yang pada umumnya menjerumuskan umat-umat terdahulu ke dalam syirik akbar atau yang lebih rendah
daripada itu (yaitu syirik ashghar).
Kesyirikan akibat mengagungkan kuburan orang yang diyakini keshalihannya lebih
dekat kepada hati manusia dibandingkan syirik akibat menyembah pohon atau batu.
Oleh sebab itu, kita sering menjumpai ahli syirik duduk dengan tenang dan
khusyu’ di sisi kuburan melakukan ibadah yang tidak pernah mereka lakukan di
rumah-rumah Allah dan di waktu sahur. Bahkan di antara mereka ada yang sujud
menghadap kuburan dan (kebanyakan mereka) berharap memperoleh barakah shalat dan
berdoa di sisi kubur, yang tidak pernah mereka harapkan sewaktu mereka berada di
masjid. Karena mafsadah (kerusakan) inilah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
memutuskan sumbernya. Bahkan dengan tegas beliau melarang shalat di kuburan sama
sekali, meskipun ia tidak bermaksud mencari barakah dengan shalat di tempat itu.
Jika seseorang shalat di sisi kuburan dengan tujuan untuk mendapatkan barakah
dengan shalat di tempat itu, ini sesungguhnya penentangan terhadap Allah dan
Rasul-Nya, meyelisihi agama-Nya, dan melaksanakan kebid’ahan yang tidak
diijinkan Allah. Dan kaum muslimin telah sepakat berdasarkan apa yang mereka
ketahui dengan pasti dari agama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ini
bahwa shalat di sisi kubur siapapun adalah terlarang” [Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim
2/680-681; Maktabah Ar-Rasyid].
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata :
قال العلماء: إنما نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن اتخاذ قبره
وقبر غيره مسجداً خوفاً من المبالغة في تعظيمه والافتتان به،
“Para
ulama telah berkata bahwa larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk
menjadikan kubur beliau dan kubur yang lainnya sebagai masjid/tempat ibadah
hanyalah dikarenakan kekhawatiran beliau dari berlebih-lebihannya (kaum
muslimin) dalam mengagungkannya dan terfitnah dengannya” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi Bab An-Nahyi
‘an Banaail-Masaajid ‘alal-Qubuur wa Ittikhaadzish-Shuwari fiiha wan-Nahyi ‘an
Ittikhaadzil-Qubuuri Masajid].
Maka,
sangatlah mengherankan jika Saudara mengklaim bahwa kaum muslimin yang pro
dengan pendapat Saudara itu tidak ada (atau sedikit menurut bahasa yang Saudara
pakai) yang melakukan kesyirikan ketika beribadah di masjid komplek pekuburan.
Selain niat tabarruk itu sendiri
sudah bermasalah (sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya),
tindakan mendirikan masjid di kuburan orang (yang dianggap) shalih itu sendiri
merupakan muqaddimah menuju
kesyirikan. Kenyataannya, orang yang melakukan kesyirikan di masjid-masjid
komplek pekuburan itu saat ini jumlahnya tidaklah sedikit. Banyak orang yang
meminta pelancar rejeki, dibereskan urusan, dipercepat jodoh, dan yang semisal
kepada kubur orang-orang yang dianggap Wali. Ya…. habis shalat di masjid,
disusul ngalap berkah, dan sekalian ngadep ke “almarhum Kyai Anu” untuk
mengabulkan permintaan. Tidak lupa tersedia/terjual ayam sembelihan, bunga tujuh
rupa, kitab mujarobat kubra, dan lain-lain. Pak imam yang juga merangkap juru
kunci makam pun siap menjadi mediator tawassul-an bagi para pengunjung kepada
“almarhum Kyai Anu”. Benar-benar one stop
praying. Paket lengkap !!!
Dalil inti yang dapat dijadikan argument diskusi dengan pengikut Wahaby
dalam masalah pelarangan membangun masjid di sisi makam para manusia Saleh
adalah ayat dan prilaku Salaf Saleh. Di sini akan kita sebutkan beberapa dalil
saja untuk meringkas pembahasan.
Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi disebutkan: “Ketika orang-orang itu berselisih tentang
urusan mereka, orang-orang itu berkata: “dirikanlah sebuah bangunan di atas
(gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang
berkasa atas urusan mereka berata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah
rumah peribadatan di atasnya””. Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat ahli
tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid di sisi makam para
penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahaby pun sepakat dengan kaum muslimin
lainnya bahwa al-Quran bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya begitu saja
menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran untuk
dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid di sisi makam
Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt menyindir dan
mengkritik hal itu dalam lanjutan kisah al-Quran tadi, karena syirik adalah
perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti Allah swt tidak
melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak langsung
(sindiran). Atas dasar itu pula terbukti para ulama tafsir Ahlusunah menyatakan
bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt,
bukan kaum musyrik penyembah kuburan (Quburiyuun), istilah yang sering dipakai
kaum Wahaby untuk menyerang kaum muslimin yang menghormati makam para wali
Allah. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir
al-Kassyaf jilid 2 halaman 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21
halaman 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith dalam
menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir
Abi Sa’ud jilid 5 halaman 215.
Kita
jawab alasan tersebut dari dua sisi sebagai berikut :
1. Telah
masyhur dalam kaidah Ushul tentang { أن شريعة من قبلنا ليست شريعة
لنا} “Syari’at orang-orang sebelum kita pada asalnya tidaklah
menjadi syari’at kita”. [9]
Apalagi jika itu bertentangan secara jelas dengan apa yang dibawa oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Syari’at orang-orang sebelum kita hanyalah bisa kita terima jika
memang sesuai dan tidak bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Banyak
sekali nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskannya. Satu contoh
: Allah telah menetapkan hari Sabtu untuk orang Yahudi sebagai hari beribadah,
sebagaimana firman-Nya :
إِنّمَا جُعِلَ السّبْتُ عَلَىَ الّذِينَ اخْتَلَفُواْ
فِيهِ
Sesungguhnya
diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih
padanya.
[QS. An-Nahl : 124].
Jika
mengikuti alur logika Saudara, tentu kita juga wajib untuk mengagungkan hari
Sabtu. Sebab, ini merupakan firman dan perintah dari Allah yang tercantum dalam
Al-Qur’an. Namun,….. apakah memang begini pola berpikirnya ? Kewajiban tersebut
telah mansukh dan tidak berlaku bagi
umat Islam, sebab Allah telah menetapkan hari khusus bagi umat Islam, yaitu hari
Jum’at.
Begitu
pula untuk kasus pendirian masjid di atas kuburan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
menegaskan bahwa hal itu bukan merupakan syari’at Islam dengan sabdanya
:
عن الحارث النجراني قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم قبل أن
يموت بخمس وهو يقول : "ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم
مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك "
Dari
Al-Harits An-Najrani dia bercerita : Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan wasiat lima hari sebelum wafat : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian telah menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang shalih di
antara mereka sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan
sebagai masjid. Sesunguhnya aku melarang kalian melakukan hal
tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/374-375; shahih sesuai
persyaratan Muslim].
2. Jikalau
Saudara menolak jawaban kami di point 1, maka dalam ayat tersebut juga tidak ada
pernyataan secara tegas bahwa pembangunan masjid itu merupakan syari’at dan
perintah dari Allah atau merupakan tindakan raja/penguasa semata. Perhatikan
secara cermat ayat tersebut :
وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوَاْ أَنّ وَعْدَ
اللّهِ حَقّ وَأَنّ السّاعَةَ لاَ رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ
أَمْرَهُمْ فَقَالُواْ ابْنُواْ عَلَيْهِمْ بُنْيَاناً رّبّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ
قَالَ الّذِينَ غَلَبُواْ عَلَىَ أَمْرِهِمْ لَنَتّخِذَنّ عَلَيْهِمْ
مّسْجِداً
Dan
demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu
mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak
ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan
mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikan sebuah bangunan di atas (gua)
mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang
berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan
sebuah rumah peribadatan di atasnya."
[QS. Al-Kahfi : 21].
Ayat
tersebut mengandung ihtimal
(kemungkinan) bahwa orang yang berniat dan memerintahkan untuk membangun masjid
di atas goa tempat kubur para pemuda Ashaabul-Kahfi adalah orang-orang kafir
di jaman itu. Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas menukil perkataan Ibnu
Jarir Ath-Thabari bahwa ada dua pendapat mengenai status orang-orang tersebut :
Pertama, mereka adalah orang-orang
Islam di antara mereka; dan Kedua,
mereka adalah orang-orang musyrik di antara mereka. Dan di sini, kemungkinan
kedua lah yang nampaknya lebih kuat. Hal ini didasari oleh dalil tentang laknat
Allah kepada orang Yahudi :
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (قاتل
الله اليهود، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)
Dari
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Semoga Allah memerangi (mengutuk)
orang-orang Yahudi dimana mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai
masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 437, Muslim no. 530, Abu Dawud no.
3227, An-Nasa’iy 4/95, Abu Ya’laa no. 5844, Ahmad 2/284, dan yang
lainnya].
Dalam
hadits di atas (juga hadits-hadits lain sebagaimana telah dituliskan sebelumnya)
nampak bahwa larangan menjadikan kubur sebagai masjid (tempat peribadatan) telah
ada semenjak jaman para Nabi diutus kepada orang Yahudi. Dan ini tentu jauh
sebelum jaman Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam. Maka dari itu Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah ketika menjelaskan hadits
pelaknatan Allah kepada kaum Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka
sebagai masjid; mengatakan :
وقد دل القرآن على مثل ما دل عليه هذا الحديث ، وهو قول الله
عزوجل في قصة أصحاب الكهف :{ قال الذين غلبوا على أمرهم لنتخذن عليهم مسجداً } فجعل
اتخاذ القبور على المساجد من فعل أهل الغلبة على الأمور ، وذلك يشعر بان مستنده
القهر والغلبة واتباع الهوى وأنه ليس من فعل أهل العلم والفضل المنتصر لما أنزل
الله على رسله من الهدى
“Al-Qur’an
juga telah menunjukkan seperti apa yang ditunjukkan oleh hadits ini, yaitu
firman Allah ‘azza wa jalla tentang
kisah Ashhaabul-Kahfi : “Orang-orang
yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan
sebuah rumah peribadatan di atasnya”
(QS. Al-Kahfi : 21). Dengan demikian, Allah ‘azza wa jalla telah mengkatagorikan
tindakan menjadikan kubur sebagai masjid merupakan perbuatan orang-orang yang
berkuasa mengendalikan urusan. Dan itu menunjukkan bahwa sandarannya adalah
pemaksaan dan kekuasaan serta ketundukan terhadap hawa nafsu. Hal itu bukan
merupakan perbuatan ulama yang selalu mendapatkan pertolongan Allah, dimana
Allah telah menurunkan beberapa petunjuk-Nya kepada Rasul-Nya” [Fathul-Baari bi-Syarhil-Bukhari 65/280
oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly – melalui perantara Tahdziirus-Saajid hal.
42].
Itu saja yang dapat dituliskan. Lebih kurangnya mohon
maaf.
Wallaaahu ta’ala a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[1] Tafsir Al-Qurthubi
(4/139).
[2]
Dikecualikan dengan air zam-zam, sebab ada dalil shahih yang menyebutkan tentang
keutamaannya. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ
زَمْزَمَ...
“Sebaik-baik
air yang ada di muka bumi adalah air zam-zam”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 11/98;
hasan].
[3]
Dikecualikan atas shalat jenazah bagi orang yang tidak sempat menshalatkannya.
Diperbolehkan baginya shalat jenazah di kubur jenazah tersebut dengan dalil
hadits Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma, ia berkata :
مات إنسان، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده، فمات
بالليل، فدفنوه ليلا، فلما أصبح أخبروه، فقال: (ما منعكم أن تعلموني). قالوا: كان
الليل فكرهنا، وكانت ظلمة، أن نشق عليك، فأتى قبره فصلى
عليه.
“Ada seseorang meninggal dunia di malam hari – yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam telah
menjenguknya – lalu mereka menguburkannya di malam hari. Dan pada pagi harinya
mereka memberitahu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya : ‘Apa yang menghalangi kalian untuk
memberitahuku ?’. Mereka menjawab : “Waktunya sudah malam lagi sangat gelap,
sehingga kami tidak ingin menyusahkanmu”. Kemudian beliau mendatangi kuburannya
dan kemudian menshalatinya (yaitu shalat jenazah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 1247 dan Ibnu Majah no. 1530].
Para
ulama telah menjelaskan bahwa shalat jenazah diperbolehkan di masjid karena pada
shalat tersebut tidak terdapat rukuk dan sujud.
[4]
Adapun klaim sebagian orang di beberapa negara yang mengaku punya beberapa helai
rambut, pakaian, dan yang lainnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ini
klaim-klaim yang tidak benar.
[5] Di
antara tokohnya adalah Muhammad Alawi Abbas, Yusuf Sahid Hasyim Ar-Rifa’i,
Muhammad Amin Al-Kurdi, Al-Buthi, dan yang
lainnya.
[6] Apalagi lebih dari satu kubur !!
[7]
Silakan lihat selengkapnya dalam QS. Al-Israa’ :
23-38.
[8]
Akan tetapi di sini Al-Muhallab mengatakan bahwa terdapat keluasan dimana
seseorang dapat berpaling ke arah kanan atau kiri dari tempatnya (agar tidak
menghadap ke kubur), karena menghadap ke shalat kubur dapat membuat shalat tidak
sah. Dan yang benar, adalah tetap tidak diperbolehkan shalat walaupun ia berada
di sisi kubur karena telah tetap larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk
tidak shalat di antara kubur (walau tidak menghadap ke kubur) sebagaimana telah
disebutkan di atas.
[9]
Salah satunya bisa ditengok dalam kitab Al-Ihkaam karya Ibnu
Hazm.
0 komentar:
Posting Komentar